39

27 3 6
                                    

Aku berusaha mempercayai kalimat Hansamu. Kemudian tersadar bahwa catatanku telah dibalas oleh tulisan tangan Yang Mulia Tamboga.

Aes.
Aku khawatir tubuhmu banyak lebam dan memar. Apa Hansamu mengobatimu dengan baik?

Orang itu, sejak kita berpisah. Aku mulai menyelidiki apa yang sedang terjadi pada naga di Aestival. Kugunakan semua koneksiku untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Aes.
Aku tidak sanggup mengatakan fakta yang sebenarnya padamu. Sahala tampaknya tahu sejak awal masalah ini. Dia memang menyebalkan, Oh Dewa.

Sahala tidak sebaik yang kau kira. Dia memanfaatkanmu untuk membalaskan dendam pada Deak Parujar. Semua yang menimpa kalian adalah rencana Sahala. Dia

Tulisan tangan Yang Mulia Tamboga terhenti di sana. Jantungku berdebar-debar sampai tanganku terasa gemetar. Fakta ini terkesan jahat. Aku tidak bisa menerimanya. Tetapi mengapa dadaku terasa sesak?

Rasa sakit di punggung kembali menjalar dengan berdenyut-denyut. Aku menengadah pada Hansamu yang balas menatapku cemas.

"Apa tubuhmu terasa sakit lagi? Biar aku sembuhkan."

Hansamu bergerak cepat mendekatiku. Dia menyentuh pundakku sembari berbisik lembut, "Anjana Omprakash."

Sensasi dingin kembali menyelimuti tubuh. Rasanya menyejukkan, namun tetap tidak bisa menghilangkan perasaan buruk di dalam dada.

"Merasa lebih baik?" Hansamu memastikan. "Ini mantra pemulihan."

Aku mengganguk saja. Hanya diam dengan pikiran sendiri. Aku bingung, apa yang harus kutulis untuk membalas surat Yang Mulia Tamboga. Aku yakin, dia pasti belum selesai menuliskan pesan tersebut.

"Aes," kata Hansamu membuyarkan lamunanku, "aku akan pergi mencari apa pun yang bisa dimakan di hutan ini. Maukah kau menunggu?"

"Tidak," jawabku tegas. Aku pikir, kami harus mengejar waktu. Aku bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk celana dari dedaunan kering yang menempel. "Aku akan memanggil Sahala."

"Kau punya nomor ponselnya?" balas Hansamu

"Tidak."

"Kau punya kertas lontar pos?"

"Tidak."

"Jadi, bagaimana kau menghubunginya?"

"Kita akan masuk ke Chaya. Dunia bayangan mitologi Indonesia. Aku akan membukanya dari wilayah Maluku. Kita akan berlayar di sana sampai ke Medan dan mencari petunjuk tentang para naga."

Dunia Chaya. Harusnya ide ini bisa berhasil. Dunia Chaya memang bukan dunia populer yang diketahui banyak orang. Hanya seseorang dengan garis darah keturunan para Debata yang tahu dan tidak mudah untuk masuk ke dalamnya jika tidak ada akses. Aku punya akses itu, pembuluh darahku mengalirinya.

Ayah pasti marah, jika aku melakukan ini. Kemaharajaan Nasional tidak punya akses dan mereka tidak tahu. Barangkali para pemimpinya tahu, entahlah.

Aku berjalan melewati Hansamu yang berdiri, lalu kembali ke posisi awal. Aku mengulang gerakan ini berulang kali. Hansamu hanya diam dengan wajah penuh tanya.

Sebab, aku sudah memasang wajah jangan dulu bertanya, karena aku harus memikirkan cara terbaik memasuki dunia tersebut. Jika Sumatra punya sungai asrar sebagai jalan tol dunia sihir, maka akan kugunakan jalan utama yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

"Aku harus menghubungi dewa pencipta Limniditi Fenreu," kataku pada diri sendiri, "Dia entitas tertinggi di mitologi Tanimbar. Tapi garis keturunan ibu berasal dari Ompak Lanit. Aku tidak bisa sembarangan membuka komunikasi."

Aestival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang