23. Loyal Friends Are A Blessing

196 27 6
                                    

"Aku bisa ke TKJ sendiri, Mas."

Suara Nadhi, yang terdengar dari pengeras suara ponsel, menghentikan langkah Fariz tepat di sisi pintu kamar Alam yang hanya dibuka setengah lengan. Seharusnya, ia bergegas menyiapkan makan malam untuk mereka, bukan malah menguping. Namun, kakinya seolah-olah terpaku di lantai. Ia tidak mampu beranjak, terlebih saat mendengar suara Nadhi lagi setelah Alam menanggapinya, bahwa perempuan itu sebaiknya mengajak teman supaya tidak kebingungan sendiri apabila terjadi hal yang tidak bisa dikendalikan, tersesat di gedung TKJ yang amat luas salah satunya.

"Aku, kan, nggak punya teman selain kamu sama Sinta." Menyadari betapa ringan Nadhi mengatakannya, seolah itu bukan fakta mengejutkan, terasa menohok dada Fariz. "Aku udah tau rutenya, kok. Kak Fariz ngasih tau aku waktu jalan-jalan ke TKJ minggu lalu."

"Nah, kenapa nggak bareng Fariz aja?" Alam masih berusaha, kali ini sambil membawa-bawa namanya. Butuh usaha untuk Fariz mencegah diri dari masuk ke kamar Alam dan ikut membujuk Nadhi. "Fariz ambil tiket yang bisa akses sampai Malam Anugerah tanggal dua puluh dua."

Jeda sejenak, lalu Nadhi menyahut, "Masa ... apa-apa sama Kak Fariz, padahal kenal baru-baru ini."

"Fariz nggak bakal keberatan. Lagian, dia temanku. There's a bridge between you two."

Benar. Benar sekali.

"Iya, aku tau, tapi aku tetap sungkan. Udah, deh, Mas. Aku janji bakal jaga diri dan selalu ngabarin kamu. Kalau pulangnya nggak keburu naik kereta, aku naik ojek."

Membayangkan Nadhi naik ojek di malam yang larut membuat Fariz sakit kepala.

"Kalau Fariz ngajak kamu bareng, diterima?"

"Kamu sengaja, ya, nanya kayak gini?"

"Hm?" Alam terkekeh pelan. "Nggak, Nadh. Nggak ada maksud apa-apa, aku cuma nanya."

"Aku nggak tau, nggak diajak juga."

Apabila itu yang ditunggu Nadhi, Fariz tidak akan keberatan melakukannya. Fariz sedang mempertimbangkan apakah sebaiknya ia masuk atau menunggu sampai Alam selesai mengobrol dengan perempuan itu ketika terdengar gerbang dibuka. Fariz langsung tersadar posisinya akan salah di mata siapa pun. Sambil menegur diri sendiri untuk tidak melakukannya lagi, Fariz beranjak menuju dapur.

Malam ini, kosnya sepi. Teman-temannya sedang berkepentingan, meski tampaknya salah satu dari mereka sudah kembali. Hanya Fariz yang punya waktu luang, sehingga bisa menjaga Alam.

Hal pertama yang dilakukannya Fariz setelah Tedy dan Jodi meninggalkan kos adalah memesan makanan. Sepertinya keberuntungan sedang tidak memihaknya. Fariz sudah mencoba memesan dari berbagai warung makan di layanan pesan antar sejak satu jam lalu, tetapi masih saja tidak mendapat driver. Kelihatannya semua orang sedang menggunakan layanan itu. Mau tak mau, Fariz meninggalkan Alam untuk membeli makan malam. Ia begitu cemas, sehingga cepat-cepat kembali, untuk kemudian mendapati temannya itu bertelepon dengan Nadhi.

"Kalian belum makan?"

Mendongak, Fariz menemukan Jodi masuk ke dapur sembari meletakkan kotak kertas yang menguarkan aroma makanan di atas meja makan. "Belum, dari tadi nggak dapat driver, jadi gue keluar sebentar. Ada soto, tuh, di panci. Sate usus sama telur puyuhnya masih di plastik."

"Gue balik sebentar soalnya ingat plester buat perbannya Alam tinggal sedikit. Pas mau masuk kamarnya, gue dengar dia teleponan sama Nadhi. Gue sungkan mau ganggu, mesra banget."

Fariz tahu, Jodi hanya bercanda. Ada tawa dalam suara laki-laki itu. Namun, Fariz merasa sedang diejek untuk sesuatu yang bahkan tidak berkaitan dengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang