Delapanbelas🍁

6.8K 334 3
                                    

••

Barra memasuki mansion dengan guci abu mendiang Abila ditangannya. Pandanganya begitu dingin dan datar membuat para bawahan yang melihatnya menunduk takut. Bahkan Arvin yang biasanya menyapa pun memilih untuk mengatupkan bibirnya, menatap punggung sang tuan dengan begitu sendu.

Arvin memang tidak dekat dengan Abila, tapi ia tahu seberapa baiknya wanita cantik itu. Dan kematian Abila benar-benar memberikan luka besar untuk semua maid disini.

Barra memasuki kamar pribadinya, menyimpan guci abu sang adik dalam lemari kaca miliknya. Tak lupa potret dirinya dengan Abila ia juga simpan disana.

"Maaf, maaf karena kakak tidak bisa menjagamu dengan baik sayang. Maafkan kakak untuk semuanya." Air mata Barra kembali menetes walaupun tanpa adanya isakan.

"Tuan Barra." Dylan yang memakai baju serba hitam sama seperti Barra berdiri diujung pintu kamar pribadi Barra. Kamar yang tidak pernah Dylan masuki sekali pun.

Barra menatap Dylan dengan sendu membuat Dylan tersenyum getir. Ternyata, Barra mampu merasakan rasa sakit juga. Dylan pikir orang kejam seperti Barra tidak akan pernah merasakan hal itu.

"Kemari."

Dylan berjalan mendekati Barra setelah menutup pintu kamar.

Mata Dylan tak kalah bengkaknya, sejak Abila dibawa untuk dikremasi Dylan tidak berhenti menangis dikamar mandi karena merasa begitu kehilangan atas kematian Abila.

Barra duduk dipinggiran kasur, sedangkan Dylan berdiri diantara kaki Barra. Dylan mengecup kening tuannya dengan begitu lembut— Membuat Barra memejamkan matanya erat dengan air mata yang semakin mengaliri pipinya dengan begitu deras.

"Jika tuan ingin menangis. Menangis lah—saya akan memberikan sandaran untuk anda menangis." Ujar Dylan dengan tulus, tangan cantiknya mengusap air mata Barra begitu lembut.

"Hiks—" Barra menarik pinggang Dylan, wajahnya ia tenggelamkan diperut pemuda cantik itu. Menangis begitu hebat disana.

Dylan tersenyum sendu, ia mengelus pucuk kepala Barra. Membiarkan tuannya menumpahkan segalanya disana.

"Dia pasti merasa begitu kesakitan saat pembunuh itu memberikan luka diseluruh tubuhnya—hiks. Dia pasti menungguku untuk menyelamatkannya, aku ingin adikku kembali..."

Dylan mengigit bibirnya mencoba menahan tangisannya. Dylan tahu sekarang, kalau cinta Barra untuk Abila begitu besar, mengingat itu Dylan jadi merindukan Abyan adiknya.

Dylan harap, Abyan baik-baik saja dimanapun adiknya itu berada.

"Anda sosok kakak yang luar biasa tuan. Abila pasti merasa sangat beruntung karena memiliki kakak seperti anda." Barra menggeleng, tidak membenarkan apa yang Dylan katakan.

Barra mendongak, menatap Dylan yang tengah menunduk juga. "Aku tidak, Abila pasti sangat membenciku karena menjadi kakak yang tidak berguna untuknya."

Dylan menangkup wajah Barra yang berlinang air mata, "Tidak, itu tidak benar. Saya tahu Abila begitu menyayangi anda—dia selalu membanggakan anda didepan saya, maka dari itu tuan harus kuat eum? Tuan harus menemukan pelaku yang sudah membunuh Abila. Supaya Abila bisa tenang disana."

Perkataan Dylan memang benar, ia harus kuat demi Abila. Tapi sungguh, ia tidak mungkin bisa menghilangkan rasa sakitnya, rasa kehilangannya dalam beberapa jam saja, ia membutuhkan waktu untuk menerima kepergian Abila.

"Peluk aku Dylan. Aku membutuhkanmu untuk menguatkanku."

••

Sore harinya, Barra ditemani Adrian pergi ke ruangan eksekusi dimana Nathan berada disana. Barra membawa Nathan ke ruangan itu dan mengikatnya disebuah kursi.

"Barra..." Lirih Nathan, luka-luka sebelumnya pun belum diobati dan kini ia harus mendapatkan luka baru dari Adrian.

"Katakan apa yang sebenarnya terjadi." Ujar Barra dengan nada yang begitu datar, aura hitam begitu menguar dalam dirinya menandakan seberapa kelamnya Barra saat ini.

Nathan menggeleng sembari kembali menangis karena merindukan Abila. "Aku tidak ingat Barr, yang aku ingat aku sudah terbaring didalam ruangan dengan keadaan Abila yang sudah meninggal."

Barra menatap Nathan dengan mata tajamnya, ia tahu Nathan tidak berbohong karena Barra sangat tahu seberapa cintanya Nathan pada Abila dan seberapa setianya Nathan padanya.

Alasan kenapa Barra membawa Nathan ke tempat ini karena ia merasa sangat kecewa pada Nathan. Barra mempercayakan Abila pada Nathan tapi pria berwajah tampan itu tidak bisa menepati janjinya untuk menjaga Abila.

"Jangan berbohong! Tidak mungkin kau tidak mengingatnya!" Adrian mencengkram dagu Nathan dengan begitu kuat, menurutnya Nathan saat ini tengah berpura-pura lupa.

Karena kepala Nathan sama sekali tidak memiliki luka sampai harus hilang ingatan atau tidak ingat saat kejadian itu terjadi. Nathan menatap Adrian dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Adrian, hentikan." Adrian mendengus, melepaskan cengkramannya dengan begitu kasar.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku sangat mencintai istriku, tidak mungkin aku berbohong soal ini!"

Adrian tertawa remeh, "Sangat tidak masuk akal jika kau melupakan separuh ingatanmu. Kau pikir aku bodoh?"

Barra beralih menatap sahabat baiknya. "Kau mencurigai Nathan?" Tanya Barra dan mendapatkan anggukan dari Adrian.

"Kau terlalu percaya padanya Bar. Sedangkan kau lupa kalau Nathan pernah bekerja dengan Darren." Ucap Adrian.

"Aku tidak pernah melupakan hal itu. Aku sangat tahu Nathan mantan anggota Darren, tapi selama ini dia begitu setia padaku." Barra merasa tidak percaya kalau Nathan yang sangat ia percayai berkhianat padanya.

"Lihat? Kau terlalu mempercayainya sehingga menutup kemungkinan yang terjadi. Aku juga pernah melihatnya pergi diam-diam ke ruanganmu." Jelas Adrian membuat Barra kembali menatap Nathan yang menunduk.

"Nathan, katakan padaku. Apa yang Adrian ucapkan itu benar?"

Kepala Nathan masih menunduk, Barra mendekati Nathan lalu menarik surai blonde pria itu hingga Nathan mendongak.

Barra membulatkan matanya terkejut saat Nathan sudah tidak sadarkan diri. "Sial, bawa dia ke ruang medis terlebih dahulu." Perintah Barra pada kedua pengawalnya yang berdiri didepan pintu sedari tadi.

"Baik tuan."

Barra pergi dari ruangan tersebut dengan Adrian yang mengekorinya dari arah belakang.

"Barra, jangan terlalu mempercayai Nathan." Celetuk Adrian membuat Barra terdiam sebentar lalu mengangguk mengerti.

••

Setelah Barra pergi dari mansion, Dylan diminta menunggu dikamar pribadi Barra. Saat ini ia tengah memandang guci abu Abila dengan tatapan sendunya.

"Kemarin kita masih tertawa bersama, bercerita bersama. Tapi sekarang kau pergi tanpa berpamitan kepadaku Abila."

"Lihat, aku memakai syal rajutanmu saat ini. Ini benar-benar nyaman dan aku sangat menyukainya—terimakasih banyak. Aku akan menjaga ini dengan baik." Dylan diam sebentar.

"Tuan Barra, dia paling hancur setelah kehilanganmu. Aku melihat sisi lain dari tuan Barra, membuat pikiranku berubah drastis kalau tuan juga manusia biasa seperti ku. Aku begitu penasaran dengan apa yang tuan alami sebelumnya sehingga tuan merasa begitu hancur setelah kehilanganmu." Tangan Dylan menyentuh guci tersebut dari luar kaca.

"Kehidupan tuan pasti jauh lebih sulit dibandingkan denganku. Aku melihat bagaimana keputusasaan dia dari matanya—aku jadi tahu kalau dia tidak sekuat itu setelah sandarannya menghilang untuk selamanya."

"Pikiranku berubah Abila, aku... Aku tidak akan pernah meninggalkan tuan untuk sekarang——Abila izinkan aku untuk menjadi sandaran baru tuan Barra eum? Aku tidak mungkin membiarkan tuan bertahan sendirian setelah kepergianmu."

••

TBC

Double up✨

Cinta Seorang Mafia✓Where stories live. Discover now