aṣṭha

1.3K 229 80
                                    

"Jadi, lo sering terlambat gegara berangkat kuliah naek sepeda?" Tanya gue, begitu kami sampai di depan sepeda Cara yang terparkir rapih di jejeran mobil-mobil mahasiswa kelas atas.

"Yep." Balasnya, mengedikkan bahu. "Sebenernya, bisa aja gue bawa mobil pribadi, tapi gak seru ah. Lagian, jarak rumah sama kampus cuma 100 kilometer."

"Hah? Seriusan lo?" Mulut gue menganga, nyampe laler masuk ke dalam mulut gue. Gue pun terbatuk-batuk dengan dramatis.

"Alay tingkat dewa sih lo!" Cara bantu ngeluarin laler di mulut gue dengan memukul-mukul punggung gue dengan keras.

Fiuh. Akhirnya laler itu pun keluar.

"Tapi dua-rius deh, gue nggak percaya sama omongan lo tadi. Ya keles, rela-relain ke sekolah naek pedah yang jaraknya berasa mau ke emperan London. Ngibul ah lo."

"Hm, jadi lo meragukan kemampuan gue, nih?" Cara melipat kedua tangannya.

"Iyalah!" Jawab gue dengan ketus.

Siapa juga yang percaya dengan omongan dia yang gak lebih dari omong-kosong? Apalagi, waktu ngeliat sepedahnya yang luar binasa abnormal. Sepeda itu udah dimodifikasi nyampe seluruhnya, mulari dari tutup pentil (pliss, jangan salah fokus) sampe ke sadel, dinamo, dan keliningannya, berwarna metalik. Menyilaukan, bro!

"Nih," Cara memberi gue sebuah helm dan kantong muntah. Gila bener, berasa kek mau naek pesawat terbang gitu yak.

"Nah, ayo naik!" Seru Cara.

Gue pun nurut.

Cara menarik seutas tali dari bawah boncengan sepeda dan melilitkannya di tubuh gue. Itulah seat belt gue. Kata Cara sih, biar gue gak kebawa angin nantinya.

"Siap berangkat?"

"Siap!"

Cara menghidupkan sirene dan mulai mengayuh. 5 satpam kampus celingak-celinguk sewaktu kami melewati pos satpam. Rupanya udah jadi kebiasaan, jika Cara membunyikan sirene, mereka menyemangatinya. Roda sepeda berputar lambat karena piring belakangnya cuma bergigi lima. Rancangan piring begitu emang dah diniatkan untuk make sepeda secara kesetanan.

Cara mengerung mengerahkan seluruh tenaga. Ia melesat melewati berbagai kendaraan di jalan raya dalam kecepatan yang sangat tinggi.

Lama-kelamaan horor juga nih Cara beserta sepeda abnormalnya.

Cara menundukkan tubuh. Ia berkonsentrasi penuh pada jalan di depannya dan ngebut sekuat-kuat tulangnya. Angin bersiut-siut diterabas sepeda yang melesat sangat deras.

Rasanya, gue gak percaya naek sepeda!

Kira-kira sih, kecepatan kami mencapai 75,896321457 kilometer per jam. Beberapa kali kami melewati becak, sepeda motor, taksi Abang Jen, Gerobang Mamang Nayell, bis Akang Ahmah Dhani, dan beberapa kendaraan beserta angkutan umum lainnya.

Semua hal yang tadi diucapkan oleh Cara benar-benar bukan omong kosong!

Situasi berubah jadi gak lucu lagi, tapi bahaya! Kelima gigi sepeda Cara patuh pada hukum fisika, yakni ketika udah mencapai akselerasi yang sempurna ia malah makin mudah dikayuh.

Cuma kecelakaan tertungging di parit yang bisa menghalanginya melaju kek kuda terbang.

"GILAK LO!" Gue berteriak histeris menyuruh Cara mengurangi kecepatan, tapi dia gak peduli sama sekali.

Cara telah terlempar ke dalam dunianya sendiri, dimana ia adalah pilot dan sepedanya adalah pesawat Fokker (bukan boker) 28.

Gue gemetar di tempat duduk belakang. Saking kencangnya, kalo mulut gue terbuka, rasanya gigi-gigi gue bergoyang. Gue pejamkan mata menahan perasaan ngeri dengan mulut komat-kamit berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sepeda meluncur meninggalkan debu.

"Kencangkan sabuk pengaman! Cuaca buruk, coy!"

Tanpa gue sadari, kami telah memasuki kompleks perumahan elite kelas atas, yaitu Pondok Indah bintang 5.

"Woy! Minggir! Minggir!" Teriak Cara dari kejauhan saat melihat sekumpulan anak perempuan lagi maen bekel di tengah jalan. Mereka pun berhamburan ke pinggir jalan untuk melihat aksinya. Cara melambai-lambaikan tangan pada mereka.

"Nah, dah sampe!" Seru Cara, memberhentikan sepedanya di hadapan sebuah gerbang hitam yang tingginya naujubilah.

Astaga-naga! Gilak nih ya! Cara mampu mencapai rumahnya kurang dari satu setengah jam!

Ajib bener!

***

"Kita mau ngapain sih kesini?" Tanya gue.

"Gue mau ngenalin lo sama bokap gue." Jawab Cara, senyum ke gue sebentar, lalu beralih membuka pintu utama rumahnya yang tingginya kek tiang bendera.

Bokapnya? Desainer yang gak gue ketahui tapi sering jadi trending-topic anak-anak sekelas?

"Untuk apa?" Gue menahan tangannya kek di sinetron saat dia mau melangkah masuk.

"Gue mau menolong elo, Harry." Ia menatap gue dengan begitu dalam.

"Nolong apa, sih? Orang kayak gue gak pantes ditolong apa-apa."

"Tapi ini demi pertemanan kita, Harry."

Gue pun terdiam.

"Gue mau membantu lo agar lo gak dijauhi lagi sama anak-anak sekampus. Gue akan minta bantuan dari Papa gue untuk mencari style pakaian yang pas di elo, biar anak-anak cewek di kampus mengubah cara berpikir mereka ke elo, terutama Joanna dan temen-temennya itu."

Butuh beberapa detik bagi gue untuk menyerap semua kata-kata Cara.

"Gue... gue gak bisa, Cara."

"Loh, kenapa? Lo nggak perlu takut akan sebuah perubahan, Harry. Tindakan ini harus dilakukan secepat mungkin. Karena kalo enggak, lo gak akan pernah dapat penghormatan dari mereka semua. Yang ada nantinya lo malah semakin dicaci-maki."

"Oke, gue terima usulan lo."

Cara mengulas senyum lega.

"Tapi, dengan satu syarat." Tambah gue.

"Apa?" Sahut Cara.

"Pakaiannya harus warna pink."

----------

Aqu tau ini alay ngeudhz :" Terinspirasi dari novel 'Cinta Di Dalam Gelas'--Novel kedua dari dwilogi Padang Bulan, Andrea Hirata.

Monyong-monyong, bentar lagi mau tamat lochz :'vvv

leave ur vomment(s) :'*


Pink ➳ h.sWhere stories live. Discover now