Apa rasanya terlahir bukan dari keluarga miskin, tapi juga jauh dari berkecukupan?
Sederhana. Cukup, katanya. Tapi kenyataannya tidak pernah benar-benar cukup. Aku bukan korban bencana, bukan juga yatim piatu. Tapi setiap hari terasa seperti hukuman. Aku harus terus hidup, harus terus bergerak, tanpa ada pilihan untuk berhenti. Di kota ini, segalanya serba mahal. Aku lelah. Lelah pura-pura kuat. Lelah tersenyum padahal isi kepalaku penuh dengan kekhawatiran. Bukan hanya soal tugas kuliah, tapi juga soal makan apa besok, bayar kos pakai apa, dan sampai kapan bisa bertahan seperti ini.
Entah bagaimana aku bisa sampai sejauh ini. Mungkin karena sudah terbiasa mengabaikan rasa lapar. Atau karena sudah terlalu sering menangis diam-diam tiap malam.
Kalau ada yang tanya, apakah aku ingin hidup yang lebih layak? Tentu saja iya. Tapi pertanyaannya, bagaimana caranya?
Tapi kemudian, aku mulai sering mendengar bisikan. Bukan langsung ditujukan padaku, lebih seperti suara-suara samar yang beredar di antara anak-anak kampus. Katanya, orang-orang yang kalah secara finansial seperti aku, masih bisa naik kelas.
Awalnya aku anggap itu sebagai candaan dan omong kosong. Tapi kemudian, aku melihatnya sendiri. Satu temanku, yang latar belakangnya hampir sama denganku, hidupnya berubah sangat signifikan. Ia dulunya berhemat mati-matian, sekarang mendadak punya barang-barang branded dan sering pergi ke tempat-tempat eksklusif.
Penasaran, aku pun menemuinya, dan iseng bertanya. Tahu apa yang ia bilang? Katanya, hidupnya berubah sejak mengenal 'seseorang'.
Sejak saat itu, aku mulai penasaran. Bukan karena ingin meniru, tapi karena aku mulai mempertanyakan, apakah jalan itu juga berlaku untukku?
....
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Tak ada yang berubah. Kehidupanku ini masih berjalan di jalur yang sama. Bahkan di hari ini pun, pikiranku benar-benar kacau.
Di kelas, aku duduk paling belakang. Tugas dari dosen tergeletak di meja, belum kusentuh. Bukan karena sulit, tapi karena otakku terlalu penuh dengan sisa uang yang ada di dompet, jadwal les privat, dan bayangan ucapan temanku waktu itu.