35

58 8 2
                                    

Ayah membangun pondok darurat di pesisir dengan menggunakan daun kelapa kering. Tempat ini sepi, seingatku ada perahu yang pernah ditambatkan di sini. Tetapi, ayah bilang ini pesisir yang jarang didatangi penduduk lokal.

Wilayah sekitarnya penuh energi sihir hanya tetua adat setempat yang bisa mengunjunginya berserta orang-orang terpilih. Dunia Sudra mungkin mensakralkan wilayah ini. Itu bagus sekaligus buruk.

Aku makan makanan ringan yang masih ada di dalam tas. Tubuhku sudah kering seperti sedia kala, walau masih ada beberapa pasir yang melengket di rambut dan baju. Ayah telah menciptakan api unggun dan membakar ikan.

Tai Leubagut menolak ayah menyelam di lautnya, sebagai gantinya. Dia menyuruh wanita duyung memberikan ikan pada kami. Duyung-duyung itu tidak pergi, masih tetap di dekat perairan dangkal sambil terus mengawasi kami. Ayah agak kurang nyaman, namun berusaha mengabaikannya.

Duyung Mentawai memiliki kulit sawo matang eksotis yang terbakar di bawah matahari. Rambut mereka hitam panjang sampai ke pinggang. Mereka juga memakai manik-manik dan hiasan laut sebagai perhiasan di tubuh. Wajah mereka penuh tato yang menggambarkan dunia laut. Saat mereka tersenyum pada ayah, itu manis sekali. Tetapi, bila memandangku mereka seperti makhluk buas.

"Ayah, sampai kapan kita menunggu di sini?"

Hari mulai beranjak sore. Sinar matahari tidak terasa menyengat. Tetapi, aku cemas menghabiskan waktu tanpa berbuat apa pun.

"Sampai Naga Padoha tiba dengan Hansamu."

"Maukah Ayah membantu?"

"Dengan tidak ikut campur seperti ini, Nak. Bukankah Ayah sudah katakan? Dewa Bumi dan Naga Padoha akan mengurusnya. Mereka adalah Debata."

"Ayah." Aku berusaha membujuk.

"Aes?"

"Apa ini ada sangkut pautnya dengan kemaharajaan?"

Ayah yang semula sibuk merapikan daun kelapa kering dan mengumpulkan serabut kelapa sebagai bahan bakar api unggun, menatapku dengan wajah yang membuat tubuhku merinding.

"Kemaharajaan Mentawai sibuk dengan dunia mereka. Jangan sampai, kita menarik perhatian mereka."

Aku hanya menyimak dalam diam. Entah mengapa, aku teringat dengan kalimat Gege soal entitas di atas para Debata dan hubungan kemaharajaan dengan itu. Siapa aku? Sampai memancing entitas di atas para Debata.

Aku menatap Ayah dan api unggun silih berganti. Kami mungkin akan semalaman di sini. Tidak apa, itu bukan hal yang buruk. Aku mulai mengambil topik pembicaraan tentang petualangaku bersama Hansamu dan Sahala. Kusampaikam juga pada Ayah, jika kami kena kutuk Cindaku. Ayah tidak marah, hanya mengganguk dan percaya aku bisa mewujudkan mimpiku sebagai penunggang naga.

...

Pantai ini gelap, tanpa bulan tetapi penuh bintang yang bertaburan. Kami masih tidak memiliki kabar tentang Hansamu. Duyung-duyung Mentawai bersenandung dari jauh. Nyanyian mereka kuno dan bersifat magis.

Kata Ayah, sebagian lagu bisa memikat bila didengarkan dari dekat. Tetapi hanya berlaku pada laki-laki, sedangkan wanita bisa menimbulkan ilusi. Api unggun yang menyala, sangat berguna mengusir hawa dingin.

Aku memilih berjalan-jalan di dekat ombak sambil bermain air dengan membentuknya sebagai buah-buahan. Aku tetap menjaga jarak dari Duyung yang mengawasi sambil terus bermain mengusir rasa bosan.

"Aes!"

Aku menoleh, Ayah melambai dan di sampingnya berdiri Gege dan Sahala yang sedang menopang tubuh Hansamu. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menghampiri semuanya.

Wajah Hansamu pucat pasi. Dia seperti mayat, ada kantong mata panda menghias wajahnya. Aku menatap Gege dan Sahala. Aku butuh penjelasan tentang apa yang terjadi.

"Halo, Aes." Suara Hansamu nyaris tidak terdengar. Dia memaksakan diri tersenyum.

"Apa—"

"Aes. Jangan membuat Hansamu merasa beban. Biarkan mereka mendudukannya terlebih dahulu."

Ayah menyela sembari mengambil alih lengan Hansamu dari Gege. Dia dan Sahala membantu Hansamu duduk di dekat api unggun. Roh api Sahala tiba-tiba melompat dari dalam bajunya dan masuk ke dalam api dengan wajah senang.

Aku menunggu dengan sabar, bagaimana Ayah membatu Hansamu meminum air kelapa muda. Kemudian telapak tangan Ayah bercahaya biru saat menyentuh pucuk kepala Hansamu.

"Lebih baik?" tanya Ayah pada Hansamu.

"Iya."

"Apa yang terjadi?" Ayah akhirnya menanyakan hal tersebut.

Hansamu menghela napas. Matanya menerawang jauh pada api unggun. "Setelah kepalaku dihantam kelapa, aku berada di dunia bawah Mentawai. Aku tidak tahu tempat itu sampai Tai Kalelu- maksudku Gege menjemputku bersama Sahala dengan melihat tubuhku sendiri. Itu mengerikan. Apalagi, mengetahui tubuhku sempat dirasuki roh jahat. Pengalaman panjang menyelamatkan Borneo memang tidak mudah."

Hansamu kembali menghela napas. Ayah tidak lagi mendesak. Karena Gege sudah meringkas singkat perjuangan mereka menangkap Pitok yang merasuki tubuh Hansamu di kemaharajaan Mentawai. Itu sedikit sulit bagi Gege, karena dia membawa Sahala sembari menyembunyikan identitas mereka.

Mereka menyusup ke tempat-tempat hiburan dari yang legal hingga tersembunyi. Karena percaya, Pitok biasanya menyukai manusia lemah iman di tempat tersebut. Gege tidak menjelaskan detail apa yang ada di sana. Dia menutup cerita ketika, Sahala melenyapkan Pitok tersebut dengan apinya dan menarik jiwa Hansamu dari dunia bawah Mentawai ke dalam tubuhnya.

...

Setelah Hansamu merasa cukup baik. Kami memutuskan segera meninggalkan kepulauan Mentawai malam itu juga. Ayah menyarankan kami ke Padang dan melarang Sahala membuka portal antar provinsi. Ayah tidak ingin, dia menarik perhatian siapa pun. Sebagai gantinya. Ayah mengeluarkan uang koin 100 perak dalam 7 keping dengan membisikkan mantra, "Siwarstri Arunika."

"Apa itu, Ayah?" tanyaku bingung. Koin yang dilemparkan menghilang di udara.

"Bus malam. Kalian akan naik bus hantu menuju Padang."

Suara Gege yang memekik membuatku tersentak ngeri. Dia menatap Ayah dengan tidak percaya. "Anda naik bus mistis? Oh, maaf. Aku tidak ikut. Aku mau kembali ke perkemahan. Selamat berjuang dan berhati-hati di mitologi orang lain, Aes."

Hanya sekali aku mengedipkan mata. Gege sudah tidak ada lagi. Aku menelan saliva dengan cemas. Kisah-kisah tentang bus hantu tidak pernah terdengar baik. Tetapi, bila ayah memilih ini, mungkin ini pilihan terbaik dari sekian kosekuensi yang ada.

"Kalian bertiga naik bus tersebut." Mataku terbelalak pada Ayah. "Aku akan pulang mengurus sesuatu."

"Ayah tidak ikut?"

"Tidak. Ini petualanganmu, Aes. Ayah tidak bisa ikut." Ayah menarik pergelangan tanganku. Kemudian menaruh sekantung uang penuh koin 100 perak. "Bus itu jauh lebih aman. Tetapi dia hanya beroperasi saat hari mulai gelap sampai matahari terbit. Gunakan itu, sesuatu yang mengejar kalian tidak mudah mendekati."

"Anda tahu siapa yang menyerang Aestival?" Suara Hansamu terdengar serius saat menyela. Dia menatap Ayah dengan binar penuh keyakinan.

"Aku mencurigai Nusa. Namun, tidak tahu siapa yang ia lindungi. Selama aku bersama kalian. Sosok itu tidak berani mendekat. Tapi, saat mulai berpisah. Antek-anteknya akan kembali berulah. Aes."

Tatapan ayah, mendadak bergeser padaku. "Ayah yakin, kau bisa menghadapi semua tantangan ini. Sosok itu tidak akan membunuh kalian. Tetapi cukup andal membuat kalian kerepotan."

"Dia melukai Borneo dan menyerang kami," kata Hansamu dengan nada menggebu-gebu. "Itu tindakan serius."

"Benar, cukup serius membuat kalian sekarat dan menyerah menjadi penunggang naga. Aku menjamin hal tersebut. Dia tidak berani membunuh kalian—"

"Tapi, tetap bisa melukai kami sampai sekarat," ucapku memotong kalimat Ayah.


Aestival Where stories live. Discover now