4

12.1K 796 8
                                    

Kelly's POV

Aku memasuki ruang kelas. Seperti biasa, tidak ada pergerakan saat bayanganku mulai merasuk kedalamnya. Sebegitu seramkah aku?

Tanpa menatap kanan ataupun kiri, aku berjalan menuju bangku ku yang terletak di belakang. Di pojok tepatnya, yang bertujuan agar aku bisa bersandar di tembok jika ingin menatap... Ah bukan bukan, maksudku bisa merelax tubuhku jika lelah.

Kelas kembali ribut disaat aku mengenakan earphone. Sudah kuduga, mereka menungguku menyumpal telinga. Apa salahnya tinggal ribut saja?!

Empat jam pertama ku lalui sambil menahan kantuk. Ingin rasanya tidur di kelas, tapi aku takut. Takut jika nenekku di panggil ke sekolah dan aku kembali di hukum. Errgh, itu akan sangat menyebalkan.

Ku langkahkan kaki ku keluar kelas, karena sudah menunjukkan pukul 10.00 yang menandakan waktu istirahat. Aku melangkah menuju UKS, tempat Dinza berbaring sejak awal tiba di sekolah. Dia benar-benar keras kepala. Tidak ada gunanya jika bersekolah, tapi dihabiskan di UKS. Lebih baik tinggal di apartemen dan tidur nyenyak, lalu lakukan semua hal yang menyenangkan. Aiish, kenapa aku yang repot. Ayolah Key, jangan berpikiran konyol. Dinza punya hak. Damn! Aku selalu possessive padanya.

"Dinza?" sapaku saat melihatnya berbaring.

"Key? Lo ga istirahat?"

"Ini kan istirahat Din. Lo mau dibawain makanan kesini? Atau ikut gue ke kantin?"

"Gue ikut aja deh. Kangen banget sama lo,"

Mendengar kalimat terakhirnya, aku hanya berdeham untuk menetralkan perasaanku. Tidak boleh aku suka padanya, dia sekedar sahabat, bahkan seperti saudara perempuanku. Aku tidak mau berpacaran dengan Dinza. Aiih Key, kenapa berpikir sejauh itu sih. Belum tentu juga Dinza mengharapkanku. Persetan lah dengan pikiranku.

Kami berjalan bersama menuju kantin. Melewati koridor sekolah, semua orang mematung secara tiba-tiba saat mengetahui kedatanganku dengan Dinza. Baiklah, ini cukup berlebihan. Boleh saja tunduk padaku, tapi sikap mereka yang seperti ini justru membuatku merasa terasingkan.

Aku memesan makanan di kantin. Kulihat Wina yang duduk di bangku yang cukup lengang untuk kutempati dengan Dinza.

"Eh sana dong. Gue sama Dinza mau duduk disini," kataku mengusir Wina.

"Di sebelah bisa kan? Masih sisa banyak kok meja sama kursinya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.

"Berani ya lo sama gue?!" bentakku. Dinza hanya mengelus-elus pundakku, memintaku menghentikannya. Tapi tak ku gubris.

"Eh batu! Mata lo dimana hah? Tempat itu bahkan lebih dari yang kalian butuhin!" jawabnya yang kini menatapku. Damn! Tatapannya itu menyebalkan.

"Mata gue? Mata gue disini o'on!" kataku meninggikan nada suara.

Wina berdiri dari tempat duduknya. Dia mengambil air minumnya dan membasahiku dari atas kepalaku.

"Idiot!" bentakku sambil mendepak tangannya dari atas kepalaku.

"Aaah," rintihku saat mendapati tutup botol.minumnya menggores tepat diatas alisku.

"Key berdarah?!" kata Dinza dengan wajah kagetnya.

Kulihat Wina yang menatapku kaget. Iya dia kaget. Apa dia merasa bersalah? HAHA sepertinya mustahil seorang apatis merasa bersalah.

"Alis.. Alis lo berdarah," ucapnya lirih.

Tanpa membalas ucapan Dinza ataupun Wina, aku buru-buru meninggalkan kantin. Kulangkahkan kaki ini menuju toilet untuk melihat seberapa besar lukanya.

"Key! Tungguin gue," seseorang memanggilku dari belakang, tapi tak ku hiraukan.

Rasa nyeri di bagian pelipis mataku kini menyebar ke kepala, sehingga membuat migrainku kambuh lagi. Aku yakin, pasti lukanya besar.

"Oooh my gosh!" lirihku melihat darah di sekitar alisku. Lukanya besar.

"Key, kita ke UKS aja," kata Dinza yang ternyata sedaritadi memanggilku dari belakamg.

Aku kembali tidak menggubrisnya. Terlalu berat mulutku mengucapkan ini sakit. Aku akan terlihat lemah, ya aku lemah. Dan aku tidak mau dikasihani oleh orang lain.
"Kelly! Lo denger gue?!" kini Dinza membentakku sambil membalik badanku dengan paksa.

Diambilnya tissue yang tersedia di dekat washtafel, dengan telaten ia mengelap darah segar yang menetes di sekitar mataku.

My hell, kenapa harus semenarik ini? Ya! Dinza membuatku gila beberapa tahun belakangan. Berusaha kututupi perasaan bodoh ini, tapi tetap saja tidak bisa. Dikala menatap wajahnya, hanya sia-sia saja aku menutupi perasaanku selama ini. Aku bodoh? Ah.

"Lo balik pulang ya. Nanti gue ambil surat ijin buat lo,"

Aku hanya diam menatap ke sembarang arah. Aku menyimak perintahnya, tapi tak berani berucap. Bagian pelipisku masih berdenyut. Ah ini sakit. Bolehkah aku menangis? Dasar si cengeng ini.

"Key?" kini suaranya meluluh. Stop Din. Jangan buat gue nangis dengan suara lembut gitu.

****

Aku terbaring di ranjangku. Dinza yang biasanya berpisah kamar denganku, kini ikut berbaring di sebelahku.

Seorang dokter telah memasuki apartemenku beberapa jam yang lalu. Aiish! Kenapa aku selemah ini sih? Hanya tergores, tapi semua penyakitku keluar.

"Lo mau makan lagi?"

"Enggak. Tidur aja, gue ngantuk," jawabku menolak tawarannya.

Satu jam.. Dua jam.. Empat jam..

Kulirik Dinza yang berada di sebelahku. Dia sudah tertidur, kurasa. Nafasnya teratur. Kembali mataku mencari keberadaan jam dinding. 02.30, aku masih belum bisa memejamkan mataku.

Kulangkahkan kakiku menuju balkon, ah tepatnya rooftop, eh sepertinya sama saja. Ah lupakan! Aku membawa secangkir teh hangat yang di simpan di microwave oleh Dinza beberapa jam lalu.

Angin berhembus cukup kencang diluar sini. Untung saja jaket ini menyelimuti badanku. Aku terduduk di sebuah kursi yang sengaja ku sediakan disini, jika sedang bosam di kamar.

Kuambil ponselku dan set-on lagu-lagu di playlist. Lagu sendu, galau, rock, jazz dan berbagai aliran lainnya mengalun secara bergiliran melalui earphone ku. Membawaku dalam perasaan bercampur aduk, semuanya terekspresi dalam lagu-lagu ini. Sampai beberapa menit aku mendengar lagu-lagu di playlist ku, aku pun tidak bisa mengingat apapun lagi, aku terlelap dalam lelahku.

***

"Bangun Key,"

Sayup-sayup ku dengar sebuah suara membangunkan ku. Kukucek mataku perlahan, aku mengantuk. Sangat mengantuk. Kepalaku sakit. Ah.

"Jam berapa sekarang?"

"Udah jam 7,"

"Hah?! Jam 7? Kenapa lo baru bangunin gue? Kenapa juga lo udah siap duluan. Ah," kataku sambil bangun dari baringanku di kursi panjang.

"Lo sakit Key, lo tidur aja dirumah. Kemaren malam siapa coba nyuruh lo tidur di balkon. Udah tau badannya lagi panas," omelnya.

"Yaampun. Iih panas banget," teriak Dinza hampir histeris.

Aku tidak menggubrisnya, ku tinggalkan dia dan berjalan menuju kamarku. Kurasa dia juga mengikutiku, karena suara sepatunya beradu dengan lantai.

"Din, lo sekolah aja ya. Gue pusing, nanti nenek nelpon ke sekolah," pesanku pada Dinza dan menyelimuti tubuhku di atas ranjang.

"Yaudah, lo istirahat yang cukup ya. Gue udah siapin bubur untuk sarapan. Nanti panasin aja kalau dingin. Gue berangkat ya, babay,"

Aku hanya berdeham mengiyakan kalimatnya. Aku pun kembali meringkuk di dalam selimut dan mencoba untuk tertidur lagi.

Perfect Badly (gxg) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang