Chapter One.

153 14 2
                                    


Aku menyirami taman hias ibu sambil mendengarkan lagu dari ponselku yang sengaja kuputar dengan volume yang cukup tinggi. Tubuhku bergoyang mengikuti musik yang jelas saja berani kulakukan karena aku sedang sendirian di rumah. Jika saja Liam yang berhati sekeras batu itu ada, aku bisa mati dibuatnya.

Kegiatan menyenangkanku pun terhenti dengan datangnya satu kontainer besar yang berhenti tepat di samping rumahku. Kemudian datang lagi dua mobil hitam yang membuntuti di belakang. Ternyata tetangga baruku tiba hari ini. Aku jadi penasaran. Siapa tahu tetangga baruku ini mencurigakan.

Diam-diam aku berjinjit sedikit untuk bisa mengintip apa yang mereka lakukan. Wajar saja karena rumah kami yang di batasi dengan pagar yang tingginya hampir sam dengan tubuhku.

Tiga orang berwajah asing pun muncul membawa kardus kecil dalam dekapan mereka. Yang dua sudah tua, tidak menarik, dan–oh Tuhan, dia tampan sekali, mungkin itu anaknya. Ya, anak semata wayangnya.

"Bisakah kau membawanya ke dalam saja? Mungkin akan terlalu berat jika aku yang membawanya." Aku mendekat dan berhasil mendengar suaranya yang unik. Entahlah, terdengar berbeda dengan kebanyakan pria—suaranya cempreng.

"Bu, apakah aku kau masih membutuhkan benda ini? Hei, bu, lihatlah!" aku menggunakan tumitku untuk mengintipnya lagi. Dia sangat lucu dengan wajahnya yang mengernyit sambil memegang sepasang sepatu lusuh.

Dia menggumam tidak jelas lalu membuang sepatu tadi ke tempat sampah, tanpa izin dari ibunya. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum sendiri seperti sedang menonton film komedi.

"Huh, kenapa sepi sekali?" dia memutar lehernya membuatku terperanjat dan segera menunduk. "Kurang menarik!"

"Aku akan meramaikan harimu, tetangga baru." Gumamku sambil terkekeh, lalu berjalan masuk ke dalam rumah masih dengan posisi berjongkok.

...

Seharusnya, pagi ini aku harus menyirami taman hias milik ibuku. Hitung-hitung sebagai pengisi waktu menunggu masa orientasiku di kampus yang sama dengan Liam—yeay! Namun, kali ini aku mempunyai niatan yang lebih baik dengan memangkas rumput di depan rumahku. Siapa tahu dia akan melihatku.

Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menunggu sasaranku untuk menampakkan batang hidungnya. Oh ya, aku belum sempat mengamati bagaimana bentuk hidungnya kemarin. Eh, apakah itu penting? Tidak lama kemudian, aku mendengar suara decitan pintu rumah yang terbuka. Kepalaku dengan cepat menoleh seperti mendengar perintah dari komandan perang.

Sepertinya aku akan tidak sadarkan diri detik ini juga. Melihatnya menuruni tangga dengan kepala yang tertunduk dan rambut yang terkena angin seperti bintang iklan membuat waktuku terasa berjalan dengan lambat. Ditambah lagi tangannya yang dengan telaten membereskan poninya yang sedikit menutup dahinya. Tuhan, malaikat apa dia?

Pria berambut coklat itu masuk ke dalam garasinya. Bagaimana aku tahu jika itu garasi? Itu karena kami berada di kompleks perumahan dengan gaya di setiap rumah yang sama. Bayangkan betapa anehnya itu. Takutnya kami bisa lupa masuk ke rumah orang lain, tapi selama yang masuk ke rumahku pria itu jawabannya tidak masalah.

Tidak lama, dia keluar mengendarai mobilnya. Sayang sekali dia akan pergi dan mengakhiri penyejukan mataku pagi ini. Sial sekali. Oh tidak. Dia menghentikan mobilnya tepat di pekarangan kecilnya dan keluar dari mobilnya. Pertanda baik!

Si manis itu masuk lagi ke dalam garasi lalu mengeluarkan sebuah kaleng kecil. Kemudian meraih selang air di samping rumahnya dan menyalakannya.

Mulutku terbuka melihatnya menata rambutnya ke belakang dengan cahaya pagi yang menyinarinya. Sungguh demi apapun, dia terlihat seperti dewa yang bahkan lebih indah dari semua dewa yang pernah ada. Aku menyukai rambutnya, juga—senyumnya. Kemudian dia berjalan dengan pasti mendekati mobilnya.

Ya Tuhan! Apa ini mimpi? Dia baru saja tersenyum padaku saat dia membalikkan badannya. Matanya menyipit dan sudut bibirnya tertarik ke atas. Menunjukkan lengkungan indah yang membuat hatiku terperosot saat menatapnya.

Aku tertunduk dan kurasakan pipiku yang memanas. Kemudian aku meraih gunting rumputku yang ternyata tidak kusentuh dan lari ke dalam rumah. Kukunci pintuku lalu menjatuhkan tubuhku ke atas lantai sambil memegangi dadaku.

Dia tersenyum padaku!


...


Next or nah? Vomment ;)

ACCIDENTALLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang