46. adegan tak terhindari

209 29 11
                                    

Seulha terbaring di tempat tidurnya, tubuhnya terguncang oleh mimpi buruk yang terus menghantuinya. Tidurnya gelisah, napasnya terengah-engah dan keringat dingin mulai mengalir di sepanjang punggung dan lehernya. Wajahnya tampak pucat, dan sesekali, bibirnya bergerak tanpa kata-kata yang jelas, hanya bisikan-bisikan tak terdengar yang meluncur begitu saja dari bibirnya.

Mimpi buruk itu datang lagi, berputar kembali dalam kepalanya. Kenangan tentang Yoona—kehilangan yang tak pernah bisa dia terima—berputar tanpa henti, mengiris hatinya. Seulha mengigau, kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan suara serak dan bergetar, "Yoona... aku... aku minta maaf..." Suaranya hampir tak terdengar, terhimpit oleh napasnya yang berat. Matanya terpejam rapat, seolah mencoba menghindari bayangan yang terus menghantuinya.

Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan tangan Seulha gemetar, seolah tubuhnya merasakan ketakutan yang sangat nyata meskipun ia hanya terbaring di tempat tidur. Setiap kali ia mencoba untuk tidur dengan tenang, bayangan itu kembali muncul—Yoona, dengan wajah pucat dan kosong, berdiri di ujung atap rumah sakit, siap terjun ke dalam kegelapan. Seulha merasa jantungnya hampir berhenti berdetak, seolah bayangan itu begitu nyata di hadapannya.

"Tolong... jangan pergi... Yoona..." bisik Seulha, suara yang tersendat, hampir tak bisa keluar dengan jelas. Tubuhnya terasa panas dan dingin secara bersamaan, seolah dunia di sekitarnya runtuh perlahan. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan, bahkan dalam tidurnya yang terpuruk dalam ketakutan. Keringat yang dingin semakin membasahi kening dan pelipisnya, tubuhnya berkeringat dingin, menandakan betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami.

Tangan Seulha yang gemetar perlahan terangkat, seakan-akan ia ingin meraih sesuatu, atau seseorang. "Yoona, jangan... tolong jangan tinggalkan aku...," suara itu hanya terdengar samar, tercampur dengan suara nafasnya yang tak teratur. Keringat membasahi lehernya, dan tubuhnya terasa seperti terkunci, terjebak dalam ketakutan yang tak bisa ia hindari.

Keputusasaan dan penyesalan yang menghantui begitu mendalam, Seulha hampir tidak bisa merasakan batas antara kenyataan dan mimpi buruk yang sedang menghantui tidurnya. Rasa sakit yang menggerogoti hatinya semakin nyata dalam tidur yang kacau balau ini. Setiap gerakan tubuhnya terasa seperti upaya untuk melarikan diri dari bayangan yang tak bisa ia hapuskan, namun, semakin ia berusaha, semakin ia terperangkap dalam ketakutan yang sama.

Dengan napas yang semakin berat, Seulha terbangun mendadak, tubuhnya terengah-engah dan basah kuyup oleh keringat dingin. Matanya terbuka lebar, tetapi dunia sekitarnya tampak kabur, seolah semuanya hanya ilusi. Dia meraba tubuhnya, merasa keringat yang dingin mengalir deras, dan dengan gemetar, dia menelan udara, mencoba menenangkan diri. Namun, meskipun ia terjaga, perasaan cemas dan takut itu masih membayangi setiap detik dari kehidupannya. "Aku butuh udara dingin... ".

Matanya tertuju pada kantong belanja yang diletakkan di meja kecil dekat tempat tidur. Ia menatap benda itu beberapa detik, lalu menghela napas panjang. “Kuberikan sekarang saja,” gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Seulha bangkit dari kasur, meraih kantong belanja kecil berbentuk bingkisan yang dihias dengan cantik, dan berjalan keluar kamar. Suasana lorong penginapan terasa sunyi malam itu. Hanya langkah kakinya yang menggema pelan di antara dinding-dindingnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, merasa seperti ada yang memperhatikan. Namun, lorong itu kosong, hanya dirinya yang ada di sana.

“Semoga nggak ada yang lihat,” harapnya dalam hati, menggenggam erat kantong belanja di tangannya.

Ia berhenti di depan pintu kamar Ji Hoo. Tangannya terulur untuk mengetuk, tetapi ragu-ragu. “Apa dia masih bangun?” pikirnya. Setelah mengumpulkan keberanian, ia mengetuk pelan dua kali. Tidak ada jawaban. Ia menunggu sejenak, kemudian mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tetap tidak ada respons.

Seul Ha_ [Slow Up]Where stories live. Discover now