30

41 8 5
                                    

Dibalik gerbang kelapa, sebuah bola api kecil terbang menerangi lorong-lorong gelap. Kemudian, tampak seberkas cahaya di ujung jalan yang perlahan-lahan menjadi terang benderang oleh batu-batu mulia yang tertanam dalam lapisan tanah. Semakin menuju mulut lorong, cahaya yang didapatkan makin bersinar terang dan sampailah bola api kecil tersebut pada tanah lapang hijau yang sangat luas.

Rerumputan hijau tumbuh subur di dasar tanah, langit-langitnya tinggi menjulang dengan permata-permata putih yang bersinar bagai lampu kristal. Sekeliling tempat itu pun ditumbuhi pepohonan kelapa rindang yang sebagian daunnya sudah cokelat dan hijau muda.

Roh-roh orang mati berkeliaran di sana. Ada yang tampak linglung, ada yang menangis, marah dan sebagian tampak bahagia. Bola api itu mendekat, memeriksa setiap arwah, mencari-cari wajah seorang gadis remaja yang ia kenali. Tetapi nihil, sejam berkeliling ia tidak menemukan Aes.

Perlahan-lahan, roh api itu mengambil wujud sebagai seorang manusia fana bernama Sahala.

"Yang terhormat." Seorang pria tua menepuk bahu Sahala dari belakang kemudian berjalan ke depan Sahala dengan tatapan menyelidik.

"Ini bukan wilayah Yang Terhormat. Tapi, apa yang membuat Yang Terhormat ada di sini?"

Pria tua itu bertubuh kurus, bertelanjang dada dengan tato hitam di sekujur tubuhnya dan menggunakan ikat kepala  manik-manik serta mahkota yang terdiri dari bulu-buluan dan bunga.

"Saya Kirei." Pria itu memperkenalkan dirinya. "Orang Mentawai memanggil kami seperti itu. Namun, dalam bahasa Indonesia. Kami dikenal dengan sebutan dukun dan tabib.

Sesaat, Kirei tersebut mengganguk-angguk. Lalu berjalan memimpin Sahala meninggalkan tanah lapang hingga mereka tiba di sebuah jembatan dari batang pohon kelapa yang menghubungkan dua daratan dengan jurang di bawahnya.

"Yang Terhormat harus melewati jembatan penghakiman. Ini adalah jembatan bagi para orang mati menuju tempat akhir mereka. Namun, jika mereka masih belum merasa tenang atas kematian tersebut. Orang-orang ini akan tertahan di tanah lapang  yang berada di belakang kita."

Sahala menatap lurus jembatan tersebut. Kemudian menggeleng kepada Kirei.

"Saya tidak yakin ada jalan lain selain ini. Sebagai Kirei, saya hanya bisa berkomunikasi dari tanah lapang ini. Apa yang ada di belakang sana, saya tidak tahu. Tapi ...,"

Sahala menunggu perkataan Kirei tua tersebut dengan perasaan berdebar. "Yang Terhormat bisa melewati jalur Pitok. Mereka adalah roh jahat yang menghuni dunia bawah. Mereka sering ke dunia atas mencari tubuh manusia untuk di tempati agar bisa terus berada di bumi. Mereka tahu jalur-jalur di sini. Yang Terhormat harus menemukan satu untuk membawa Yang Terhormat ke ruangan yang dicari."

Sahala mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Saat Kirei melepaskan tangan mereka. Ia menemukan beberapa permata dalam genggaman tangannya. Matanya terbelalak, ia mendongak mencari Sahala. Sayang, keberadaan sang Debata telah lenyap.

...

Bola api itu kembali masuk ke dalam lorong yang semula ia lewati. Anehnya, ia tidak menemukan gapura pohon kelapa tersebut. Alih-alih gapura, ia mendapatkan dua persimpangan.

Bola api itu kemudian memilih ke arah kiri. Ada jerit putus asa dan amarah yang samar-samar terdengar. Bola api itu menyakini intuisinya, kemudian tibalah dia di sebuah ruangan berongga-rongga yang berbau busuk dan suram. Tempat itu gelap total sampai cahaya dari bola tersebut menerangi.

"Siapa?" Terdengar suara serak dan parau. Tidak ada yang terlihat, namun, bola api itu perlahan mengubah wujudnya menjadi remaja fana. Dengan pendar cahaya api menguar dari tubuhnya.

"Aha! Manusia!" Suara serak yang riang kembali terdengar. "Manusia bodoh yang tersesat."

Makhluk itu memiliki tubuh tengkorak yang seluruh tulangnya berwarna hitam pekat. Bagian rongga matanya berwarna merah pudar seperti titik kecil di tengah kegelapan.

Sosok itu menerjang Sahala. Akan tetapi, tubuhnya sudah terpental ke belakang sebelum menyentuh.

"Tidak mungkin! Tidak ada pemimpin di tempat ini!"

Pitok itu melarikan diri ke dalam lubang-lubang yang berada di dalam dinding. Dia bersembunyi ketakutan, Sahala mencoba mendekat. Sialnya, makhluk itu memilih kabur.

Dia pun memeriksa rongga-rongga lainnya satu persatu, menelusuri batas akhir ruangan berongga sampai menemui jalan buntu. Sekembalinya ke titik awal, seorang Pitok berbeda sedang terkekeh menatap Sahala.

"Debata Dunia Bawah. Wah, kabar itu benar." Pitok tersenyum lebar dengan gigi menghitam bagai arang. "Anda mencari seogok arwah yang ditawan. Aku tahu tempat tersebut. Dunia bawah ini tidak sekedar lorong-lorong tikus. Tanah Lapang itu? Hah, itu bukan pintu masuk utama."

Sahala menatap tajam Pitok tersebut. Tidak sepenuhnya mempercayai, karena dia tahu. Roh jahat manapun penuh tipu muslihat. 

"Debata lain." Pitok berujar. "Bukan Kawasan Anda. Tetapi, berbahaya jika turut campur di dalamnya."

Sahala masih menatapnya sejenak. Kemudian mengabaikan Pitok tersebut sambil memeriksa rongga berbeda.

"Mereka pergi. Terakhir berurusan dengan Debata hanya menyebabkan eksitensi mereka melebur."

Pitok itu mengikuti Sahala dari belakang. Dia mengambil jarak aman, tidak terlalu dekat namun tidak begitu jauh.

"Dinding ini memiliki mata, mulut dan telinga. Mereka membicarakan apa yang terlihat dan di dengar. Jika manusia itu mati di atas tanah, jalur masuk yang di lewati adalah gerbang bawah tanah di tengah hutan yang terhubung dengan tanah Tai Kalelu, tanah lapang yang ditumbuhi pohon kelapa. Sebaliknya, jika roh tersebut mati di dalam air. Mereka akan terdampar di sebuah pulau, menunggu perahu Sipora menjemput."

Mendengar itu, tubuh Sahala mematung sejenak. Pitok yang menyadari bahwa Debata di depannya terpancing, terkekeh sambil berjalan mundur.

"Kedua tempat itu disebut Sabulungan Pertama. Tempat para arwah yang masih terikat dengan dunia manusia. Setelah melepaskan hal duniawi, mereka akan menuju Sabulungan Kedua, tempat penghakiman atas kelakukan mereka selama hidup. Arwah yang Anda cari berada di Sabulungan Ketiga, itu tempat tinggal parah roh leluhur dan roh orang mati menikmati kehidupan alam baka, jika mereka berkelakuan buruk. Maka di tempatkan pada Sabulungan keempat. Lebih buruknya, Sabulungan kelima itu penjara dan pemukimam makhluk-makhluk seperti kami. Debata bersaudara biasanya menyimpan tawanan mereka di Sabulungan kelima. Tetapi, tawanan khusus berada di Sabulungan keenam."

Pitok tersebut menunggu dengan sabar jawaban yang akan diberikan Sahala. Sedetik kemudian, rahang tengkorak tersebut membentuk seulas senyum mengerikannya.

"Jawaban yang bagus," kata Pitok tersebut setelah memahami keinginan Sahala. "Tetapi, Yang Terhormat harus memberikanku seorang tubuh manusia. Di dunia ini, tidak ada makan siang gratis."

Dengan kemampuannya sebagai seorang Dewa Dunia Bawah. Sahala menunjukkan tubuh Hansamu yang tidak sadarkan diri di pesisir pantai pada Pitok tersebut.  Pitok itu pun tersenyum puas sambil menjerit aneh dan melengking.

Dari dalam kegelapan, bermunculan Pitok-pitok dengan wajah yang sama buruknya dengan yang pertama. Mereka saling berbaur dan bercampur satu sama lain. Hingga sulit membedakan mana yang mengajak Sahala berbincang.

"Ujian pertama. Yang Terhormat harus menemukanku di antara saudara-saudariku. Tidak hanya itu, setelah menemukanku. Aku butuh raga yang Yang Terhormat janjikan."

Aestival Donde viven las historias. Descúbrelo ahora