36

34 10 2
                                    

Perdebatan berakhir lebih cepat, saat ayah tidak ingin dibantah. Lingkaran sihir dengan cahaya keemasan terbentuk dari cincin perak yang ayah gunakan sebagai portal teleportasi. Itu artefak sihir langka yang berharga. Ayah bisa pergi ke mana pun, selama tempat itu pernah ia kunjungi.

Api unggun telah dipadamkan oleh Sahala, meninggalkan bara api sebagai taman bermain roh-roh api yang bergembira.

Dari dalam kabut, bus bertingkat dengan warna hitam keluar bagai dari dunia lain. Lampu sorotnya bersinar terang. Kaca depan bus juga tampak gelap, sehingga aku tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalamnya.

Roda bus berputar pelan di atas pasir pantai. Duyung Mentawai memekik nyaring sembari menghilang ke dalam lautan. Aku menahan napas karena tegang. Entah setan macam apa yang akan menyambut kami.

Ketika bus hitam itu benar-benar berhenti. Aku bisa melihat dengan jelas stiker gold bertuliskan Bus Kencana. Aku pun tanpa sadar merapatkan diri di dekat Sahala. Lalu, pintu bus terbuka dengan suara berdecis disertai asap putih yang bertebaran ke mana-mana.

"Selamat malam. Selamat datang di bus Kencana. Perjalanan tanpa batas ke seluruh wilayah Indonesia. Satu tiket telah dipesan. Apa salah satu dari kalian akan berangkat bersama kami?"

Aku buru-buru mengeluarkan 14 koin 100 perak dan memberikan semua koin tersebut pada seorang pemuda berambut gondrong untuk membayarkan tiket Sahala dan Hansamu. Dia mengikat rambut keritingnya asal. Lalu, dia menghitung jumlah uang dengan senyum puas sembari mengajak kami bertiga naik ke dalam bus dengan gerakan mata.

Bus ini tidak menyeramkan. Tidak ada bau apak, amis darah, karat dan kesan jadul.

Ruangannya sangat luas, berbeda dari tampilan luar. Dua baris kursi dengan tiga tempat duduk berjejer menempel di dekat jendela, memberikan lorong yang sangat lebar tanpa hambatan. Beberapa kursi di isi penumpang laki-laki dan perempuan yang tertidur pulas dengan selimut hitam berlogo K yang dijahit benang emas.

"Namaku Andi Kamil. Pekerja paruh waktu dari Diwangka. Kalian bebas memilih tempat. Lantai atas menyediakan tempat tidur dan lantai bawah memiliki kursi yang bisa digunakan berbaring. Panggil aku, jika kalian butuh makanan atau sesuatu yang lain."

"Aes," ucap Hansamu, ketika Kamil duduk di dekat tangga. "Kau bisa naik di lantai atas. Aku dan Sahala akan duduk di sini."

Aku mengganguk, kemudian berjalan sendiri menuju tangga yang berada di dekat kursi kondektur. Kamil tersenyum kecil ketika mata kami bertemu. Lantai dua bus ini gelap. Hanya ada satu lampu yang menyala dari satu tempat tidur yang ditempati seorang pria tua yang sedang membaca buku.

Aku tidak mau menggangunya. Lalu mencari ranjang masih kosong yang agak jauh darinya. Aku memilih ranjang di samping seorang ibu-ibu yang mendekur lirih sambil memeluk boneka panda.

Di kaki ranjang, bertuliskan huruf A6. Nakas di sampingnya tersedia air mineral dan sebungkus pie cokelat dan brosur perjalanan Bus Kencana.

Aku memilih merebahkan diri setelah melepaskan sepatu. Sudah lama, aku tidak tidur dengan baik dan nyaman. Jadi, setelah punggungku bersentuhan dengan empuknya kasur, aku langsung terlelap dengan pulas.

...

Rasanya baru sebentar memejamkan mata. Bahuku diguncang seseorang, aku membuka mata dengan perlahan. Wajah Hansamu dan Sahala adalah hal pertama yang kulihat. Lampu di atas wajahku menyala terang.

"Sudah tiba?"

"Belum," jawab Hansamu.

"Kenapa aku dibangunkan?"

"Kamil mengajak kita sarapan pagi. Ayo, Aes. Sekarang jam 4 subuh, kita perlu mengisi perut."

"Ahh." Aku menghela napas lega. Sahala dan Hansamu sudah berjalan meninggalkanku sebelum aku menyibak selimut. Aku menoleh ke arah nakas, mengambil benda-benda di atasnya dan memasukkannya ke dalam tas canvas.

Aestival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang