Menghitung Hujan Part 1,2,3

239K 4.7K 308
                                    

by santhy agatha


twitter @Santhy_Agustina

facebook fanpage : Santhy Agatha

blog : Anakcantikspot.blogspot.com

email : demondevile@gmail.com

1

Menghitung tetes demi tetes yang tiada habisnya. Sendirian...

Karena kau tak pernah ada. Karena kau tak pernah sadar.

Karena kau selalu tiada.

Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun?

Menghitung tetes demi tetes, cintaku padamu yang mulai berhamburan Berhamburan jatuh dan menghilang ditelan bumi

 "Bersamamu selalu menyenangkan." Nana merebahkan kepalanya ke pundak Rangga. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."

Rangga tersenyum dan mengecup dahi Nana,

"Tidak akan."

"Apakah kita bisa begini selamanya?"

"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku."

 "Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?"

 Rangga tersenyum lembut,

 "Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."

 "Benar juga." Nana tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."

 "Siapa bilang?" Rangga mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertama di pekerjaanmu."

 Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun.

 "Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu.

***

Selamanya sayang, yakinlah kepadaku......Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu..."

Kalimat itu terngiang ditelinga Nana sederas aliran hujan yang turun, sekarang, di depan makam Rangga dengan tanah merah yang masih basah. Apakah Rangga kedinginan di bawah sana? Pertanyaan itu menggayutinya, menghancurkan hatinya, membuatnya memeluk dirinya sendiri yang gemetaran. Nana tidak pernah membayangkan ini akan terjadi.  Sampai dengan kemarin, yang terbentang di depannya adalah kebahagiaan, kebahagiaannya bersama Rangga. Tetapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekasihnya direnggut dari sisinya tepat sehari sebelum pernikahan mereka. Rangga meninggal karena kecelakaan, ketika mencari rangkaian buket bunga untuk pengantinnya di saat-saat terakhirnya.

Mereka bilang jenazah Rangga menggenggam bunga itu ketika ditemukan.... bunga mawar putih dengan kelopaknya yang hancur berguguran terkena benturan....bunga itu tidak putih lagi, berubah merah, terpercik darah Rangga.  Dan jantung Rangga sudah berhenti berdetak. Sudah tidak berdetak untuk Nana lagi, terkubur diam di sana, dalam tanah yang dingin, tidak terjangkau.

Apakah yang dipikirkan Rangga pada saat-saat terakhirnya? Nana mengernyit, tak mempedulikan hujan deras yang membasahi pakaian dan rambutnya sampai kuyup, dia berdiri dengan tegar, di depan makam itu, menatap nisannya dengan nanar. Apakah Rangga memikirkan dirinya? Pernikahan mereka? Air mata mulai menetes lagi di mata Nana, mata yang sudah kelelahan meneteskan kesedihannya. Bagaimana mungkin Rangga meninggalkannya seperti ini? Bagaimana mungkin Rangga tega? Nana berhak marah bukan? Tetapi apa gunanya dia marah? Rangganya sudah tidak ada, dan kesedihan sudah menelannya sampai remuk redam.

Menghitung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang