I'm back..

40.1K 1K 47
                                    

Haii, semoga kalian suka part ini ya heheheh Ngomong-ngomong menurut kalian ini udah mau mendekati happy-end nggak?:p

Thankyou untuk dukungan kalian selama ini. Ditunggu part selanjutnya ya! Part selanjutnya finally the last chapter! So, this is it.

Eits, masih ada part selanjutnya kok. Dan mungkin itulah endingnya, walau setelah ini author akan bikin cerita slanjutnya tentang anak-anak mereka nantinya. Jadi ikutin terus ya! hehehhe

See you until then!

All the love as always!xx

Marsya's POV

Aku menarik napas lega begitu bantuan akhirnya datang juga. Aku bahkan sudah basah keringat dibuatnya. Kalian bayangkan saja, dengan tubuh 180 cm, yah mungkin sekitar itulah, dan bobot sekitar nyaris 70 kilogram kurang lebih, yang pasti aku langsung pusing dibuatnya. Aku sebenarnya sangat yakin bahwa walau terjatuh cukup keras, Rei akan baik-baik saja. Pasalnya, ketika kecelakaan mobilnya beberapa bulan yang lalu dia tetap sehat walafiat dan tubuhnya memang rada tahan banting. Apalagi hanya karna jatuh dari posisi berdiri seperti barusan, walau aku sempat shock juga sih. Aku ingat tadi kepalanya nyaris membentur lantai jika aku tidak buru-buru menahannya, padahal entah kenapa aku rada ingin kepalanya terbentur sesuatu, kalian tau kan biasanya orang yang amnesia akan segera ingat kembali jika kepalanya terbentur? Dan cowok ini cukup tau diri untuk berpengangan pada ujung meja sebelum akhirnya benar-benar kolaps lalu membiarkan tubuhnya jatuh begitu saja tanpa tenaga. Ujung-ujungnya, aku yang nyaris semaput ditiban olehnya. Hei, aku ini tenaga pemusik, bukan tenaga badak. Dengan sekuat tenaga aku menahan tubuhnya, alhasil aku malah jadi megap-megap tanpa mampu berbuat apa. Gila, masa aku harus terus begini sampai ada anak kelasku yang datang? Untung sekali tadi tiba-tiba Brian si hobi telat bisa datang pagi-pagi begini, dan langsung buru-buru menolongku. Mungkin karna tampangku juga sudah nyaris pingsan.

Brian menaruh tubuh Rei pada beberapa kursi yang sudah disusun disana.

"Thanks, Bray. Gue nggak tau lagi deh, kalo lo nggak dateng mungkin gue juga udah ikutan pingsan."

"Santai aja, Cha. Gue juga liat kok muka lo udah semaput gitu." Cengirnya padaku, "Ngomong-ngomong, dia kenapa? Kok tau-tau molor gitu sih?"

Aku berdecak kesal, "Kalo emang dia cuman tidur, gue pasti nggak bakal pake acara nahan-nahan dia kayak tadi. Gue biarinin aja dia kegeletak dilantai."

Brian tertawa, lalu mengangsurkanku sehelai tissue, "Nih," Lalu dia mengacak-acak rambutku, "Udah-udah.. Rei cuman pingsan kok, you don't have to worry."

"Am I look like that?" Aku memelototi Brian.

"You're trembling and sweating."

"No, I'm not!"

"Yes, you are." Brian hanya melirikku sekilas, lalu mendekati Rei, "He seems fine. But why he's fainted huh?"

Aku menarik napas. Ya, kurasa sejujurnya aku memang sangat mengkhawatirkannya. Tapi aku berusaha menolaknya, aku berusaha berpikir bahwa Rei pasti baik-baik saja. Tidak. Rei memang baik-baik saja.

"Tadi gue liat dia sakit kepala lagi. Akhir-akhir ini emang sering begini, tapi nggak sampe pingsan, Bray. Tiap dia inget sesuatu, dia suka nahan sakit."

Brian mengangguk-angguk.

"I think we should call for a help." Saranku.

"Yeah, you wait here." Brian tersenyum padaku, "Lo tenang aja. Gue bilang salah satu guru dulu. Mungkin kita harus kerumah sakit, buat jaga-jaga aja."

Love Create Benefit (sequel 'From benefit to love')Where stories live. Discover now