8

87 18 0
                                    

Aku tidak tahu, kalau perpusnas berada di sebrang Monas. Kami berdua memanjat pagar dengan sedikit— nakal. Hansamu lebih dulu memanjat. Lalu menatap sekitar, memastikan tidak ada seorang pun yang menangkap basah kami.

Tetapi, beberapa orang yang berlari pagi di tepi trotoar menatapku dan Hansamu dengan alis bertaut. Karena terkejut. Celanaku sedikit sobek di bagian lutut.

"Kau tak apa?" tanya Hansamu dengan tatapan khawatir.

"Baik-baik saja. Tetapi, aku lapar."

"Aku juga. Kita menyebrang dulu."

Aku mengikuti. Hansamu berjalan di depan, telapak tangannya ke atas. Mencoba memberi tanda pada kendaraan agar kami dapat menyebrang di zebra cross.

Jalan di sini sejuk. Pepohonan tumbuh di sepanjang trotoar. Aku agak khawatir, jika musim hujan tiba. Apakah pepohonan di sini tidak tumbang?

Kami masuk ke halaman perpusnas dengan tubuh belum mandi dan wajah bantal. Lalu masuk ke gedung cagar budaya yang memiliki jendela kayu panjang. Ruangan di dalamnya mirip galeri. Tetapi, Hansamu tidak membiarkanku melihat-lihat. Padahal aku tertarik melihat ruang pustaka.

Keluar dari gedung cagar budaya. Aku  menatap takjub pada tampilan luar perpusnas yang terdiri dari dua puluh empat lantai. Di lobi utama, ada bola dunia di sisi kiri dan beberapa pajangan bergambar wajah orang yang tidak kukenal dan wajah pahlawan nasional.

Lobi perpusnas cukup luas dan indah. Ini pertama kalinya aku di sini. Langit-langitnya bergambar peta Indonesia. Hansamu pun menuntunku pada cafe di sisi kiri. Kami mengambil tempat di salah satu meja dekat dinding.

"Tunggu sebentar. Aku akan memesan makanan. Aku yang traktir."

Hansamu sudah berjalan pergi, sebelum aku bisa membalas kalimatnya. Aku merenggut di tempat. Lalu terbelalak melihat Sahala muncul tiba-tiba. Dia menghampiri Hansamu.

Aku tidak tahu Hansamu berbicara apa. Tetapi, tampaknya ia terkejut melihat keberadaan Sahala. Sedetik kemudian, dia mengganguk dan Sahala berjalan ke arahku dan duduk di salah satu kursi kosong.

"Kau," ucapku kesal. "Kemana saja kau semalam?"

Sahala tidak menjawab dan memang dia tidak bisa menjawab. Mata hitamnya melirikku sekilas. Lalu memalingkan wajah ke arah lain. Dia terlihat tampak bersih dan sedikit wangi. Rambutnya tetap saja berantakan. Kuduga, dia hanya mencuci tanpa menyisir.

Sahala juga mungkin menginap di sebuah tempat tanpa mengajak kami. Aku tidak peduli di mana. Dia bahkan menghilang saat kami terjatuh.

Saat aku sibuk memandang Sahala penuh tuntutan. Hansamu datang dengan tiga piring pasta dan tiga botol air mineral. Aku ingin makan nasi. Tetapi, aku harus menghargai makanan yang ada di hadapanku.

Hansamu menginginkan kami makan dalam diam. Seolah dia tahu, aku akan mengeluarkan banyak pertanyaan.

...

Di lantai dua puluh empat perpusnas. Hansamu menuntun kami pada layanan koleksi nusantara. Aku melihat angklung di salah satu sudut  ruangan. Kami melewatinya dan menuju rak-rak penuh buku. Sebelum melangkah lebih dekat, Hansamu berhenti sebentar. Lalu berkata, "Masasastra Nusantara."

Pilar hijau tiba-tiba muncul di depan kami. Hansamu dan Sahala masuk ke dalamnya tanpa ragu lalu lenyap. Aku melirik sekitar. Para sudra tampaknya tidak menyadari fenomena ini. Begitu aku melangkah menembus pilar. Aku menangkap aroma rempah-rempah yang begitu manis. Dan yang lebih mengejutkan, aku berdiri di atas balkon. Menatap ruangan yang seluruh dindingnya penuh buku.

Di bagian bawah, berdiri sebuah pohon yang batangnya agak bengkok.  Lantainya diselimuti rumput hijau. Kekagumanku belum selesai, beberapa buku bercahaya warna-warni melayang di udara. Rasa-rasanya, aku ingin tinggal di tempat seperti ini.

Aestival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang