22

49 9 0
                                    

Hansamu menghela napas berat pada catatan terakhir Tapa Tamboga. Sembari menatap Hansamu, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang Tapa Tamboga tulis. Ingatan itu adalah saat pertama kali Tama menjelaskan mengenai roh alam saat menghadang kami bertiga. Dia sudah menyinggung masalah Mambang, Dewo, dan peri sedari awal.

"Kita harus mencari mereka," kataku penuh keyakinan.

Sahala mengganguk pada Hansamu dan Hansamu mengganguk padaku. Lalu berujar, "Aku harus minta maaf pada Hyang tanah Kerinci. Kita harus mencari Dewo melalui tempat sakral di hutan ini. Berkeliaran seperti itu, tidak akan berbahaya kan, Sahala?

Tatapan Hansamu mengarah ke Sahala yang dibalas dengan anggukan kepala. Lantas, kami berdua tersenyum lega.

Sahala pun mulai memimpin perjalanan dengan mengambil rute berlawanan dari jalan setapak milik Tama dan kawan-kawan. Aku tidak akan bertanya alasannya, kupercayakan perjalanan ini pada Sahala. Walau di awal aku agak kesal dan membencinya sekarang. Rasanya aku ingin menyembunyikan wajah.

Bisa-bisanya aku ingin membebaskan seorang Debata Naga dengan modal menjadi penunggang naga. Lebih bodohnya, aku menyombongkan hal tersebut di depan orangnya langsung.
Sahala pasti menertawakanku.

"Sahala," ungkapku sambil mempertimbangkan kalimat yang akan kukeluarkan. "Menurut mitologi, Naga Padoha disegel Deak Parujar di dunia bawah."

"Lantas?" Hansamu malah menjawab. Aku mulai terbiasa dengan percakapan aneh kami.

"Bagaimana caranya kau bebas? Maaf, bukan maksudku lancang."

Tidak ada jawaban dari Hansamu. Aku melompati sebatang pohon tumbang yang lapuk, lalu hampir tersandung oleh daun kering yang licin. Tidak ada semak-semak liar di sekitar kami. Sebagai gantinya, adalah pepohonan setinggi tubuhku yang tumbuh dengan daun-daun kering di bawah tanah. Cahaya matahari makin terasa panas, menyusup lewat sela-sela dedaunan. Aku lapar, kami belum sempat sarapan atau minum. Tetapi malah dikutuk jadi batu dan harus mencari dewa dewi Jambi.

Aku tidak lagi bertanya. Toh, Hansamu juga diam. Namun sesekali dia bergumam sendiri. Aku meyakini, Sahala dan Hansamu saling bertukar pikiran tanpa melibatkan diriku.

Aku tidak tahu seberapa lama kami masuk lebih dalam di hutan. Pemandangan di sekitar terlihat sama saja. Di tengah rasa gerah, perut melilit dan kulit tangan yang mulai gatal. Samar-samar aku mendengar suara aliran air. Langkahku menjadi semangat mengikuti Hansamu dari belakang. Lalu, jalan di depan semakin terbuka dan sebuah aliran air di antara batang berlumut dan bebatuan sungai menjadi pandangan yang melegakan.

"Kita sampai?" tanyaku antusias. Aku berniat membasuh wajah. Sahala hanya berdiri diam di bibir sungai tanpa respon lalu duduk bersila di dekat sungai. Tidak mempedulikan tanah basah di bawah kakinya.

"Sahala ingin kita istirahat di sini," ujar Hansamu yang sibuk mengumpulkan ranting kayu kering.

"Apa yang mau kita masak?" tanyaku sambil memperhatikan aliran sungai. Mungkin ada ikan yang bisa kami tangkap. Air sungai kecil ini jernih dan transparan. Sehingga tumbuhan liar yang di dasar terlihat.

"Aes."

Aku menoleh pada Hansamu yang tahu-tahu saja sudah membuat api unggun kecil.

"Apa?" balasku.

"Sahala ingin kau berkomunikasi dengan roh air dan roh hutan di sekitar sini."

Aku mengerutkan kening, melirik Sahala yang sedang duduk bersila sambil melipat tangan dan mata terpenjam.

"Aku tidak yakin. Tapi, akan kucoba."

Aku memejamkan mata. Mempertajam indra pendengaran pada aliran air di depan, embusan angin yang bertiup di dedaunan pohon dan bunyi derik oleh api yang membakar kayu.

Perlahan, aku membuka kelopak mata. Roh alam berbentuk bola-bola cahaya kehijauan berpendar indah di sekitarku dan dari sebrang sungai, sedangkan di atas air bola-bola berwarna biru melayang seperti bola api. Bedanya, ada bentuk wajah imut di lingkaran cahaya tersebut.

"Hebat, Aes! Kau memanggil banyak sekali roh alam!"

Aku menoleh pada ujaran kebahagian Hansamu. Dari dalam api, keluar pula bola-bola cahaya seukuran bola pingpong yang melompat-lompat di atas tanah. Beruntung, cahaya api mereka tidak membakar benda yang tersentuh.

"Aku tidak menduga roh api bisa keluar?" kataku tidak yakin. Aku belum pernah memanggil roh alam berupa elemen api. Tetapi, makhluk-makhluk ini melompat ke arah Sahala dengan menyundul kepala mereka di kakinya.

"Kau yang memanggil mereka?" tanyaku pada Sahala. Dia Debata dunia bawah. Seekor naga merah yang mampu mengeluarkan napas api. "Hansamu?" tambahku sambil menatap wajahnya meminta jawaban.

Hansamu yang sedang menjaga nyala api terdiam sebentar menatap Sahala. Lalu melirikku kembali sambil mengganguk. "Sahala yang memanggil. Dia bilang, kau harus belajar memanggil roh api. Salah satu kemampuan yang kita butuhkan melepas Bor ... neo."

Wajah semangat Hansamu berubah muram. Namun emosi itu hanya singgah sebentar sebelum senyum ceria Hansamu kembali. "Sahala ingin Aes mempelajari roh api."

"Tapi kita juga harus mencari cara memanggil Dewo. Emm, sebentar. Aku akan bertanya pada Tapa Tamboga. Apa kita perlu ritual khusus atau sejenisnya."

"Tidak." Mata Hansamu mengarah ke Sahala. Lalu beralih menatapku lagi. "Kita bertiga bisa melakukannya tanpa Yang Mulia. Sahala ingin tahu, apa Aes bisa menembus dunia roh?"

"Dunia roh? Tidak," jawabku sambil menggeleng. "Aku belum pernah masuk ke sana. Itu dunia orang mati, 'kan?"

Ketika aku mengucapkan kata itu. Rasa di dadaku terasa tidak nyaman. Ibu telah tiada, jika memang dunia roh bisa dimasuki. Mungkin itu artinya aku bisa bertemu Ibu. Sejak kecil, aku hanya bisa melihat lukisan ibu, foto-foto lamanya dan kisah hidupnya dari ayah. Sesekali aku bermimpi Ibu datang padaku. Tanpa sadar, aku mengusap ujung pelupuk mataku.

"Dunia roh mana yang kita masuki?" ujarkuku sambil menatap sepatu biruku yang kotor. "Maksudku, mitologi yang mana? Karena tiap mitologi, punya dunia dan peradaban berbeda."

Begitu mengangkat wajah. Aku tersentak oleh tatapan Sahala dan Hansamu. Itu jenis tatapan belas kasih. Aku, agak tidak nyaman.

"Aes. Aku janji kita akan bebas." Hansamu mencoba berjalan mendekatiku, nyala api unggunnya terbakar stabil. "Aku tidak berpikir, perjalanan membebaskan Borneo dan mencarikanmu naga akan seperti ini."

"Jangan merasa bersalah." Kutambahkan dengan suara ceria. "Ini sudah keputusanku menjadi penunggang naga. Hanya kau satu-satunya harapanku, Hansamu. Tidak, kau harapan terakhir para penunggang naga yang keluar dari Aestival. Kita harus segera ke Medan menyelamatkan Borneo dan mencari dalang siapa biang kerok dari semua ini."

"Aes sangat berani." Hansamu memuji.

"Cukup berani untuk keluar dari perkemahan malam-malam," kataku dengan nada canda. Lantas, aku melirik ke arah Sahala yang diam menyimak kami berbicara. "Sahala?"

"Aes. Sahala ingin kau tahu rencananya." Aku kembali menoleh pada Hansamu. "Dia akan membuka pintu menuju dunia roh mitologi Jambi. Aes dan aku akan masuk ke dalamnya, Sahala tidak bisa masuk ke sana. Hanya kita berdua."

Aku perlu waktu sebentar untuk berpikir. Menimang-nimang rencana tersebut. Sahala menatapku tajam, menuntut jawaban. Aku sadar, mustahil bagi Sahala masuk ke dunia Debata mitologi lain. Tetapi, harusnya aku juga tidak bisa. Ada darah seorang Dewi dalam tubuhku. Satu-satunya orang yang bisa leluasa adalah remaja laki-laki Dayak di sampingku.

"Aes, siap?" Hansamu sudah bertanya tanpa menunggu jawabanku. Sahala telah memegang pundak Hansamu dan dia memintaku memegang tangannya. "Kita harus bergandengan tangan Aes. Sebagian roh kita akan menuju dunia roh."

Aku menelan saliva. Walau masih ragu, aku memberanikan diri memegang tangan Hansamu. Tepat saat itu terjadi. Aku merasa tubuhku tersentak. Seluruh energi roh alam di sekitarku seolah menelan ragaku dalam lubang kehampaan dan semuanya berubah gelap.

_/_///__/_/_
Tbc

Aestival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang