27

46 8 0
                                    

"Aes!" Hansamu berteriak histeris. Dia berusaha mengejar Aes yang diculik Tai Leubagat. Namun tangan Sahala menahannya cepat, sebelum laki-laki itu terseret ombak.

"Apa yang harus kita lakukan, Sahala?"

Hansamu kalut. Dia sudah kehilangan Borneo. Tidak baginya kehilangan Aes, gadis itu adalah harta berharga Aestival. Tanpa Aes, masa depan penunggang naga akan putus.

Sahala melambai pelan tangannya ke udara. Lalu, terbentuklah sebuah portal dalam pusara angin dengan pinggiran berpendar cahaya merah. Kemudian, ditariknya ujung kerah baju Hansamu dari belakang.

"Kita mau ke mana?"

Tanpa menjawab. Sahala tetap menarik Hansamu. Pasir putih kini berganti menjadi lantai kayu cokelat mengkilat. Pohon kelapa berganti rak buku dan lemari arsip. Hansamu mengenali tempat ini. Sebab, saat ia menoleh. Dilihatnya Nusa yang sedang tersudut di salah satu dinding dan seorang pria berkemeja hitam yang mencekik lehernya. Ada pula Nemma dan Kori yang berusaha membantu melepaskan pria tersebut.

"Kau!" Kaesang menunjuk Sahala dan Hansamu silih berganti. Dia melepaskan Nusa kasar dan beralih menatap keduanya. "Apa yang terjadi pada putriku? Liontin kehidupan miliknya pecah. Siapa yang membunuhnya? Katakan padaku!"

Hansamu yang awalnya bingung siapa Kaesang. Kemudian paham, dia adalah ayah Aes. Hansamu ingin membuka suara. Kemudian melihat Nemma dan Kori yang memberi isyarat tutup mulut dari punggung Kaesang.

"Maafkan kami, Om. Kami tidak bisa menyelamatkan Aes. Dia tenggelam ke dasar lautan."

"Bohong! Laut dan Aes adalah sedarah. Laut tidak bisa membunuhnya."

"Anak-anak, keluar. Biarkan kami sendiri. Kau juga Sahala." Nusa menyelutuk dari belakang Kaesang. Nemma dan Kori mengganguk. Hansamu lega, mereka di lempar Tai Leubagat kembali ke perkemahan.

Sahala berusaha tinggal. Tetapi, tangan Nemma mengapit lehernya dan menarik paksa tubuh Sahala keluar dari ruangan Nusa.

Di dalam ruangan itu, Kaesang tidak berniat duduk bersama Nusa. Toh, Nusa tidak keberatan, dibiarkan Kaesang berdiri dengan egonya sendiri.

"Aku sudah memperingatkannya. Anakmu keras kepala dan siap dengan konsekuensinya."

"Tunjukkan tempat dia terakhir bertarung. Aku hanya perlu itu," ujar Kaesang tegas. "Aku butuh jasadnya."

"Itu tidak mudah, Kae. Sahala membuka portal ke tempat yang salah. Jika aku menyebut nama tempatnya, kau juga tidak akan diterima." Nusa menatap tajam Kaesang sambil melipat tangan di depan dada. "Kori dan Nemma ku utus membawanya pulang. Tapi, dia menyerang balik ketua asramanya sendiri."

"Dan kau sudah tahu siapa Debata yang menginginkan penunggang naga musnah? Kau Ibu Pertiwi, kau tahu apa yang terjadi di Nusantara."

"Benar. Oleh karena itu, aku sudah mencegahnya di awal. Kae, kepalaku sakit. Sebaiknya kau pulang. Aku akan mengurus putrimu. Ada banyak anak yang harus di urus."

"Putriku sekarat dan kau pikir aku bisa pulang dengan perasaan tenang?"

Keduanya saling tatap dengan tajam. Masing-masing setia dengan pendiriannya.

"Sebutkan di mana Aes?"  Kaesang masih mendesak. Dia bisa gila, kalau putrinya benar-benar tiada. Alasan Kaesang bertahan hidup atas luka-lukanya adalah Aes, anak perempuan yang ia besarkan sendiri seperti anak kandungnya.

Karena Nusa tidak kunjung memberikan respon. Kaesang memilih pergi dengan perasaan dongkol. Tidak dipedulikannya pertanyaan Nusa ke mana dia pergi. Satu di pikiran Kaesang, yakni pergi ke asrama laki-laki Samsara.

...

Kaesang beruntung. Sahala dan yang lain sedang berdiri di teras luar. Mereka terlihat sedikit berdebat. Tanpa basa basi, Kaesang mendekat.

"Katakan di mana kalian kehilangan Aes." Perhatian semua orang pun teralihkan pada kehadiran Kaesang. "Nusa tidak bisa diharapkan, aku tidak peduli siapa latar belakang dan orang dewata kalian. Aku sangat berterima kasih, jika kalian mau membantu."

Hansamu menatap Sahala meminta petunjuk. Tetapi Nemma mengisyaratkan agar Hansamu tetap tutup mulut. Melihat itu, di rambut Nemma muncul bunga besar dengan warna putih dan ungu muda.

"Rambutmu!" Kori memekik panik. Dia mencoba menyingkirkan kelopak bunga anggrek bulan. Tetapi, bunga itu semakin merambat dan tumbuh subur. Satu bunga yang dipetik Kori menyebabkan ketua asrama laki-laki Samsara itu meringis. Tidak hanya Nemma, rambut Sahala dan Hansamu juga serupa.

"Om?" tanya Hansamu dengan alis bertaut.

"Beritahu aku di mana Aes tenggelam. Maka bunga-bunga itu akan hilang."

Hansamu bimbang. Dia ingin sekali mengatakan tentang Aes. Tetapi, melakukan itu di depan Kori dan Nemma tidak mudah. Diliriknya Sahala, kemudian Debata Dunia Bawah itu berkedip sekilas dan beralih menatap Kaesang.

Tatapan keduanya seakan bicara dan Nemma tahu, Sahala membocorkan hal tersebut.

"Anda tidak bisa ke sana!" Tangan Nemma mencengkram bahu Kaesang kuat. "Anda akan menimbulkan keributan di tanah Mentawai. Kehadiran Aes dan Hansamu selama di Sumatera telah menjadi buah bibir Debata setempat. Mari tunggu keputusan Nusa."

"Singkirkan tanganmu," ujar Kaesang dingin. "Seorang ayah akan melakukan apa pun demi keselamatan putrinya. Bahkan jika mengacak-acak khayangan mitologi Kepulauan Mentawai akan kulakukan."

Nemma tidak bergeming. Dia tetap menekan pundak Kaesang. Ada aliran energi kuno yang sangat-sangat eksotis, misterius dan mengancam. Sesuatu yang sangat dicari orang, namun juga dihindari terpancar dari tubuh Nemma.

"Naga Padoha?" Kaesang melirik Sahala. Aku tahu, sejak pertama kali melihat putriku. Kau menaruh ketertarikan padanya. Tapi dia masih terlalu dini memahami cinta monyet.

Kata-kata selanjutnya, membuat roh api Sahala muncul di pundak Hansamu, Kaesang dan dirinya sendiri. Dengan kemunculan tiga roh api itu, seketika juga membuat mereka yang disentuh lenyap dalam lidah api dari teras rumah panggung.

"NIAS!" Satu panggilan Nemma melengking nyaring. Seorang remaja laki-laki terengah-engah di depan tangga depan rumah panggung.

"Apa?Apa? Mana Sahala?" Mata Nias menjelajah teras depan. Lalu kembali menatap Nemma.

"Rencana B," sahut Nemma tegas.

...

Langit gelap, angin berhembus kencang dan air laut mulai naik dengan ombak besar di pesisir pantai Mentawai. Kaesang harus menyipitkan mata untuk melihat jauh ke arah depan.

"Di dasar lautan. Kita tidak bisa ke sana, Om," ujar Hansamu sambil menunjuk ke depan.

"Panggil aku Kae," balas Kaesang sambil menatap Hansamu tegas. "Ceritakan padaku apa yang terjadi di Aestival. Nusa melindungi sesuatu di perkemahan dan aku bisa merasakannya."

"Nusa tidak mungkin mengkhianati Nusantara."

"Tidak. Tapi, dia harus bersikap adil terhadap sesuatu. Walau harus mengorbankan orang lain."

Hansamu menggeleng. Dia sangat mempercayai Nusa. Ditatapnya Sahala sembari bertukar pikiran lewat telepati. Rambut mereka masih ditumbuhi anggrek bulan. Sahala tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam dan mengawasi sekeliling dengan tenang.

Aestival (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang