Chapter Three.

94 8 2
                                    


Lagu kesayanganku pun terus kulantunkan agar aku terhibur sambil memilih barang yang akan kubeli. Akhir-akhir ini kurasakan aku seperti seorang maniak. Mendengarkan lagu cinta yang terkesan lemah. Padahal, biasanya tidak pernah ingin kudengar. Aku terkesan seperti gadis empat belas tahun yang baru mengenal yang namanya berpacaran.

Bibirku bergerak-gerak mengikuti pandanganku di rak-rak yang tertata rapi ini. Aku bingung harus membeli produk deterjen yang mana. Yang satu ini wangi lemon tapi ibu tidak suka, yang satu wangi bunga tapi Liam membencinya. Mungkin keduanya lebih adil.

Aku mengucek mataku berkali-kali saat menemukan malaikatku yang tengah berdiri di ujung sana. Dia terlihat sedang sibuk bertelepon. Apa yang dia lakukan di sini?

Pelan-pelan aku mengendap menuju rak yang berada di balik tubuhnya. Tentu saja aku ingin menguping suaranya yang cempreng itu. Semalaman setelah berkenalan dengannya, aku tidak bisa tidur seperti kelelawar. Mungkin ini aneh, tapi mau bagaimana lagi.

"Aku tidak janji bisa kesana, bodoh!... Kemarin aku sudah menyampaikannya padamu, tapi dasar kau orang yang susah diatur! Seharusnya kau sudah menyelesaikannya dan kita terbebas dari tugas sialan ini...."

Mulutku menganga mendengar kalimat telak yang keluar dari mulutnya. Ternyata dia sangat menyeramkan jika sedang marah, sekaligus lucu. Dengarkan saja bagaimana suara cemprengnya itu yang berpadu dengan kata kasarnya. Unik sekali!

"Ya Tuhan, telingamu sebenarnya terbuat dari apa, sih? Perlu berapa kali aku mengatakannya, hah?" Sekarang suaranya meninggi yang malah terdengar seksi di telingaku. Aku bersumpah demi apapun jika aku mengagumi suaranya.

"Sudah matikan teleponmu!... Dasar pengganggu!"

Setelah keadaannya hening, aku memutuskan untuk menggerakkan kakikudari balik rak ini. Berusaha menampakan diriku di hadapannya. Siapa tahu dia akan mengajakku berbincang lagi, tapi aku takut aku tidak bisa tidur setelahnya.

"Valerie?" aku mendongak ketika suara cempreng itu memanggil namaku. Sebut saja aku tukang sandiwara karena aku memang berpura-pura sedang memilih barang.

"Louis? Kau juga di sini?" oh aku memang pandai menyusun strategi.

"Ya, kebetulan sekali." Louis tersenyum sambil mengangguk. Sialnya aku malah sedikit kesal dengan kebetulan yang dia katakan. Sebenarnya kebetulan atau dia sengaja membuntutiku?

"Apa yang kau lakukan?" kugigit bibirku dengan batinku yang ingin menjerit. Hal bodoh apa yang baru saja kukatakan.

"Tentu saja berbelanja. Kau sendiri?" Dia terkekeh pelan seperti menyindirku.

"Aku..juga berbelanja, ibuku yang menyuruh."

Louis terlihat mengambil beberapa kotak teh dan memasukkanya di keranjang belanjanya. Kemudian dia mengamati lagi barang belanjaannya. Louis terlihat sangat teliti seperti seorang ibu rumah tangga. Dia benar-benar lain daripada yang lain.

"Oh, Nyonya Payne? Dia ibu yang luar biasa, kau harus bangga betapa pandainya ibumu dalam hal memasak." Kuakui itu.

"Ibumu juga pandai memasak."

Louis mendongak dengan senyumnya yang terulas. Dia menatapku dengan mata hijau terangnya yang ternyata sangat indah. Rambut coklat berkilaunya terlihat sangat halus, seperti berteriak untuk kusentuh. Aku ingin menyusupkan jemariku di sana.

"Bagaimana kau tahu?"

"Saat a—" kalimatku pun terhenti saat nada deringnya yang menginterupsi perbincangan hangat kami. Keningnya berkerut saat melihat layar ponselnya, membuatku ingin menyentuhnya agar tidak berkerut seperti itu.

"Ya.. Aku akan kesana." Louis mendengus pelan sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku. Dia terlihat kesal.

"Sepertinya aku harus segera pergi, Valerie. Sebenarnya aku ingin berbincang banyak denganmu. Sayang teman sialanku ini sangat mengganggu."

Louis menggaruk kepalanya dan wajahnya terlihat sedih. Kenapa manis sekali? Apa dia bersedih karena harus berpisah denganku? Jangan-jangan..

"Oh ya tidak masalah." Aku tersenyum melambaikan tanganku padanya yang berjalan menuju kasir. Sebenarnya berat melakukan ini, tapi harus bagaimana lagi. Semua akan indah seiring berjalannya waktu.

Aku tahu itu, Louis!

...

Liam yang tengah menunggui ibu memasak menatapku tajam saat aku tiba di dapur. Wajahnya yang terlihat sangat keras itu membuatnya terlihat semakin tua. Ingin sekali aku memijat wajahnya agar terlihat lebih santai. Dia benar-benar meniru gen ayah.

"Bu, apa kau tahu bagaimana seorang pria jatuh cinta pada wanita?" aku berbisik, menghindari Liam mendengar perbincangan ini. Aku tidak mau pada akhirnya dia menghakimi aku padahal dia tidak tahu apapun.

"Sayang, aku bukan pria. Tanyakan pada kakakmu." Aku melebarkan mataku mendengar jawaban ibu yang bisa saja Liam dengar. Demi apapun, aku berjanji tidak akan bertanya padanya.

"Ah, ibu tidak asyik."

Aku kembali ke kamarku lalu mengambil handuk dan segera mandi. Lagi-lagi aku berdendang sebuah lagu yang tiba-tiba terasa tidak asing di telingaku.

Oh Tuhan, ini kan lagu yang Louis gunakan sebagai nada deringnya. Ini artinya...


...

Vomments ;)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 09, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ACCIDENTALLYWhere stories live. Discover now