Bagian - 17

409 61 7
                                    

Suasana ruang makan sedikit mencekam. Elang muncul saat Indira baru saja membanding-bandingkan sifat ayah kandung ketiga anaknya dengan sosok yang duduk di samping kirinya ini. Sebenarnya Elang tidak memberi respon apa pun, hanya saja, Indira merasa jika tindakannya barusan salah. Terkadang, sebagai manusia biasa, tidak mudah mengontrol lisan, jika hatinya sudah terlalu sering dibuat kecewa.

"Kenapa kamu tiga hari nggak pulang, nggak ngasih kabar ke istrimu?" Ibunya mulai menginterogasi si bungsu, saat sudah berpindah di ruang keluarga dan tidak ada anak-anak di sekitarnya. "Kalau memang ada acara nginap sampai berhari-hari itu mbokya ngasih tahu istri. Jangan diam saja. Kamu nggak paham sama yang dirasain orang rumah. Pasti khawatir. Kepikiran. Apa susahnya nelepon dan ngasih kabar? Paling juga nggak sampai lima menit. Misal benar-benar nggak bisa telepon, kan bisa chat. Jangan dibiasain! Jangan diulang lagi!"

Elang belum merespon. Tatapannya berfokus pada tayangan televisi di depan sana.

"Kenapa kamu nggak ngabarin istrimu?!" Ulang ibunya dengan sedikit nada tinggi. "Sama istri itu jangan begitu. Contoh Bapak! Pernah nggak kamu lihat Bapak nyuekin Ibu? Bapak selalu memperlakukan Ibu dengan baik. Selalu perhatian sama Ibu. Elang! Kamu dengarin omongan ibu apa tidak sih?!"

"Iya, Bu, iyaaaa." Sahut lelaki itu pada akhirnya. Sembari meletakkan remote televisi dan beralih menatap ibunya. "Ira sudah tahu kalau aku ada kerjaan, Bu. Kenapa harus ngabarin lagi kalau sudah tahu? Kami juga sempat kontekan, sebelum HPku mati karena kehabisan beterai."

"Kok bisa sih kehabisan baterai? Aneh." Ibunya terus mengomel layaknya orang tua di luar sana yang mendapati anak laki-lakinya baru saja bertingkah ke luar jalur.

"Ya bisa lah, Bu. Namanya juga elektronik."

"Memangnya kamu nggak bawa charge? Di ruang kerjamu nggak ada?"

"Aku sibuk di luar, nggak sempat ke ruanganku." Elang menghela napas pendek, seperti tengah mengusahakan agar ibunya tidak terus-menerus membahas ini. "Bapaknya perawatku kecelakaan. Parah. Aku bantuin dia, karena di Jakarta dia nggak punya siapa-siapa."

"Loh, sebenarnya kamu itu kerja atau ngebantuin perawatmu?"

"Kerja, Bu. Aku hampir nggak sempat di rumah sakit."

Indira yang sejak tadi duduk di samping ibunya, hanya menjadi pendengar setia interaksi antara ibu dan anak tersebut. Elang pulang dengan membawa koper. Entah kapan suaminya ini mempersiapkan baju-bajunya. Mungkin saat Indira sedang tidak berada di rumah, atau saat malam ketika ia tengah terlelap

"Terus gimana sekarang kondisinya?" Lanjut ibunya.

"Sudah lebih baik." Jawab Elang.

"Memangnya kamu selalu sebaik ini sama perawatmu? Sampai kamu bela-belain nggak pulang dan nggak sempat ngabarin orang rumah, terutama istrimu."

"Aku nggak sempat ngabarin karena HPku kehabisan baterai, Bu. Sudahlah, Bu. Aku malas ngebahas ini. Lagian sekarang aku sudah di rumah."

Ibunya menepuk punggung tangan Indira yang terletak di atas paha. "Coba, Ra. Mumpung di sini ada Ibu, ungkapin semua unek-unekmu. Nggak usah takut. Ada Ibu di sini."

Sebenarnya Indira tidak terlalu setuju dengan tindakan Ibunya yang menyuruh untuk berbicara sekarang. Indira bisa membahasnya nanti saat ia dan Elang hanya berdua saja di kamar.

"Aku cuma pengin Elang lebih terbuka saja sama aku sih, Bu." Gumam Indira.

"Tuh, Lang, dengar!" Titah ibunya.

"Kurang terbuka apa aku ini? Tadi aku ajak buka-bukaan juga nggak mau. Padahal sudah nggak ketemu tiga hari. Tapi Ira malah nolak."

Sontak saja Indira melotot. Bisa-bisanya Elang malah melontarkan kalimat mesum. Di hadapan ibunya pula! "Tuh kan, Bu, kalau diajak ngomong serius dia selalu begitu!" Sembur Indira kemudian.

"Elang! Jangan bercanda!" Tegur ibunya.

"Lah, kok bercanda sih. Aku serius ini." Sahut Elang. "Tadi Ira minta aku terbuka. Kurang terbuka apa coba aku selama ini? Ira yang jual mahal."

"Aku nggak ngebahas soal itu, Elang!" Demi Tuhan, Indira sangat geregetan. "Kamu nggak bodoh. Nggak harus aku jelasin detail biar kamu bisa ngerti maksud omonganku."

Elang kembali memainkan remote televisi dan menekan-nekan tombolnya. Tatapannya tertuju penuh pada benda persegi panjang di depan sana. "Kalau kamu ngarep punya suami yang sifat dan perilakunya mirip Raksa, sampai mati kamu nggak akan pernah dapetin itu."

Dua perempuan yang berada di sekitar Elang langsung terdiam. Indira sudah menduga Elang mendengar isi percakapannya dengan Ibu Nurina. Hanya saja ia tak menyangka manusia adam satu ini akan mengeluarkannya sekarang. Sampai setengah jam ke depan, ruang keluarga hanya diisi dengan keheningan. Ibu Nurina lebih dulu menyingkir. Melalui tatapan matanya, dia memberitahu Indira untuk mengajak Elang berbicara berdua. Indira mengangguk patuh.

"Kamu mau langsung tidur atau ...." Belum selesai Indira mengutarakan pertanyaannya, sosok tinggi kekar di belakangnya sudah lebih dulu menerjangnya. Dengan cekatan membalikkan tubuh Indira sehingga keduanya saling berhadapan-hadapan. Tanpa aba, Elang menyambar bibir Indira yang terbuka karena kaget, dan melumatnya rakus.

Indira tahu, suami yang kini menguasai tubuhnya sedang dipenuhi emosi. Caranya menyentuh Indira yang tanpa kelembutan membuat Indira sesekali mengaduh. Indira tidak bisa menolak karena sadar yang membuat Elang bertingkah seperti ini.

"Aku nggak bakal nolak, tapi, tolong, pelan-pelan!" Bisik Indira lirih. Sementara sosok lelaki yang sekarang berada di atasnya masih asik bermain-main dengan tubuh Indira yang menjadi favoritnya. Biasanya, Elang akan mudah melontarkan kalimat-kalimat tidak senonoh saat keduanya tengah berhubungan intim. Berbeda dengan sekarang, lelaki ini lebih banyak aksi ketimbang omongan.

Satu jam kemudian, lelaki di sebelahnya sudah tertidur lelap, sedangkan Indira masih terjaga hingga jarum pendek menunjukkan pukul sebelas malam. Suara tangis balita terdengar, disusul dengan suara-suara lain di sekitarnya. Indira segera bangkit dan mengenakan kembali terusan panjangnya yang tergeletak di ujung ranjang. Merapikan tatanan rambutnya, dan lekas melangkah keluar kamar.

"Ella kenapa, Bu?" Tanya Indira pada ibu Nurina yang sedang berusaha menenangkan tangis si bayi. Sementara, dari arah dapur, tampak baby sitter Ella tergopoh-gopoh dengan membawa botol berisi susu.

"Badannya panas." Jawab sang nenek. "Padahal tadi sore pas main sama Yangti masih baik-baik saja loh, Nduk."

"Ngapunten, Bu. Sebenarnya Adek Ella badannya sudah hangat sejak pagi. Tapi saya pikir karena belakangan ini cuacanya kurang baik." Lanjut baby sitter mengadu.

Indira lekas mengambil alih anaknya yang masih rewel dan dibawanya masuk ke dalam kamar anak. Tak lupa ia meminta si baby sitter mengambilkan peralatan medisnya untuk memeriksa sang bayi.

Diagnosis sementara, tidak ada penyakit yang serius pada bayi sembilan bulan ini. Mungkin karena kelelahan, dan itu wajar dialami bayi yang masih rentan terkena virus karena imunitas tubuhnya yang belum cukup kuat. Indira hanya perlu memberi Ella obat penurun panas dengan dosis sesuai berat badan. Bila nanti panasnya tidak kunjung turun, barulah ia bertindak lebih.

Tertikam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang