Sudah sebulan berlalu sejak Shafira kembali ke dunia kerja sebagai trainer Management Trainee (MT). Hari-harinya kini dipenuhi dengan kesibukan yang tidak bisa dihindari. Jadwalnya semakin padat, bahkan waktu WFH (Work From Home) yang awalnya tiga kali seminggu, kini hanya tersisa satu hari saja. Namun, di tengah semua kesibukan itu, Shafira selalu memastikan untuk tetap mengutamakan Al, putranya yang kini berusia tiga tahun.
Setiap sore setelah pulang kerja, ia bergegas ke rumah untuk menemani Al dalam sesi terapi. Al adalah prioritas utamanya, dan meski lelah, Shafira tak pernah mengeluh. Di akhir pekan, mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama, terutama dengan mengunjungi berbagai dokter spesialis untuk menemukan penanganan yang terbaik bagi Al.
"Bu, besok kita ada janji dengan psikiater anak di Kuningan," ujar Shafira kepada ibunya, Siti, saat mereka sedang menyiapkan makan malam.
Siti yang sedang mengupas sayur menoleh ke arah putrinya. "Iya, ibu sudah ingat. Jam berapa kita berangkat?"
"Jam 9 pagi, Bu. Tapi kita mungkin akan menunggu lama, dokter Vira terkenal, banyak yang antre konsultasi dengannya," jawab Shafira sambil memeriksa ponselnya untuk memastikan jadwal.
Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali. Setelah menunggu hampir tiga jam, akhirnya giliran mereka masuk ke ruangan dr. Vira Indira H, seorang psikiater anak yang praktik di salah satu rumah sakit di Kuningan, Jakarta Selatan.
"Selamat pagi, silakan masuk," sapa dr. Vira dengan senyum hangat. Penampilannya bersahaja dengan rambut sebahu yang rapi, serta ekspresi tenang yang menenangkan.
Shafira tersenyum dan menggandeng Al untuk masuk ke ruangan. "Pagi, Dok. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk Al."
"Senang bisa membantu, mari kita mulai evaluasinya." Dr. Vira mengarahkan Shafira dan ibunya untuk duduk.
Selama evaluasi, dr. Vira menunjukkan kesabaran luar biasa dalam menjelaskan kondisi Al. Ia mendengarkan dengan teliti setiap keluhan Shafira dan Siti, terutama tentang perilaku tantrum yang sering dialami Al.
"Tantrum pada anak dengan ASD memang sering terjadi. Kita perlu melakukan pendekatan yang lebih lembut, dan dengan terapi yang berkelanjutan, kita bisa melihat perkembangan yang lebih baik," jelas dr. Vira dengan lembut.
Siti yang sangat khawatir, mengajukan banyak pertanyaan. "Tapi, Dok, bagaimana kalau tantrumnya sampai membuat dia susah tidur? Saya sudah mencoba banyak cara, tapi tetap saja tidak berhasil."
Dr. Vira tersenyum sabar. "Kita bisa mencoba memberikan suplemen melatonin untuk membantu mengatur pola tidurnya. Namun, terapi dan pendampingan dari keluarga tetap yang paling penting."
Setelah sesi konsultasi selesai, dr. Vira meresepkan suplemen melatonin untuk membantu Al tidur lebih nyenyak. "Silakan kontrol lagi dalam dua bulan untuk melihat apakah ada perkembangan dari terapi dan suplemen yang diberikan," ucapnya.
"Terima kasih banyak, Dok," kata Shafira dengan nada penuh harap.
~○○○~
Hari ini adalah salah satu hari yang paling dinantikan oleh para peserta MT dan trainer. Mereka akan melakukan kunjungan ke pabrik perusahaan yang terletak di Anyer. Sejak pagi, para peserta dan trainer sudah berkumpul di ruang meeting, meskipun cuaca gerimis mengiringi hari mereka.
Saat semua sudah siap, Sierra Winona, salah satu trainer, tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang membuat semua orang berpikir sejenak. "Team, cuma ada dua mobil kantor yang available. Kita total 15 orang, 10 trainee dan 5 trainer, gimana kita berangkatnya?"
Trainer lainnya mulai berdiskusi, mencari solusi yang terbaik untuk pembagian kendaraan. Di tengah diskusi itu, Maherza Yunanda, penanggung jawab program, masuk ke ruang meeting dan menawarkan solusi.
"Saya akan ikut ke Anyer juga pakai mobil pribadi," ucapnya. "Jadi kalau ada yang mau ikut, silakan. Tapi pastikan yang biasa ke site Anyer ada di mobil yang berbeda, ya. Shafira, Alexander, dan Olivia yang hapal jalannya, harus dipecah biar nggak tersesat."
Sierra yang tampak ingin menghibur suasana menawarkan ide undian. "Gimana kalau kita undi saja siapa yang naik mobil mana? Jadi nggak perlu bingung."
Setelah melalui undian, hasilnya menempatkan Shafira dan Barra di mobil Pak Maherza. Mereka akan bepergian bersama dalam perjalanan panjang menuju Anyer. Ketika undian selesai, Barra menghampiri Shafira.
"Sepertinya kita akan se-mobil, Mbak Shaf," kata Barra dengan senyum santai.
Shafira tersenyum tipis. "Sepertinya begitu, Barra. Semoga perjalanannya menyenangkan."
Perjalanan dimulai, dengan Shafira duduk di kursi depan sebagai navigator. Sementara Barra duduk di kursi tengah bersama Pak Maherza. Pak Maherza adalah orang yang mudah diajak berbicara, dan selama perjalanan ia banyak mengobrol santai dengan Shafira."Jadi, bagaimana rasanya kembali bekerja setelah sempat resign, Shaf?" tanya Pak Maherza sambil menatap jalanan.
Shafira tersenyum ringan, sambil memandang pemandangan yang bergerak di luar jendela. "Awalnya cukup menantang, Pak. Tapi saya senang bisa kembali. Pekerjaan ini memberikan saya kesempatan untuk merasa berguna lagi, selain tentunya fokus pada anak saya."
Pak Maherza mengangguk. "Saya bisa mengerti itu. Setelah kehilangan istri saya tiga tahun yang lalu, pekerjaan menjadi pelarian saya. Tapi tetap, keluarga adalah nomor satu. Saya sekarang tinggal dengan tiga anak perempuan yang masih kecil, jadi saya tahu bagaimana rasanya mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga."
Shafira mengangguk penuh pengertian. "Pasti berat, Pak. Tapi saya salut, Bapak masih bisa membagi waktu dengan baik."
Barra yang sedari tadi lebih banyak diam, merasa sedikit canggung mendengar percakapan itu. Ia tersenyum, tapi tak bisa menemukan kata yang pas untuk disampaikan. Akhirnya, ia menimpali dengan suara pelan, "Kayaknya Bapak dan Mbak Shaf sama-sama punya pengalaman yang berat, ya."
Pak Maherza tertawa kecil. "Mungkin memang begitu, Barra. Tapi begitulah hidup. Tantangan selalu ada, tinggal bagaimana kita menghadapinya."
Shafira menoleh ke belakang, melihat Barra yang tersenyum kecil. "Setiap orang punya tantangan hidup masing-masing, Barra. Kamu sendiri pasti juga punya kan?"
Barra tersenyum, meski agak kikuk. "Ya, tapi mungkin tantangan saya belum seberat Mbak Shaf atau Pak Maherza."
Pak Maherza memandang Barra dengan penuh rasa ingin tahu. "Setiap orang punya masalah yang berbeda-beda, Barra. Jangan meremehkan tantanganmu sendiri. Kadang hal kecil yang kamu alami bisa menjadi pelajaran berharga di masa depan."
Barra mengangguk, merasa tersentuh dengan nasihat itu. Meski dia tahu bahwa tantangan yang dihadapinya mungkin berbeda, namun ia belajar untuk tidak meremehkan pengalaman hidupnya sendiri. Sesuatu yang sederhana seperti ini ternyata bisa memberinya perspektif baru.
Setelah hampir tiga jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di pabrik di Anyer. Meski lelah, semua orang tetap semangat untuk mengikuti agenda yang telah disusun. Namun, Barra tidak bisa menghilangkan rasa kagumnya pada Shafira. Di balik kesibukannya, wanita itu selalu terlihat tenang dan mampu mengatur segalanya dengan baik-baik sebagai ibu maupun sebagai seorang profesional di tempat kerja.
Sementara itu, Shafira juga mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Barra memandangnya. Namun, ia tidak ingin terlalu jauh berpikir. Fokusnya tetap pada pekerjaannya dan Al. Tidak ada ruang untuk hal-hal lain di pikirannya saat ini.
Namun, siapa yang bisa tahu? Mungkin, perjalanan ini bukan hanya tentang mengunjungi pabrik di Anyer, tetapi juga sebuah perjalanan yang membuka kemungkinan baru dalam hidup mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWENTY-FIVE VS THIRTY
Short Story🏅 Shafira (4-10-2024) 🏅 Hidupbaru (4-10-2024) Rank #54 out of 10.2k #Perpisahan (10-10-2024) Rank #49 out of 5.24k #Psikologi (10-10-2024) Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Shafira Azalea rela menjual perhiasan dan rumah yang ia miliki demi...