"Emily."
Sambil terkantuk-kantuk aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaranku. Louis yang berjalan dari pintu IGD langsung duduk di sebelahku dan menyodorkan bungkusan kertas kecil berisi sesuatu di tangannya.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Louis bingung. "Ada apa? Apa Harry sudah bisa dijenguk?"
"Makan dulu, waktunya makan siang." Aku menerima bungkusan yg beraroma sedap lalu membukanya sedikit. "Mungkin sebentar lagi. Dokter baru saja memerban kakinya."
Aku menghirup dalam-dalam aroma hamburger yang Louis bawakan untukku. Perhatian sekali dia sampai repot-repot membelikanku makan siang.
"Terima kasih." Kataku dengan mulut yang penuh dengan makanan.
Aku mengunyah makan siangku dengan penuh rasa bersalah dan jengkel. Aku tidak sabar untuk melihat keadaan Harry, aku takut dia tidak bisa berjalan karena aku meremukkan kakinya dengan pintu. Maksudku, aku tidak mau insiden ini disalahkan sepenuhnya padaku karena memang ini bukan salahku. Tapi tetap aku merasa bersalah.
Ponsel Louis berdering dan kulihat nama Zayn tertera di layar ponselnya. Ah, pria sialan itu. Louis berdiri dan berjalan menjauhiku agar bisa berbicara dengan Zayn.
Yang membuatku jengkel adalah mengapa Zayn harus bersikap seakan-akan dia tidak mengenalku. Dia bahkan mengajakku bersalaman di depan Rose dan Louis dan menyebutkan namanya. Apa masalahnya sampai-sampai dia harus bersikap seperti layaknya aku ini orang asing yang baru ditemuinya. Jelas-jelas selama ini dia yang selalu mengajakku berbicara.
Dan Rose, aku kerap mendapatinya sedang memperhatikanku dari atas sampai bawah dengan pandangan merendahkan. Ya, kuakui kalau dia memanglah cantik. Tapi bukankah bersikap meremehkan sesama wanita membuatmu terlihat minus? Terserah, itu urusannya.
Rose dan Zayn harus pergi lagi karena mereka berdua memiliki urusan penting. Sepenting apa sampai harus meninggalkan sahabatnya yang sedang sakit? Kudengar mereka sahabat. Aku jadi meragukan semua kebaikan dan sikap ramah yang selalu Zayn tunjukkan.
Pintu ruang IGD terbuka dan beberapa perawat mendorong ranjang keluar dari dalam IGD. Harry sedang tertidur pulas dengan hidung di perban, tangan di infus, dan kaki yang di gips.
Aku langsung berdiri dan membuang bungkusan makan siang ke tempat sampah di sebelahku dan mengikuti perawat dari belakang. Aku memanggil Louis untuk berhenti menelfon dan ikut denganku menuju ruang inap untuk Harry.
"Jadi dia harus dirawat disini?" Tanya Louis pada seorang perawat yang sedang mendorong ranjang Harry.
Perawat itu pun mengangguk. "Sepertinya begitu, Sir. Dokter akan menemuimu di ruang inap milik pasien Harry."
"Baiklah."
Tak lama kemudian, setelah turun dari lift di lantai 8 kami semua sudah berada di dalam kamar yang akan di tempati Harry mungkin selama beberapa hari. Harry sempat terbangun ketika perawat memindahkannya ke ranjang yang ada di kamar dan mengganti tabung infusnya.
Aku merasa tidak enak padanya ketika mata kami bertemu saat dia terbangun tadi. Dia sempat mendelik padaku dan aku pasrah saja. Tidak ada hal lain yang kupikirkan selain kesehatan Harry dan rasa bersalah.
Aku menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang Harry. Dia masih tertidur. Pipinya terlihat menggemaskan dari sini saat dia sedang tertidur. Aku ingin menyentuh pipinya..
Pintu terbuka, dan muncul seorang pria berjas putih bersama dua orang perawat mandampinginya. Dia tersenyum padaku dan Louis. Louis yang sedang duduk di atas sofa dekat jendela sambil bermain ponselnya langsung berdiri dan menjabat tangan dokter. Begitu pun denganku.
YOU ARE READING
Pretenders
Fanfiction"Kau harus berpura-pura untukku. Ingat! Kau yang bersedia untuk melakukan apapun untukku, Em." Tubuhnya yang tinggi menjulang melewatiku begitu saja, tampang sombongnya menoleh ke arahku dengan mata yang tertuju padaku. Aku tidak tahu kalau omo...