- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Iqbal mendekat setelah Nadin menyimpan ponselnya. Gadis itu masih mendekap Siomay seraya terdiam di tempat dan menatap kosong ke arah halaman. Iqbal duduk di sampingnya, membuatnya menoleh dan mulai kembali tersenyum.
"Hai, Bal."
"Hai juga, Nad," balas Iqbal. "Bagaimana? Apakah kamu sudah selesai membicarakan soal yang terjadi dengan kedua matamu kepada Ayahmu?"
Nadin pun mengangguk.
"Alhamdulillah, sudah. Semuanya sudah kusampaikan beserta kronologi yang menjadi penyebabnya," jawab Nadin.
"Dan apa tanggapan Ayahmu? Apakah Beliau kaget dan sulit untuk memberi tanggapan? Atau ... Beliau lebih menunjukkan rasa khawatirnya terhadap kamu?"
Sejenak, Nadin berusaha memperhatikan Iqbal lebih lama. Pemuda itu terlihat biasa saja ketika ia menatapnya. Namun apa yang ditanyakannya sama sekali tidak meleset dari pembicaraan antara dirinya dan Alwan. Seakan, Iqbal sudah tahu bagaimana Alwan akan menanggapi setelah ia menceritakan semuanya.
"Kalau semua yang kutanyakan itu benar, maka kamu tidak perlu merasa bersalah karena telah mengatakannya dengan jujur," lanjut Iqbal. "Begitulah orangtua, Nad. Rasa khawatir yang mereka miliki terhadap kita sangatlah besar. Hal itu adalah sesuatu yang wajar, karena kita adalah belahan jiwa mereka setelah mereka menjadi orangtua. Ketika kita lahir, prioritas hidup orangtua kita bukan lagi tentang diri sendiri atau diri pasangannya. Prioritas utama mereka adalah kita, Nad."
Nadin mendengarkan, seraya sesekali membelai Siomay dan Pangsit--yang baru saja memutuskan mendekat.
"Kita mungkin sering berpikir, bahwa usia kita sudah bukan lagi usia anak-anak. Kita mungkin sering berpikir, bahwa seharusnya kita tidak lagi diperlakukan seperti anak kecil oleh orangtua. Tapi kita sama sekali enggak sadar, berapa pun usia kita saat ini, di mata orangtua kita tetaplah anak-anak. Mereka tetap mengkhawatirkan kita, mereka tetap mengawasi kita meski telah memberi izin untuk pergi jauh, mereka bahkan tidak berhenti bertanya 'apa kabar?', 'apakah kamu baik-baik saja?', 'kamu sudah makan atau belum?'. Terdengar receh rasanya, tapi maknanya jauh lebih dalam daripada jawaban yang kita berikan kepada mereka. Jadi kalau Om Alwan mendadak lebih merasa khawatir sama keadaan kamu dan tidak bisa berkomentar atau menanggapi soal apa yang tadi kamu ceritakan, kamu harus menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Om Alwan sayang sama kamu. Om Alwan hanya ingin hal-hal baik terjadi dalam hidup kamu. Jadi meski yang kamu dengar hanya rasa khawatir tanpa adanya sebuah tanggapan, kamu tidak boleh menyesal karena telah bicara jujur pada Om Alwan. Sebelum kamu menikah nanti, tempat berlarimu sebagai anak satu-satunya adalah kedua orangtuamu. Tapi sampai kapan pun, sekalipun kamu sudah menikah, tempat yang tepat untuk kamu berbagi perasaan adalah Ayahmu. Karena Ayah adalah cinta pertama bagi seorang anak perempuan. Aku harap setelah ini, kamu bisa memahami itu dan jangan menjauh ataupun memberi jarak dari Om Alwan."
Senyum di wajah Nadin semakin mengembang, usai mendengar saran dari Iqbal. Ia mengangguk tanpa ragu, karena tahu bahwa yang Iqbal katakan bukanlah hal yang salah.
"Ya. Insya Allah aku paham dengan semua yang kamu katakan, Bal. Terima kasih, ya, karena kamu telah bersedia membuatku paham soal bagaimana perasaan Ayahku. Jujur, tadinya aku memang ingin memutuskan untuk mulai menghindar dan malas berbagi sesuatu dengan Ayah. Aku pikir ... ya ... pikiranku memang tersesat sekali beberapa saat lalu. Tapi sekarang aku jelas akan membuang jauh pikiran-pikiran seperti itu. Aku akan ikuti saranmu dan tetap berbagi segalanya dengan Ayah saat pulang nanti," ungkap Nadin, apa adanya.
Iqbal pun merasa sangat lega, setelah mendengar isi hati Nadin. Ia kini merasa tenang, karena tahu bahwa Nadin tidak perlu memiliki hubungan yang renggang terhadap Ayahnya sendiri.
"Ayo, kita kembali ke rumah Bu Rahayu. Kita harus mengambil kamera yang masih tersimpan di sana, untuk membuktikan bahwa perempuan itu memang berbahaya bagi warga desa ini jika terus dibiarkan," ajak Iqbal.
"Oh, iya. Ayo, kita cepat ke sana lagi. Aduh, aku hampir lupa sama kamera yang harus kita ambil," keluh Nadin.
Iqbal pun terkekeh saat melihat ekpresinya.
"Tapi kalau sama aku enggak pernah lupa, 'kan, Nad?" godanya, sengaja.
Nadin pun langsung berusaha untuk tidak tertawa terbahak-bahak, saat tahu kalau Iqbal sedang kumat jahilnya.
"Mana mungkin aku lupa sama kamu, Bal? Kamu itu cuma ada satu-satunya di dunia ini, Bal. The one and only ... cowok yang paling sering uring-uringan kalau enggak dibelikan lapis surabaya oleh Nenekmu, Ibumu, dan juga Adikmu."
Senyum di wajah Iqbal pun menghilang dan berganti dengan ekspresi panik.
"Nad ... ingat sama aku jangan cuma bagian yang itu, dong. Bagian lain 'kan banyak, Nad. Aku cowok paling ganteng. Aku cowok paling baik hati. Aku cowok yang tidak bisa ditandingi keberadaanya oleh siapa pun. 'Kan bisa kalau kamu mengingat ...."
Karel berusaha keras untuk tidak tertawa, saat akhirnya mengirimkan voice note yang ia rekam sejak tadi kepada Ziva. Tadinya ia hanya ingin merekam sampai bagian Iqbal selesai menasehati Nadin dan mendapat tanggapan. Tapi karena Iqbal mendadak curi-curi kesempatan untuk menarik perhatian Nadin, ia jelas tidak ingin melewatkan bagian seru tersebut agar Ibunya tahu, bahwa salah satu keponakannya sedang melakukan pendekatan secara ugal-ugalan.
"Kalau Ibu mendengarkan voice note dariku, sudah barang tentu Om Alwan juga akan ikut mendengarnya. Ha-ha-ha-ha-ha!" ungkap Karel, merasa geli sendiri.
Nadin dan Iqbal akhirnya tiba kembali di rumah Rahayu. Keduanya merasa kaget saat melihat bagaimana kondisi kamar di rumah Lastri, setelah tadi Nadin bertarung dengan setan anja-anja. Tampaknya ritual yang dilakukan oleh Lastri gagal total, sehingga terjadi kekacauan yang begitu hebat di kamar tersebut.
"Semuanya terekam dalam kamera ini, Nad," ujar Iqbal.
"Ya. Bagus kalau begitu, Bal. Kita bisa jadikan rekaman video dalam kamera itu sebagai bukti, bahwa Lastri adalah perempuan berbahaya yang tidak boleh dibiarkan berkeliaran seenak hatinya di desa ini. Kita akan menghentikan dia, Bal. Jadi rekaman itu adalah hal terpenting yang harus kita jaga baik-baik," tanggap Nadin.
Baru saja mereka akan pergi dari rumah itu, mendadak Lastri mendekat dari rumahnya menuju jendela rumah Rahayu. Iqbal langsung menarik Nadin agar bersembunyi dengannya di balik sofa usang, agar keberadaan mereka tidak ketahuan sebelum waktunya. Lastri benar-benar mencoba mengintip ke dalam rumah melalui jendela yang tadi mereka pakai untuk mengamati kamar di rumah perempuan itu. Jantung Iqbal dan Nadin sama-sama berdebar tak karuan. Keduanya memang tidak siap menghadapi situasi itu dan bahkan tidak pernah menduganya.
"Matikan nada dering ponselmu," bisik Nadin, teringat dengan ponsel mereka.
Keduanya pun buru-buru mematikan nada dering, sebelum ada salah satu anggota tim yang mencoba menghubungi mereka. Mereka jelas akan ketahuan oleh Lastri, jika sampai ada suara yang terdengar dari dalam rumah Rahayu.
"Mungkin dia curiga, karena Pak Rizal akhirnya bisa kembali sadar dan terlepas dari incaran setan anja-anja itu," bisik Iqbal.
"Ya. Bisa jadi begitu. Atau bisa juga, dia mulai paranoid dan berpikir kalau ulahnya selama ini sudah dibocorkan oleh Bu Rahayu dan Pak Guntur. Makanya dia sampai mencoba mengintip ke dalam rumah ini."
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJA-ANJA
Horror[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 2 Waktu libur kali itu tidak terisi dengan kegiatan bersantai bagi Karel dan seluruh anggota timnya. Mereka mendapatkan pekerjaan, yang mengharuskan mereka pergi untuk pertama kalinya ke luar kota. Di sebuah desa...