24

55 7 0
                                    

Aku menunduk, tidak nyaman dengan tatapan Nusa yang mengintimidasi. Kemudian, aku tersentak. Ku angkat wajahku kembali. Nusa masih tetap menatapku tajam. "Aku tidak mengerti. Mengapa Anda bisa ada di sini?"

"Hm."

Nusa hanya bergumam lirih. Emosi wajahnya membuat tubuhku merinding. Tampaknya dia tersinggung. Aku tersentak, rupanya pertanyaan tadi adalah kesalahan.
Nusa adalah Ibu Pertiwi. Satu-satunya Debata tertinggi Nusantara yang memiliki akses ke seluruh mitologi Sabang sampai Merauke.

"Aes."

"Ya, Nusa?" jawabku sambil kembali menunduk.

"Aku tahu, kalian pasti akan membuat masalah. Ah, leherku tegang sekali." Nusa memegang lehernya dengan tatapan sinis padaku.  "Kalian pikir, kabur dari perkemahan itu keren? Sekarang malah berulah dengan membuat para Cindaku marah. Ayo, pulang."

Aku mengangkat wajah. Bahuku sudah dicengkram Nusa. Belum sempat merespon apa pun. Pandanganku sudah kembali ke hutan. Sahala dan Hansamu menatap ke belakangku dengan ngeri. Seolah-olah, aku datang membawa arwah penasaran. Toh, makhluk tersebut lebih berbahaya dari arwah. Roh alam Mambang pun ikut bersembunyi dibalik dedaunan, batang pohon dan masuk ke dalam air.

"N- Nusa?" ujar Hansamu dengan menelan saliva.

Aku membalikkan tubuh ke arah Nusa dan secara perlahan melangkah mundur ke arah Hansamu dan Sahala. Penampilan Nusa dengan kebaya hijau menampilkan aura yang mengintimidasi, menakutkan, berbahaya dan aura mistis seperti ratu Pantai Selatan.

Dia masih menatap kami penuh perhitungan, lalu terpaku pada Hansamu. "Kau tahu ganjaran menggunakan ilmu hitam di bawah umur, Hansamu?"

Aku melirik Hansamu dan ia hanya mengganguk kikuk.

"Surat peringatan sudah dikirim ke orangtuamu."

"A- Apa? Tapi Nusa ...,"

"Kabur dari perkemahan, membius kuda sembrani, menggunakan sihir kutukan pada Cindaku dan membuat Hyang Jambi marah. Menurutmu, itu belum cukup memberitahu orangtuamu? Kalian bertiga akan pulang denganku. Tidak ada negoisasi. Urusan naga dan penunggang naga bukan urusan kalian."

"Kami akan minta maaf pada Mambang, Dewo dan Peri." Aku menyela tuk memberitahu.

"Dan menyelesaikan masalah dengan kata maaf? Jangan naif, Aes."

"Kami harus minta maaf, jika Anda ingin kami pulang sekarang. Bantu kami bertemu ketiga Hyang tersebut. Bagaimana pun, kami ingin mengakui kesalahan ini secara berani dan bertanggung jawab."

"Aes?" Hansamu menepuk bahuku pelan. Alisnya berkerut dengan sedikit menggeleng. "Kau akan kehilangan nagamu."

"Borneo," balasku.

"Aku akan mengurus Borneo." Aku dan Hansamu serempak menoleh pada Nusa. Lalu dia melirik Sahala. "Usaha bagus, Naga Padoha. Aku tahu kau bisa mengurus sisanya."

Hanya dengan satu lambaian tangan. Sebuah pusara angin terbuka membentuk portal di depan kami bertiga. Angin berembus meniupkan dedaunan kering di depan mataku.

Para roh alam yang awalnya bersembunyi keluar dengan rona bahagia. Mereka berlari dan berlomba-lomba masuk ke dalam pusara tersebut, sedangkan roh api Sahala yang berjumlah tiga. Menatap Sahala penuh permohonan. Kemudian menunduk dengan tatapan kecewa. Mereka hanya melambai-lambai pada kawanan Mambang dan kawan-kawannya.

"Masuklah, minta maaf dan pulang," titah Nusa mutlak.

Aku mengganguk. Menatap Hansamu dan Sahala untuk meminta pendapat. Kemudian kami sepakat dengan tatapan mata untuk masuk secara bertahap. Hansamu melangkah pertama, kedua aku dan di akhiri oleh Sahala.

Aestival Where stories live. Discover now