Seperti yang kita semua tahu, bahwa, jodoh, rezeki, maut, itu sudah ada yang mengatur. Indira tidak pernah menyangka takdir hidupnya akan serumit ini. Ditinggal pergi seorang suami untuk selama-lamanya, yang satu jam sebelum itu masih Indira layani sarapan pagi, hingga aparat kepolisian mengetuk pintu rumah dan memberi kabar nahas yang dialami suaminya.
Indira sempat merasa aneh saat suaminya memeluk cukup erat. Lalu, dengan lirih membisikkan ungkapan hatinya yang terdalam. Bahwasanya, Raksa sangat bersyukur memiliki istri seperti Indira. Memuji Indira yang selalu sabar menjalankan peran sebagai istri maupun ibu yang baik untuk anak-anaknya. Berulang kali Raksa mengucap terima kasih atas segala hal yang Indira lakukan. Rupanya, tingkah tidak biasa Raksa merupakan suatu pertanda akan sebuah akhir.
Ditinggal sosok suami yang baik, yang sudah seperti teman sejati selama delapan tahun terakhir, cukup membuat Indira tertekan. Tidak jarang Indira menangis histeris dalam salatnya, di mana ia sedang berada cukup dekat dengan sang penentu takdir. Indira mengadukan segala kemelut batinnya yang baginya berat untuk dilalui. Indira merasa menjadi manusia lemah, yang hanya bisa mengeluh dan protes.
"Ibu cuma punya dua anak, semua laki-laki. Penginnya, dulu, setelah melahirkan Raksa, nanti adeknya cewek. Eh, yang keluar malah cowok lagi. Makanya, ibu sama bapak, bertekat mendatangi panti asuhan untuk mengasuh satu anak perempuan. Alhamdulillah, akhirnya, ibu dan bapak menemukan kamu. Cantik, pinter, baik. Impian ibu banget memiliki anak cewek seperti kamu, Dek." Kata-kata ibu pada suatu siang. Saat Indira baru saja selesai melakukan sumpah dokter bersama dengan Elang. Saat itu, hanya ada ibu dan Indira di sebuah kafe. Sedangkan Elang masih sibuk berbincang dengan teman-temannya di meja lain. "Soal ini jangan sampai Elang tahu ya, Dek. Takutnya nanti Elang jadi kecil hati, dan ngerasa nggak diinginkan sama ibu dan bapak. Tapi, nggak sih, cowok biasanya lebih cuek sama beginian."
Indira yang sejak tadi menyimak tekun, mengangguk. "Tapi, yang sebenarnya, ibu dan bapak nggak begitu kan? Ibu dan bapak pasti sayang banget sama Elang." Sebab, dari awal Indira resmi menjadi bagian keluarga ini, saat itu usianya sudah sepuluh tahun. Sedikit banyak, Indira sudah bisa membaca gelagat tidak sehat yang diterapkan ibu Nurina pada kedua anak kandungnya. Ibu sering meminta Elang berdiam diri di rumah dengan alasan harus belajar rajin, supaya bisa juara kelas. Sementara, ibu dan ayah selalu mengajak Raksa dan Indira makan malam bersama di restoran mewah. Bersenang-senang di luar tanpa adanya Elang. Dan yang membuat Indira sangat terkejut, ibu Nurina mengatakan pada semua orang bahwa hanya memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan, yang disebut namanya Raksa dan Indira.
"Tugas seorang ibu harus menyayangi anak-anaknya, Dek." Sahut ibunya, tidak benar-benar tegas. "Kamu bertanya begitu pasti ngerasa kalau selama ini ibu pilih kasih. Andai hati bisa diatur, Dek. Ibu kesannya jadi jahat sama anak kandung sendiri, padahal kamu yang tidak keluar dari rahim ibu, bisa ibu anggap melebihi anak kandung. Hati nggak bisa dipaksa, Dek. Ini memang kesalahan ibu, yang terlalu berharap akan melahirkan anak cewek. Waktu itu ibu sengaja meminta dokter agar merahasiakan jenis kelaminnya. Di rumah, ibu sudah siapin kamar dan perlengkapan bayi perempuan. Wajar kalau ibu ngerasa sangat kecewa, Dek. Terlebih, Elang lahirnya ngabisin biaya nggak sedikit. Tabungan bapak dan ibu sampai terkuras."
Sekarang, Indira mengerti, alasan ibu Nurina memintanya menikah dengan Raksa. Membiarkan Elang mengambil spesialis di luar kota, dan tetap menahan Raksa tetap di rumah. Karena ibu sangat mengayangi Raksa melebihi apa pun. "Jadi, karena itu ibu minta aku mutusin Elang, dan nikah sama Mas Raksa?"
"Nggak juga, Dek. Alasan yang lebih masuk akal itu ya karena ibu sayang banget sama kamu. Ibu nggak yakin, Elang bisa jadi pendamping yang baik. Dia belum genap dua lima tahun. Sedangkan Mas Raksa kan sudah mapan. Selain itu, ibu juga malas kalau harus beradaptasi sama menantu perempuan. Takutnya nanti nggak sebaik kamu. Ibu khawatir Mas Raksa disakiti. Seperti pengalaman yang sudah-sudah, ibu nggak tega. Mas Raksa terlalu baik, ketemunya cewek-cewek yang niatnya maanfaatin doang. Kasian toh, Dek. Pokoknya, perempuan yang boleh jadi pendamping Mas Raksa harus yang sudah ibu tahu karakternya. Harus benar-benar baik."
"Tapi, gimana dengan Elang, Bu?" Indira tidak lagi memikirkan hatinya, detik ini, yang ia khawatirkan hanya Elang.
"Pokoknya sampai saat itu tiba, kamu harus bisa merahasiakannya, Dek. Soal Elang, biar ibu yang urus. Setelah ini, ibu akan menyuruhnya lanjut spesialis di luar kota. Sementara kamu mulai memasukkan lamaran di rumah sakit, atau klinik. Nanti, ada saatnya kamu bisa ambil spesialis. Setelah jadi istri Mas Raksa, kamu pasti bisa semakin berkembang. Kamu bisa membuka klinik sendiri. Kamu nurut sama ibu ya, Dek. Jangan anggap ini paksaan. Yang ibu lakukan ini demi untuk kebaikan Adek. Percaya sama ibu, adek bakal bahagia sama Mas Raksa."
Indira sontak menahan napas. Perkatakan ibunya sudah seperti mantra yang tidak seorang pun bisa melawan.
.
."Biar saya saja yang bawa, Bu." Seorang laki-laki berseragam satpam menghampiri, begitu Indira turun dari kendaraan dan hendak mengambil koper yang terletak di bagasi. Indira mengangguk kaku. Tatapannya seketika meliar pada sekitar, penampakan rumah mewah dengan lahan depan yang luas dan ditanami pepohonan menjulang tinggi berjejer rapi. Indira mengerjap. Berusaha untuk tidak norak saat menyaksikan sesuatu yang indah.
"Letakkan di kamar yang sudah disiapin sama Mbak Sum!" Suara Elang membuat Indira segera tersadar dan buru-buru mengikuti langkah suaminya yang masuk ke dalam rumah.
"Baik, Pak." Jawab si satpam.
Lagi-lagi, Indira berusaha untuk tidak ternganga saat sudah berada di dalam rumah. Indira hanya tidak menyangka Elang akan sekaya ini. Saat itu, ibu Nurina pernah memberitahu Raksa perihal jabatan baru Elang di rumah sakit. Hubungan Raksa dan Elang tidak baik sejak kejadian delapan tahun yang lalu. Kakak-beradik seakan tak saling kenal. Elang mendendam terlalu lama, hingga kematian Raksa, hubungan keduanya belum juga membaik. Tapi, Indira sempat melihat lelaki yang kini berstatus suaminya menangis di samping pusara sang kakak. Elang terlihat sangat sedih dan kehilangan.
"Sayang, aku kangen banget!" Ada perempuan yang muncul tiba-tiba, dan berhasil membuat Indira melotot kaget. Perempuan itu berhambur ke arah Elang, sambil mengeluarkan kalimat yang tidak pantas untuk diucapkan pada suami orang. "Kenapa lama banget sih di Surabaya? Ibu sehat kan, Sayang?"
Astaga, siapa perempuan ini?!
"S-say ... d-dokter, k-kenapa d-dia ada di sini?" Tanya perempuan itu terbata. Tampak kaget, seolah melihat hantu di depannya, saat menyadari keberadaan Indira.
Indira menyipitkan matanya. Si perempuan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya, menatap Indira seolah sudah mengenalnya baik.
"Dia istriku." Sahut Elang singkat.
Perempuan itu tampak terkejut. Namun lekas mengubah ekspresinya menjadi datar. "Oh, kamu nggak ada bilang apa-apa ke aku kan? Aku belum berkemas."
"Dia tidur di kamar tamu." Setelah mengatakan itu, Elang kembali melangkah masuk ke dalam lift menuju ke lantai atas.
Indira berdiri termangu. Menatap berlalunya sosok yang dari setelah mengucap ijab sama sekali tidak sudi menatap, atau bahkan berniat mengajaknya bicara. Elang masih setia pada sifat dinginnya. Dan siapakah perempuan tadi? Otak Indira di penuhi dengan banyak pertanyaan.
