25

46 8 0
                                    

Hansamu tersenyum kikuk pada Sera, lalu melirikku seolah butuh bantuan. Sebelum Hansamu mengucapkan sesuatu. Sahala datang menepis tangan Sera dengan tatapan galak. Sebagai balasan, Sera hanya berdecak kesal dengan wajah mengejek.

"Sahala sudah menceritakan apa yang terjadi. Aku minta maaf, karena membuka portal di tengah sawah. Tapi lupakan, ada sungai kecil di ujung lahan. Kalian bisa membersihkan diri dan aku ingin kalian menceritakan semuanya lagi. Tentu, aku ingin Aes yang melakukannya."

Maka dengan mengandeng lengangku bak kawan lama. Sera menyeret kami ke aliran yang dimaksud. Sahala dan Hansamu mulai membuka kaos mereka dan aku buru-buru mengalihkan pandangan ke tempat lain.

Sera mengajakku lebih dalam ke hutan. Semak-semak belukar tumbuh ajaib menutupi jalan di belakang kami dengan rapat. Kemudian, Sera memintaku mandi di sini. Dia juga menjamin, tidak ada orang yang akan mengintip bahkan hewan pun tidak.

Dia juga membangun sebuah bilik dari semak-semak liar agar aku bisa mandi tanpa merasa malu. Setengah jam membersihkan diri dari lumpur dan keringat. Sera kembali menuntun kami pada saung bambu di sebuah tanah lapang yang berada jauh dari sawah.

Di sana, duduk Hansamu dan Sahala yang rambutnya setengah basah. Keduanya duduk melingkari nasi beserta lauk pauknya. Ada nasi putih sebakul, sambal terasi, ikan goreng dan tempe tahu.

Perutku keroncongan dan rasanya aku ingin cepat-cepat makan. Rasanya pasti lezat. Untuk itu, aku menunduk dan memejamkan mata. Kemudian berbisik di dalam hati mengucapkan terima kasih kepada semesta dan Dewi Kesuburan tanah Bengkulu. Begitu membuka mata, Sera menepuk pucuk kepalaku dengan lembut.

"Makasih, Aes. Berkatku menyertaimu. Sekarang, makanlah. Kalian semua pasti lapar. Aku akan berjaga terhadap Nusa. Selama di sini, jangan khawatirkan dia."

Aku mengganguk. Mengisi perut adalah agenda utama sekarang. Kami makan dengan lahap tanpa ada seorang pun yang berbicara. Tawa anak-anak yang bermain layang-layang mengisi keheningan kami di saung. Setelah menyantap habis makanan di piring. Lauk yang disajikan tidak kunjung berkurang.

Angin pun berembus sepoi-sepoi. Rasanya kantuk mulai menyerang. Buktinya, kelopak mataku terasa sangat berat. Sebelum aku hampir terpenjam. Sera meraih tanganku dan menyerahkan gulungan daun pisang yang diikat. "Aes, bawalah daun pisang ini. Kalian tidak akan lagi kelaparan."

"Benda ini?" tanyaku memastikan

"Ya, ini daun pisang ajaib. Buka dan hamparkan di atas tanah. Apa pun yang kau inginkan akan terhidang. Maaf, hanya ini bantuan yang bisa kuberikan padamu. Jadi, mari ceritakan semuanya."

Awalnya aku agak sungkan menerima pemberian Sera. Tetapi, lebih tidak mengenakkan jika aku menolak. Jadi, benda itu kuterima dan simpan ke dalam tas canvas.

Aku menceritakan kronologi perjalananku bersama Hansamu. Tentu saja, dimulai dari masa pendaftaran penunggang naga saja dan kemunculan Sahala yang mendadak menjadi rekan seperjalanan kami.

Sera tertawa begitu mendengar niatku menjadikan Naga Padoha sebagai nagaku. Aku tahu, itu ide konyol yang memalukan. Semua Debata pasti akan bersikap sama seperti Sera. Ada gadis Demigod yang terlalu naif bisa membebaskan Naga Padoha. Petualangan tersebut pun kututup dengan pertemuan kami bersama Sati Manggung.

"Pasti seru bisa keliling Sumatra. Laskara itu tipe cowok yang gimana?"

Aku melirik Sahala dan Hansamu. Tampaknya, topik akan sedikit bergeser. "Laskara baik dan dia cukup dewasa serta sopan."

"Aes. Dia pasti ganteng, 'kan? Lebih ganteng Laskara atau Sahala?"

Senyum yang awalnya mengembang di wajah Sera berubah datar dalam seperkian detik. Dia melirik Sahala dengan sinis. "Diam kau! Aku tidak tanya pendapatmu."

"Sera. Mengapa kau tidak tinggal juga di perkemahan?" Hansamu tiba-tiba menyela. Fokus Sera menjadi teralihkan.

"Malas aja. Itu kan taman bermain. Aku bukan remaja manusia. Aku bahagia di sini. Hidupku tidak ada masalah sampai harus pindah ke sana. Jadi kembali ke topik." Sera malah menatapku lagi. "Tapa Tamboga juga tampan? Bagaimana dengan Hyang?"

"Itu-"

"Aku kan sudah bilang tidak tanya pendapatmu!" Kalimatku terpotong oleh amarah Sera pada Sahala. "Oke, oke. Aku akan fokus. Aku hanya Dewi Minor di sini. Kekuasaanku enggak sehebat Debata lain. Aku juga enggak punya koneksi dan relasi selain Naga Padoha yang baik hati, sombong dan pelit bicara."

Mendengar pengakuan Sera. Dadaku mendadak terasa sesak. Kupikir Dewa Dewi antar mitologi saling berteman atau mengetahui. Tetapi tidak, Sati Manggung juga tidak mengenali Tapa Tamboga. Mereka hanya berhubungan dengan yang sejenisnya? Setara? Apa pun itu.

"Jika penunggang naga nusantara dalam bahaya. Satu-satunya dewa yang bisa dicurigai bukannya, Nusa?" Sera malah bertanya balik pada kami

"Mustahil. Nusa adalah penengah mitologi Sabang sampai Merauke. Dia tidak mungkin menghancurkan budaya dan mitologi lain." Hansamu beropini tegas. Dia membela Nusa walau beberapa saat lalu, dia sempat memprotes keputusan Nusa soal ayah dan ibunya.

"Maaf, Bung. Aku hanya bisa memikirkan itu. Kalau bukan Nusa, mungkin Mulajadi No Bolon." Sera pun beralih menatap Sahala dengan satu alis terangkat. "Mulajadi No Bolon bisa memerintahkan Homang mengejar kalian."

"Tapi dia tidak punya kuasa sampai Aestival," sanggah Hansamu. "Debata Nusantara tidak punya kuasa sejauh itu."

"Hmm. Kalau begitu aku tidak tahu." Sera menyerah pada akhirnya. Kami juga belum tahu. Debata mana yang menginginkan penunggang naga tiada.

Sesaat, kami semua saling diam dengan pikiran masing-masing. Mendadak, Sahala sudah berdiri meraih tangan Hansamu dan ikut memaksaku berdiri.

"Oh, tidak." Sera memejamkan matanya sejenak. Lalu menatapku. "Nusa mengirim orang buat kalian. Cepat pergi. Selamatkan Borneo dan temukan nagamu Aes."

Angin sepoi-sepoi berubah jadi angin kencang. Aku harus mengangkat tangan ke depan mata demi menghalau pasir atau benda asing yang bisa saja masuk ke dalam mata.

Apa yang aku lihat selanjutnya menjadi terdistraksi. Wajah Sera dan sawah yang terbentang hijau lenyap dari pandangan. Kemudian, aku merasakan tanganku yang bebas dipegang seseorang.

Aku mengerjap beberapa kali sampai bisa melihat dengan jelas. Kurasakan pupil mataku membulat besar. Anak laki-laki itu memakai kacamata bulat dibalik tulang rahangnya yang kokoh. Rambutnya yang disemir rapi ke belakang tidak berantakan saat angin berhembus. Mungkin gel rambutnya cukup bagus.

"Nemma?" ucapku syok pada wajah yang kukenali. Dia ketua asrama laki-laki Samsara. Dibaliknya, muncul wajah Kori yang ingin mencoba meraihku juga.

Spontan, aku menghempaskan keduanya dengan gelombang air yang tiba-tiba terpanggil. Kami semua sama-sama terpental. Goyah akan posisi masing-masing. Aku merasa tubuhku mengambang sebentar lalu basah dan rasa asin pada lidah.

Posisi tubuhku yang tidak sempurna, membuat ombak menghempaskan tubuhku tidak karuan. Aku mencoba meraih oksigen dengan berenang ke permukaan.

Sekelilingku adalah lautan dengan pohon kepala berjejer di garis pantai. Aku menoleh ke sekitar. Kepala Sahala muncul dari sisi kanan bersama Hansamu.

Aku menghela napas lega. Sebisa mungkin, aku berenang ke arah mereka. Ingin bertanya apa yang terjadi. Kemudian aku tersentak oleh tangan asing di pundakku dan menoleh ke belakang.

"Hentikan, Aes. Kau kena detensi," ujar Kori yang juga tubuhnya basah kuyup.

Aestival Where stories live. Discover now