3

250 39 4
                                    

Aku pingsan sekitar lima menit. Terbangun di kursi rotan di teras luar asrama laki-laki. Issa, Kori dan seorang yang tidak kukenal saling menatap. Di sudut lain ada Nagi, Onna dan Novia serta Nias. Si Tinggi Sahala entah ke mana.

Onna yang melihatku terbangun, tersenyum lega sambil menyikut perut Nagi. Sedangkan Novia melakukan tanda aneh yang kuyakini simbol doa bangsa duyung.

"Dia sudah sadar," kata Issa dengan dagu menunjuk ke arahku. "Sudah berapa kali kubilang? Jika kau melakukan tradisi bodoh. Kau akan kena penalti."

"Kalian bisa pergi," ujar Kori yang terdengar untuk kami berempat. Aku menatap Novia dan gadis itu mengganguk.

"Pergilah. Aku tahu ini bukan kehendak kalian. Oh, hai, aku Nemma. Ketua asrama cowok."

Nemma seorang laki-laki berkacamata bulat. Rambutnya diberi  gel dan disisir ke belakang. Sisiran yang sangat disukai ayah. Bahkan, cara bicaranya pun terdengar mirip.

"Um, Halo juga."

Aku dan yang lain bergegas pergi meninggalkan teras. Bahkan, tidak berani menoleh ke belakang. Kami berempat berjalan dalam hening menuju tanah lapang yang penuh kunang-kunang. Semua orang makan tanpa menyadari masalah yang tadi terjadi atau memang malas ikut campur. Kami berbaur pada barisan yang masih kosong dan daun pisang yang menu nasi liwetnya masih lengkap. Sebelum duduk, kami singgah di tempat cuci tangan dan duduk tanpa suara.

"Aes." Aku mendongak menatap Nagi yang belum menyentuh makanannya. "Aku minta maaf soal tadi."

"Soal yang mana?" Padahal aku sudah lapar. Ayam bakarnya menggiurkan.

"Ular tadi."

Aku terdiam sebentar. Memahami maksud perkataan Nagi. Lalu tersadar. "Oh, tidak apa."

"Kau pingsan. Aku tahu kau takut. Aku minta maaf. Memang menakutkan manusia ular sepertiku. Kalian punya darah yang jauh lebih terhormat dariku."

Ayam bakar mendadak tidak terlihat menggiurkan. Kugigit potongan timun dengan perasaan sungkan.

"Aku baik-baik saja Nagi. Tidak apa, kau hebat kok. Kau mau berubah menjadi jati dirimu demi melindungi kita."

"Benar." Onna menimpali. "Pria ular itu pada menawan dan tampan kok. Yeah, walau kadang mereka sedikit licik. Di pulau, mereka suka tebar pesona. Kau juga cantik dan manis Nagi. Tadi itu hebat. Keren!"

Aku mengganguk setuju dengan pendapat Onna. Mendung di wajahnya berubah secerah pelangi. Sekarang, ayam bakarnya tampak enak. Aku makan dengan perasaan lega.

...

Setengah jam kemudian. Issa kembali dengan titah membagi dua tim besar bermain bakar benteng. Perempuan dan laki-laki bercampur menjadi regu dari kelompok 78. Novia dan Nagi menjadi lawan kami. Sedangkan aku dan Onna sebagai rekan. Sisanya sebagai penonton, bersorak di tepi lapangan untuk memberi semangat. Cahaya dari satu tiang kristal di tengah lapangan cukup terang.

Dari pembagian ini. Aku disatukan dengan Sahala. Dia yang paling utama menawarkan diri jadi penjaga benteng dan menunjukku sebagai umpan. Aku ingin menolak. Tetapi, karena gosip tentang kami yang menyelinap ke asrama laki-laki. Membuat para Adam sepakat dengan ide Sahala.

"Jangan sampai membuat kita kalah." Di saat aku sibuk mengatur kecemasan. Aku harus mendapatkan peringatan dari seseorang yang memiliki gigi taring mirip makhluk pengisap darah.

"Kau akan melakukan apa, jika kita kalah?" balasku tanpa takut.

"Entahlah. Sesuatu yang kau sesali mungkin?" Dia menyeringai lalu menjauh untuk melakukan peregangan.
 
Issa pun meniup peluit. Umpan tiap kelompok maju ke depan. Aku maju dengan hati-hati. Selama bermain, kami boleh menggunakan kekuatan untuk melawan. Tetapi, jangan sampai membunuh.

Aku melangkah sampai ke garis tengah. Lawanku yang lawan jenis maju di sudut berbeda. Kami semua saling hati-hati. Aku tidak bisa memegangnya karena aku yang maju lebih dulu.

Masih belum ada pergerakan. Aku maju lebih dekat. Jantungku berdebar dan napasku berpacu. Ini sudah lima meter. Aku tidak bisa lebih dekat lagi dan kupasang kuda-kuda untuk memanggil air dalam bentuk ombak.

Lalu, seseorang tiba-tiba berlari ke depan. Dalam batin aku memanggil gulungan ombak untuk menyeretnya menjauh. Sihirku berhasil, tapi kedua kakiku tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur yang mengisap.

Sekuat tenaga aku menariknya keluar. Lumpurnya terus menarikku. Kemudian, kurasakan sesuatu bergemuruh dari bawah tanah.
Tanah bergetar lalu terbelah menjadi retakan yang cukup besar.

Seseorang menarikku keluar begitu mudah. Lalu menuntunku berlari kembali ke benteng.

"Keren!" Onna berseru riang. "Kau hebat Dipta ."

Laki-laki yang dipanggil Onna cuma mengangkat alisnya yang menukik tajam. Dia berwajah datar dan tampak angkuh. Tetapi aku tahu, aku harus mengatakannya.

"Makasih."

Dipta melirikku tanpa minat. Lalu maju ke depan setelah memegang tiang yang menjadi benteng kami. Beberapa menit kemudian, Onna tertangkap. Jumlah kami seri.

Napasku sudah tersenggal-senggal. Aku maju ke depan sebagai umpan. Berusaha mengalihkan perhatian lawan. Kami tidak berdiskusi, hanya bergerak sesuai insting. Mataku terarah pada penjara yang dibentuk dari garis melingkar di tanah, di sanalah para tahanan ditawan. Kami harus menyelamatkan mereka dan mengalahkan anggota yang tersisa.

Lalu, langit tiba-tiba bergemuruh. Kilat menyala terang dan petir menyambar ke arah perkemahan.

Aku berteriak kencang. Ketakutan dan menunduk sambil menutup kedua telinga. Begitu membuka mata, aku dikepung serangkaian patung-patung kayu yang matanya berwarna hijau zamrud. Lalu sebuah tangan menepuk bahuku dari depan.

"Kena kau!" Remaja dengan ikat kepala bulu burung ini tertawa lebar. Lalu senyumnya sirna dalam sekejap saat seseorang balas menepuk bahunya dari belakang.

"Akh! Sial!"

Terdengar sorakan kemenangan dari belakang. Tim kami menang. Si Gigi taring melambai penuh semangat. Seketika, semua patung di sekelilingku lenyap ke dalam udara.

"Beto! Kau harusnya berjaga saja di belakang."

Seseorang menarik ujung kerah baju belakang Beto dan melayangkan pukulan di perutnya. Beto yang kesal balas melakukan hal serupa. "Kupikir, kau yang tadi berjaga."

Keduanya saling melemparkan kesalahan. Aku menghela napas lega. Permainan berakhir lebih cepat dari yang kuduga. Issa lalu mengumpulkan semua orang untuk memberikan pengumuman baru.

"Yang kalah. Dapat jaga patroli malam selama sebulan."

Itu berita yang mengejutkan. Sebagian dari tim, berseru tidak terima. Tetapi, Issa tidak peduli.

"Untuk Samsara Tujuh. Sesuai ketentuan perkemahan. Silakan mendaftar spesifikasi utama yang ingin dipelajari mulai besok. Kalian punya waktu enam bulan pertama mengajak atau mencari rekan setim. Jadi, silakan berkenalan dan cari teman yang sesuai."

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini adalah hal yang kutunggu-tunggu. Aku akan mendaftar sebagai penunggang naga Nusantara dan jadi yang terhebat.

"Bagaimana jika tidak seorang pun cocok di sini? Apa kami harus mencari keluar?" Entah siapa yang bertanya. Tetapi, aku penasaran dengan jawaban tersebut.

"Tidak ada yang boleh keluar perkemahan tanpa izin," kata Issa. "Kalaupun ingin mengajak seseorang dari luar. Kalian perlu pembimbing dari Samsara Sembilan."

Kami terdiam. Walau ada beberapa yang menghela napas berat. Pertemuan itu dibubarkan. Kami kembali ke asrama masing-masing dengan pikiran tentang hari esok.

_//___/___//___
Tbc

Aestival (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang