bagian 4

1.1K 44 0
                                    

Ini adalah tahun keempat aku meninggalkannya. Pergi jauh dari kehidupannya dan memulai yang baru ditempat yang baru, Wonogiri. Tapi aku masih ingat dengan jelas wajahnya yang cantik walaupun dibasahi dengan airmata memohon kepadaku untuk tidak meninggalkannya.

“Hai mas bro. ngelamunin apa sih?” Tanya temanku Edi menepuk pundakku dan duduk disampingku di teras rumah.

“Masalah yang sama dengan orang yang sama walaupun itu sudah lama.” Gumamku.

“Kau tau mas bro? kau harus menjalani hidupmu. Itu sudah lama. Mungkin dia sudah menikah dan punya anak dan bahagia.” Ujarnya setengah bercanda namun serius.

Aku mendesah “Aku harap begitu.”

“Mas bro, kau siap untuk penempatan kerjamu besok?” tanyanya lagi “Kau masih ingat ditempatkan kerja dimana toh?”

“Aku ngga lupa Ed. Aku ingat.” Sejenak mataku melebar “Ja-kar-ta” ucapku terbata-bata. Aku hampir lupa kalau dia tinggal disana. Apakah aku akan bertemu dengan dia lagi.

Edi memutar bola matanya. Seolah-olah dia tau apa yang ada dipikiranku “Jakarta luas mas bro. Ngga mungkin mas bro ketemu dia di Jakarta yang lebar itu.” Tawanya.

Hari pertama ditempat kerja cukup menyenangkan. Teman-teman kantor cukup baik padaku. Sudah banyak perubahan selama empat tahun ini. Berkat Edi sahabatku, aku bisa bekerja di Perusahaan yang bagus dengan posisi yang lumayan pula menurutku.

Sudah lima bulan sejak aku bekerja di Jakarta kembali. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menyibukkan diri. Untuk tidak memikirkannya. Aku tahu pasti dia sekarang sudah bahagia dengan orang lain sesuai dengan keinginanku.

Tetapi tentu saja aku tidak bisa melupakan dia. Apa lagi sekarang aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Setidaknya aku berkunjung kerumahnya. Silaturahmi.

Aku masih ingat wajah cantik yang mengiba dan memohon. Tapi apa yang harus ku ucapkan saat bertemu dengannya. Pasti dia marah padaku karena memutuskan hubungan dengannya sepihak. Tapi aku tidak peduli. Aku pantas mendapatkan itu. Mendapatkan kemarahannya.

Jam makan siang sudah dimulai. Dengan terburu-buru aku meninggalkan kantor. Ku kebut motor ninjaku menuju rumah Riana.

Sesampainya didepan rumahnya. Aku disapa oleh satpam yang sama empat tahun lalu. “ Mas. Apa kabar? udah lama ngga kesini.”  Tanyanya ramah.

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan. Menjabat tangannya “kabarku biasa aja. seperti yang kau lihat.”

“Riana ada?” Tanyaku lagi.

“Ada mas. Masuk aja. Ada nyonya juga di dalam kalau mas mau ketemu.” Jawabnya lagi ramah dan membuka gerbang.

Bagaimana rupa Riana sekarang. Mungkin sudah menjadi ibu muda yang cantik dengan anak-anak yang manis pula dan suami yang selalu melindunginya bukan seperti aku yang tidak bisa berbuat banyak untuk melindunginya. Dan aku siap dihujani kemarahannya.

Aku disambut dengan Bi Siti pembantu Riana yang sama. “Mari masuk mas. Saya panggilin nyonya sebentar.” Katanya dan mempersilahkan aku duduk.

Aku menunggu sekitar tiga puluh menit. Kemudian ibu Riana melangkah mendekatiku dan tiba-tiba memelukku.

Riana, My AngelWhere stories live. Discover now