Chapter Two.

109 14 3
                                    


Dengan ceria kuhentakkan kakiku saat menuruni tangga. Semoga hari ini aku bisa melihat senyumnya yang menawan itu lagi. Demi tetangga termanisku, sore ini aku rela memakai baju yang baru kubeli untuk perjalananku ke luar kotaku bersama temanku. Namun, apa yang tidak untuk malaikat tanpa nama itu.

"Kau terlihat begitu ceria pagi ini, memangnya ada apa sayang?" ibuku tersenyum sambil menatapku curiga dari atas hingga bawah dan kembali ke atas.

"Apa iya?" aku menoleh ke cermin di sampingku. "Kurasa tidak. Mungkin ibu saja yang berelebihan."

Aku mendekat untuk meneguk jus buah yang ibu siapkan untukku di atas meja. Bersama dengan beberapa lembar pancake dengan selai yang terlihat menggiurkan. Jadi, kuambil satu dan kurobek lalu kumasukkan dalam mulutku. Sangat lembut. Tumben sekali ibu membuat pancake.

"Oh ya, kemarin tetangga baru itu kemari. Sepertinya mereka keluarga yang baik, jadi kita bisa dekat dengan mereka."

Kunyahanku terhenti dan mataku melebar hampir meloncat dari tempatnya. Pancake yang belum kukunyah hingga halus langsung kutelan hingga membuatku nyaris mati tersedak. Ini berita terburuk sepanjang masa.

"Oh ya?" suaraku meninggi karena cemas. "Kenapa aku tidak tahu? Kenapa ibu diam saja? Ya Tuhan, apa yang sudah aku lewatkan."

Ibu menunjukkan pandangan anehnya saat melihat kegusaranku yang bahkan terjadi begitu saja. Tidak—bukan terjadi begitu saja, melainkan ini karena aku harus melewatkan momen paling berharga kemarin.

"Kau bilang kau tidak ingin diganggu saat tidur, jadi ibu membiarkanmu, apa itu salah?" alis ibu bertemu menunjukkan kebingungannya.

Ya, aku teringat kemarin saat hari masih terang, aku memutuskan untuk pergi ke kamar. Membayangkan lagi wajah pria manis yang sangat kukagumi itu. Sialnya, aku malah tertidur dan satu kesempaan besar melayang begitu saja. Ini memang salahku.

"Ya ya ya, tidak apa." Aku mengunyah lagi pancakeku lalu menelannya bersama degan kekecewaanku.

"Setidaknya, kau masih bisa merasakan pancake dari mereka." Pandanganku teralih pada ibu. "Mereka bilang kau harus menambahkan selainya karena itu sangat enak."

Dengan cepat aku segera meraih piring berisi pancake yang cukup besar itu, bersama degan selainya sekaligus. Kemudian dengan sigap aku membawanya di telapak tanganku.

"Mau kau kemanakan sayang? Jangan dibuang."

Aku terkekeh pelan, "Akan kubuang di perutku di dalam kamar. Jangan ceritakan ini pada Liam atau dia akan menghabiskannya."

Kuhentakkan lagi kakiku pada pijakan anak tangga lalu meletakkannya di meja belajarku. Kuambil kameraku dan memotretnya beberapa kali. Dari hasil jepretannya saja sudah terasa nikmat. Ya Tuhan, calon ibu mertuaku memang hebat! Hei, apa yang kubicarakan?

...

Aku bernafas lega ketika seorang gadis yang membeli triliunan buku ini selesai membayar. Sebenarnya sih tidak bertriliunan, hanya saja dia membeli buku yang terlalu banyak. Aku sebagai pelanggan jadi merasa bosan dan lelah berdiri menunggu giliranku.

"Sepuluh dollar." Kasir itu tersenyum sambil menyerahkan buku yang kubeli. Kemudian kuulurkan uangku yang pas dan segera keluar dari barisan.

Dengan sekali sobekan, aku berhasil membuka pembungkus yang melindungi buku ini. Tidak peduli apa aku masih di dalam toko ini. Padahal aku hanya ingin membaca cover belakangnya saja, untuk mengetahui sedikit cuplikan cerita. Aku sangat bodoh ya?

Setelah menunduk menatap buku, aku kembali untuk mengamati baris antrian yang semakin memanjang. Untung aku tadi segera mengantri. Tunggu. Bukankah itu..

Ya Tuhan, itu pria malaikat termanisku!

Mungkin inilah saatnya untuk setidaknya bertegur sapa dengannya. Akhirnya kubulatkan tekadku untuk berjalan ke antrian paling belakang, karena memang di sanalah dia berdiri. Dia masih menunduk tidak menyadariku, tapi kenapa dia bisa berada di sini. Bukankah dia orang baru? Apakah dia—

"Hei." Aku menoleh kekanan-kiriku untuk memastikan bahwa pria itu yang memanggil namaku. "Iya kau, tetangga baruku."

Batinku menjerit dan berloncat ria di atas meja sambil menari-nari. Bagaimana bisa dia tahu? Apa dia mengingatku? Atau jangan-jangan, dia kemarin mencariku yang tidak keluar menemuinya.

"Aku?" kuarahkan jari telunjukku ke dadaku dengan wajah sok polos.

Pria itu tersenyum sambil mengangguk. Matanya yang sipit ketika tersenyum itu seolah membujukku untuk lebih mendekatinya. Sehingga aku sekarang berdiri di sampingnya. Aromanya sangat wangi, berbau teh hijau, dan aku suka itu.

"Aku Louis Tomlinson, tetangga barumu. Kemarin aku ke rumahmu tapi kau tidak ada. Jadi di sini saja ya berkenalannya." Ia mengulurkan tangannya dan aku segera menjabatnya dengan sedikit gemetar.

Benar kan tebakanku. Dia benar-benar mencariku semalam. Ya Tuhan, dia manis sekali. Apa dia sengaja kesini untuk membuntutiku?

"Aku Valerie Payne. Maaf aku kemarin harus belajar kelompok di rumah temanku, jadi aku sangat menyesal tidak bisa menyambutmu di rumah." Aku tersenyum geli, mengingat kenyataan yang sebenarnya.

"Tidak masalah, Valerie. Kau suka membeli buku di sini?" aku mengangguk semangat. "Benarkah? Kebetulan sekali. Kapan-kapan, bagaimana jika kita kesini bersama?"

Ah, perutku terasa sangat geli seperti ribuan ulat merayap di sana. Aku ingin sekali berteriak dan meloncat di atas meja kasir. Dia mengajakku kesini! Apa itu tergolong dalam kategori kencan?

"Aku suka kesini dan ya, kita bisa pergi bersama."

"Hei, kalian ini mau mengantri atau tidak? Lihat!" seorang pria di belakang kami mendengus dan memang benar jika dia kesal karena Louis terlambat untuk maju beberapa langkah.

Aku sebenarnya hendak meneruskan perbincangan kami, sayangnya pria itu masih menatap kami—atau aku dengan tajam. Membuatku takut sekaligus risih.

"Sepertinya aku harus segera pergi dulu. Sampai jumpa, Louis."

Dia melirik antriannya yang masih panjang, lalu menatapku. "Antrianku masih panjang."

"Tidak apa. Aku masih harus ke toko lain. Sampai jumpa." Ia memiringkan kepalanya. "Sampai jumpa, Valerie."

Aku berjalan mundur sambil mengarahkan tanganku ke belakang tubuhku untuk meraba arahku. Ini memang terlihat bodoh tapi yang terlintas di pikiranku hanya ini.

Baik! Namanya Louis Tomlinson.


...


Kira-kira masih ada yang masih mau baca nggak guys? Pliss vomment dong. Jangan cuman next ya, aku butuh komentar kalian ;))

Lafyuuuu!!

ACCIDENTALLYWhere stories live. Discover now