Karena ini terakhir, jadi aku sengaja buat chapter ini lebih panjaaang dibandingkan chapter-chapter sebelumnya
Happy reading~♡
.
.
Hari demi hari telah berlalu sejak malam itu. Malam di mana aku, Aiden, dan Mikael tidur bersama.
Malam di mana aku memutuskan untuk mulai mencoba membuka hatiku untuk Mikael dan menerima keberadaannya.
Setiap hari terasa damai. Suara tawa Aiden memenuhi seisi manor, membuat dunia terasa hangat dan menyenangkan.
Kecuali pagi ini.
Aku baru saja berdebat dengan Mikael.
Semua itu bermula karena kecerobohan pria itu, karena ia lupa memberitahuku bahwa hari ini kami harus menghadiri sebuah pesta penting.
Aku memarahinya karena ...
Hei, bagaimana aku tidak marah kalau dia baru mengatakan itu H-2 jam sebelum acaranya dimulai?!
Ini bukan acara sembarangan lho, ini acara milik Putra dan Putri Mahkota Kerajaan!
Bisa-bisanya Mikael seceroboh itu terhadap agenda penting, membuatku pusing saja!
Dengan wajah merengut masam, aku memandangi pantulan diriku di cermin besar saat Elani membantuku mengencangkan korset.
"Sayang, jangan marah ..."
Mikael yang sudah berpenampilan rapi menungguku bersiap di dalam kamar.
Itulah yang membuatku jadi lebih kesal!
Karena dia baru memberitahuku soal pesta ketika dirinya sudah rapi dan selesai bersiap-siap.
Menyebalkan sekali bukan?
Aku meliriknya dari cermin, menatapnya dengan tajam kemudian mendengus.
Benar, aku marah. Karena itu, aku tidak berniat mengatakan apa-apa sama sekali.
Memangnya waktu yang diperlukan seorang wanita untuk bersiap itu hanya sebentar? Kan tidak!
"Sayang, sungguh. Maaf, aku benar-benar lupa. Undangannya memang sudah kuterima dari lama, tapi ... saat itu kau kan sedang marah padaku, jadi aku tidak bisa menyampaikannya ..."
Ya. Beberapa saat yang lalu Mikael sudah mengakui itu padaku, bahwa undangan pestanya sudah sampai sejak beberapa waktu lalu.
Tetapi, karena saat itu aku sedang marah padanya karena terhasut kata-kata Nona Opelia, Mikael jadi menunda untuk menyampaikannya.
Ditambah pula dengan masalah Hugo Ronald setelahnya.
Mikael jadi semakin kehilangan momen untuk menyampaikannya padaku.
Dan malah berakhir lupa.
"Maafkan aku. Tolong jangan marah lagi ..."
Wajah memelasnya tidak dapat menggoyahkan keputusanku. Aku akan terus mengabaikannya sampai aku merasa puas. Lihat saja!
"Sayang ..."
"Jangan bicara pada saya!"
"Istriku ..."
"Berisik!"
***
Setelah separuh perjalanan berlalu, barulah aku sadar bahwa tindakanku sebelumnya ternyata sangatlah kekanak-kanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Have A Child and Husband [END]
Historical FictionSetelah siuman pasca tenggelam, Katarina dikejutkan oleh fakta bahwa ia telah bersuami dan memiliki seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Yang menjadi masalah adalah ... Katarina tidak ingat! Kapan dirinya menikah? Kapan dirinya melahirkan ana...