31

59 8 9
                                    

Hansamu merasa aneh. Dia di kelilingi manusia bertubuh pucat dan berkulit abu-abu. Rona merah sama sekali tidak menghiasi permukaan kulit mereka. Ada yang tampak seperti orang linglung, ada pula yang sedang terduduk sambil menangis tersedu-sedu, seorang pria berbadan berisi dengan perut membuncit terus-menerus mengutarakan kekesalannya sambil menghajar orang-orang bertubuh kurus yang ada di hadapannya. Anehnya, orang-orang yang dipukul tidak melakukan perlawanan dan lebih memilih menghindarinya.

Hansamu mencoba mengingat hal terakhir yang terjadi. Seberapa keras ia mencoba, hanya sakit kepala yang ia rasakan.

...

Di tempat berbeda, para Pitok menunggu jawaban Sahala dengan tersenyum miring. Sahala sendiri tidak suka dipermainkan dan melakukan aktifitas yang membuang-buang energi. Maka hanya dalam satu lambaian tangan. Tubuh Hansamu sudah terbaring kaku di depan para Pitok.

Melihat tubuh manusia tanpa jiwa. Seluruh Pitok berebut ingin merasuki.  Namun, satu suara serak yang marah dan memaki-maki di tengah kerumunan membuat mereka yang ingin merasuki tubuh Hansamu menjadi diam tidak berkutik.

Pitok tersebut tersenyum puas pada Sahala. Kemudian dengan cepat meleburkan diri pada tubuh Hansamu.

"Oh Semesta." Suara asing terdengar dari bibir Hansamu. "Betapa nikmatnya memiliki tubuh yang dialiri darah dan jantung yang berdetak."

Tubuh itu milik Hansamu. Namun, jiwa tersebut bukanlah milik Hansamu. Pitok-pitok lain menatap iri padanya.

"Panggil aku Dilan." Pitok tersebut memutuskan satu nama sambil menyeringai pada teman-temannya. Kemudian, ia melirik Sahala. "Akan kuantarkan Yang Terhormat pada Sabulungan kelima."

...

Sahala bergerak cepat bagai embusan angin di belakang Dilan yang merasuki tubuh Hansamu. Mereka bergerak di lorong-lorong panjang yang pengap.

Sesekali menemukan makhluk aneh tidak berbentuk yang menyerang. Tetapi, Dilan mampu menyingkirkannya dengan mengaktifkan sihir kegelapan yang ada pada tubuh Hansamu. Dia tampak sangat senang menikmati tubuh barunya.

Entah berapa lama waktu dihabiskan, Dilan membawa Sahala pada sebuah danau yang airnya hitam pekat dan mengeluarkan bau seperti telur busuk. Sekeliling danau tersebut ditumbuhi ilalang dengan warna hitam seperti habis dimakan si Jago Merah.

"Sabulungan kelima berada di bawah sana." Dilan menunjuk danau hitam tersebut. "Mudah dimasuki, tetapi sulit untuk keluar."

Sahala hanya diam menatap danau tersebut. Seolah paham apa yang ada di dalam benak Sahala. Dilan kembali berujar, "Roh-roh di sana bisa keluar saat bulan purnama di dunia manusia terjadi. Tetapi celah tersebut hanya terbuka seperkian detik. Yang Terhormat bisa masuk ke sana dan aku akan menunggu di sini. Tubuh manusia akan terjebak, bila aku masuk ke dalam danau."

Sahala masih tetap diam. Jika informasi Dilan benar adanya. Dia harus mencari Aes ke sana. Tetapi, membawa tubuh Hansamu bukan ide yang bagus. Debata Dunia Bawah tanah Batak ini belum bisa memutuskan jawabannya. Sahala masih menimang-nimang cara lain memasuki danau tersebut.

"Yang Terhormat bisa membawa diriku." Sesosok tengkorak hitam berukuran kecil seperti anak-anak keluar dari dalam ilalang. Mata merah tengkorak itu bersinar cerah menatap Sahala.

"Pergi dari sini!" Dilan tiba-tiba membentak. Namun, Pitok kecil itu menggeleng.

"Jika aku menemani Yang Terhormat masuk ke dalam. Dilan harus memberikan tubuh itu padaku."

Dilan naik pitam. Dia merangsek maju dan bocah Pitok tersebut bergerak cepat ke tengah danau. Melambai kepada Sahala kemudian melompat ke dalam air.

"Sialan!" umpat Dilan yang panik. "Yang Terhormat tidak akan melakukan itu, 'kan?"

Mendadak, tubuh Hansamu roboh di atas ilalang hitam. Dilan sudah kembali ke wujud awalnya sebagai tengkorak hitam.

"Aku akan ke sana."

Dilan pun ikut melompat masuk ke dalam danau. Ujung bibir Sahala tertarik tipis. Dia kemudian menyusul kedua makhluk kegelapan itu ke dalam danau.

Dunia bawah air, tidak tampak berbeda dengan apa yang ada di atasnya. Dinding berbatu hitam mendominasi ruang bawah tanah tersebut dengan urat-urat magma yang menjalar terang di seluruh tempat.

Lantai di Sabulungan itu penuh dengan tulang-belulang. Setiap Sahala melangkah, akan terdengar bunyi tulang patah. Selain Pitok, makhluk bertudung hitam juga menghuni tempat tersebut. Terdapat pula manusia bertanduk hitam dan merah yang duduk di atas tumpukan Pitok yang disusun menjadi tempat duduk.

Kehadiran Sahala yang memancarkan aura Debata tentu saja menarik atensi makhluk-makhluk tersebut.

"Yang Terhormat ingin menuju Sabulungan Keenam. Beri jalan dan jangan menghalangi."

Dilan berdiri di depan Sahala. Mengambil sikap seperti seorang bodyguard. Dia menuntun Sahala berjalan menuju sebuah lorong yang pintu masuknya terbuat dari pilar kepala Pitok yang disusun menjadi satu.

"Tahan sebentar." Salah satu makhluk bertanduk melangkah mendekati. Dia memiliki tubuh berotot hitam tanpa mengenakan sehelai kain menutup dada dan perutnya yang berotot.

"Jangan menghalangi Yang Terhormat," ujar Dilan memperingati.

"Yang berkuasa di sini adalah aku." Makhluk itu membalas kasar kalimat Dilan dengan tangan mencekik udara. Ironisnya, leher Dilan remuk dan tubuhnya hancur berkeping-keping.

"Namaku Ratoza dan Yang Terhormat?" Ratoza mengejek Sahala. "Kau berharap aku memanggilmu seperti itu?"

Makhluk-makhluk hitam di belakang Ratoza tertawa terbahak-bahak.

"Kau tidak dizinkan melintasi Sabulungan kelima."

Sahala hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.

"Kenapa tidak bicara?" Ratoza mencari tahu. "Kau bisu? Debata bisu?"

Gelak tawa kembali terdengar dari pengikut Ratoza.

"Aha! Jadi kau bisu? Bagaimana kita berkomunikasi? Tunggu sebentar."

Seorang Pitok maju sambil berbisik di telinga Ratoza. Mata Ratoza yang semerah darah terbelalak kemudian dia tersenyum lebar.

"Kau membawa tubuh manusia fana sebagai transaksi. Itu imbalan yang sangat menggiurkan di tempat ini."

Sahala tetap diam. Merasa tidak perlu ada komunikasi batin dengan Ratoza. Sahala membalikkan tubuh, berniat melewati gerbang di hadapannya. Namun, sebuah serangan ledakan melewati telinganya begitu mudah.

"Aku rasa kau tidak tuli," ujar Ratoza sinis. Para pengikutnya sudah membubarkan diri dengan mengambil tempat di tepi ruangan. Seolah-olah, mempersiapkan arena tarung pada majikan mereka.

Sahala menoleh sekilas dan dengan tampang bodoh amat melanjutkan langkah kakinya. Sayangnya, di detik itu juga. Serangan Ratoza mengenai tubuh Sahala. Bukannya terluka, punggung Sahala yang ditutupi kaos warna merah tetap baik-baik saja.

Ratoza mengamuk, dia kemudian melesat mencederai Sahala lebih gila dengan mengeluarkan cakar dari kuku jari yang memanjang kehitaman. Menyadari ada serangan dari balik punggungnya, Sahala tetap berjalan melewati pilar.

Tepat saat itu terjadi. Ledakan dengan suara bising menggelegar, seluruh gua bergoyang bagai gempa bumi. Tulang-belulang yang ditempati Ratoza dan Sahala longsor ke bawah tanah dan asap putih mengepul di mana-mana.

Para makhluk kegelapan menahan napas. Mereka saling melirik satu sama lain. Kemudian, berjalan tertatih-tatih melihat ke bawah longsoran. Alih-alih gerbang dengan pilar kepala Patok sebagai pintu masuk Sabulungan keenam. Melainkan, lantai di bawah pilar tersebutlah jalan menuju Sabulungan keenam.



Aestival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang