09.

1.4K 289 17
                                    










Kaisar hampir saja menyeburkan kopi yang diminumnya saat Archduke berkata bahwa dirinya ingin mengumumkan tentang siapa orangtua kandung dari putra mahkota.

"Tidak bisa." Kaisar menolak dengan tegas. Dia meletakkan kopi yang dia minum diatas meja.

Archduke sama sekali tidak berharap kalau Kaisar akan langsung setuju. Apalagi saat melihat Kaisar memejam dan meluruskan punggungnya demi memperlihatkan keteguhannya.

Sangat lucu, pikir Archduke.

"Memangnya anda sanggup mendengar cemoohan mereka tentang putra mahkota? Jika keistimewaan darah bisa diukur secara pasti, putra mahkota sudah pasti akan berada diperingkat teratas!" Entah kenapa Archduke terlihat bersemangat dengan gagasannya.

Kaisar menghela nafas gusar, "Tentu saja itu benar. Tapi mengumumkan hal seperti itu bukan hanya merugikanku, tetapi juga dirimu, Archduke."

Jelas, di negara konservatif dimana pernikahan lelaki dan lelaki tidak pernah diperbincangkan, pasti akan terasa aneh jika putra mahkota kekaisaran memiliki dua orang ayah. Selain itu, Archduke secara otomatis akan dianggap memihak dan bergabung dengan fraksi kaisar jika hal ini terungkap.

Archduke itu adalah penyeimbang antara kelompok bangsawan dan istana.

Jika Archduke ketahuan memihak...

Saingan bisnis Archduke akan menyerang kaisar, dan saingan kaisar akan menyerang Archduke.

Melemahkan dua pilar kekaisaran itu adalah hal yang mudah.

"Yang Mulia, saya adalah pembisnis." Ujar Archduke. "Sebelum memutuskan sesuatu, saya sudah pertimbangkan baik dan buruk dari tindakan saya."

Archduke bahkan tidak tahu apa keputusannya sekarang ini dibuat semata-mata karena dia sudah mempertimbangkan baik buruknya atau hanya mencari-cari alasan.

"Archduke, aku mengerti kalau kau mungkin memiliki rasa sayang pada Putra Mahkota hanya dengan fakta bahwa dia memiliki darahmu, dan bahkan dinamakan dengan namamu, tapi aku tidak bisa memberikanmu apa-apa lagi selain hal ini." Kaisar tampak sangat tegas. Saat ia duduk dengan tegap dihadapan archduke, tampak berpegang teguh pada pendiriannya. Hal yang memang seharusnya ada pada seorang pemimpin. Pengasih namun bukan Maha Pengasih.

Kaisar dengan jelas telah menarik garis lurus antara dirinya dan Archduke. Archduke merasa sangat kecewa. Perasaan menyebalkan dan menusuk dadanya ini seperti akan merobek dirinya.

Apa dia benar-benar peduli pada putra mahkota?

Sedari awal, yang membuatnya khawatir adalah...

Archduke menoleh kesamping dan membuang nafas gusar, "Baiklah. Saya awalnya menawarkan karena saya merasa khawatir dengan masa depan putraku. Tapi anda benar, sejak awal Dane bukanlah milik saya."

Kaisar diam mendengar penuturan Archduke. Ia sepertinya marah, tapi dia tidak mengeluarkan ultimatum apapun. Apa dia mencoba menjadi lebih rendah hati?

"Tapi yang mulia, saya tidak ingin berpisah dengan darah daging saya seperti ini." Seperti biasa. Archduke tifak mungkin mundur dari negosiasi tanpa mendapatkan keuntungan sedikitpun. Dia kemudian tersenyum tipis seraya mengangkat cangkir tehnya, "Meskipun seluruh dunia tidak tahu bahwa Dane adalah bagian dari saya, saya ingin tahu kabar putra saya."

"Baiklah. Aku akan mengirimkan beberapa surat kepada Archduke setiap ta-"

"Tidak." Potong Archduke, tegas. Dia jelas telah memikirkan pilihannya dengan matang. "Saya ingin anda yang mengantar dan menceritakan tentang Dane kepada saya."

"Apa?" Kaisar menaikkan alisnya tidak paham. Apalagi yang direncanakan Archduke? Dia tampak sangat percaya diri saat mengusulkan hal seperti itu. Apa yang sebenarnya dia incar? Apakah benar dia mulai menimbulkan perasaan sayang kepada seorang ayah sampai melakukan hal tidak berguna dan menghabiskan waktu seperti itu?

"Bagaimana?" Ulang Archduke. Ia menatap Kaisar, menunggu jawaban.

"Bukankah hal itu buang-buang waktu?" Tanya Kaisar, ia menyentuh dagunya, berpikir, "Itu akan menghabiskan waktu kita berdua. Lebih baik surat."

"Baginda." Kini Archduke tidak menyapa sang Kaisar dengan nada ramah dan menggoda lagi. Tapi dengan nada dingin, tegas dalam seolah menyiratkan bahwa ia sama sekali tidak ingin mengubah ucapannya dan sudah final. "Ini kompromi terakhir saya. Setelahnya, terserah anda mau bagaimana."

Kaisar diam. Sejujurnya, asal mereka merencakan pertemuan dengan baik, harusnya, tidak ada masalah, kan?

"..."

"Baiklah. Dimana kita akan bertemu secara rutin?"

Kesepakatan telah dibuat.





***




Archduke sudah berumur 37 tahun saat ini dan semua orang, terutama sesepuh di keluarga de Bharion sudah sangat gundah. Mereka terus mendesak Archduke untuk membuat pewaris. Bahkan, mereka sudah menyerah untuk meminta sang Archduke yang seperti karang besar itu-ia dipanggil begitu karena tidak bergeming sama sekali saat dipinta membuat pewaris-mereka bahkan sudah mengalah dan meminta Archduke mengambil keponakannya saja untuk diangkat jadi pewaris.

Seperti yang kita tahu, keluarga bangsawan diketahui mempunyai keistimewaan khusus dan darah yang diberkati. Mereka dilarang menikahi orang biasa yang hanya punya darah yang hina. Jadi biasanya, jika ada keluarga yang sulit memiliki anak atau pewaris, mereka bisa mengangkat anak dari sepupu atau kerabat mereka yang masih sedarah bangsawan untuk jadi pewaris.

Hari inipun, mereka masih gigih merengek meminta Archduke untuk membuat pewaris. Tetapi sang Archduke hanya mengibaskan jubah hitam legamnya bersamaan dengan tubuh tinggi besar khas ksatria miliknya menjauh dari ruang rapat.

Terkadang para sepupuh berpikir apa jangan-jangan Archduke itu impoten tetapi malu untuk mengakui?

Kenapa dia sangat gigih menolak para gadis bangsawan yang bahkan berebut menikahi dirinya yang sudah kepala 4 itu?

Untung saja Archduke itu tampan, kalau tidak, mana mungkin gadis-gadis belia itu mau dengan konsisten mengirimkan lamaran kepadanya.

"Haduh, bagaimana nasib keluarga ini..." Bisik salah satu dari mereka.

"Kita tidak bisa memaksanya karena dia sangat benci perjodohan seolah-olah itu hari terakhirnya."

Salah seorang tetua wanita berkata lagi, "Huft. Benar. Tapi entahlah, sepertinya Archduke punya kekasih."

"Apa?" Pria-pria tua itu terkejut saat mendengarnya dan menatap sepuh wanita itu.

Dia madam clorence. Saudara kandung dari duke sebelumnya. Dia tersenyum sembari berkata menatap punggung lebar Archduke yang pergi meninggalkan ruang rapat. "Bukankah dia terlihat sangat riang hari ini?"

"Riang.. ?"

"Dave yang itu, riang?"





Tentu saja, para sesepuh dan tetua keluarga itu tidak tahu. Alasan mengapa Archduke menolak semua lamaran pernikahan dan buru-buru meninggalkan ruang rapat dihari itu.

Dia harus bertemu

Kaisar di kasino.

Archduke mempercepat langkahnya dengan senyuman tipis dibibirnya. "Hari ini kasinoku akan untung besar."

Tentu saja,

Karena Kaisar itu sangat payah bermain dan sering sekali kalah setelah mempertaruhkan banyak uang.

"Sial, wajahnya saat merengut itu pasti lucu sekali. Harus cepat-cepat kesana..."







Marry The EmperorWhere stories live. Discover now