1. Lari.

34.6K 2.5K 226
                                    

Aku mungkin pernah merasa muak dengan hidupku ini. Hidup membosankan yang dipenuhi para penjilat munafik bermuka dua yang menyebut diri mereka teman.

Terkadang aku membenci pemahamanku yang terlalu berlebih terhadap seseorang. Aku benci bagaimana aku dengan mudahnya membaca semua hinaan di mata mereka untukku.

Seringkali aku mempertanyakan pentingnya keberadaanku di dunia. Di tempat di mana orang baik yang memilih diam dianggap penjahat dan si jahat yang bersuara diagungkan sebagai pahlawan.

Ketika aku sampai pada titik di mana aku lelah menjadi orang baik, aku mulai muak terus melakukan apa yang orang lain inginkan dan mengesampingkan keinginanku sendiri yang mereka abaikan, aku berpikir apakah menjadi jahat akan lebih menyenangkan?

Aku merasa begitu muak akan segala hal hingga aku mengeluh dan bertanya pada Tuhan tentang penderitaan apalagi yang telah Dia siapkan untukku. Dan mungkin ini adalah hukuman yang Tuhan berikan karena aku telah begitu lancang menantang-Nya.

Aku bersumpah tidak akan pernah lagi meragukan kuasa-Nya, tidak jika yang kudapat adalah hal yang bahkan lebih buruk dari penderitaan. Ini teror. Dan jika ada kata yang bisa menjelaskan sesuatu yang lebih buruk dari teror, maka inilah saat yang tepat untuk meneriakkan kata itu.

Kumohon siapa pun tolong aku dari makhluk apa pun yang menginginkan entah apa dariku yang bukan siapa-siapa ini!

Aku memekik dalam hati, mengabaikan kenyataan bahwa tidak akan ada yang mendengar jeritanku kecuali bagian diriku sendiri.

Napasku memburu seiring dengan kedua kakiku yang sudah sekaku balok kayu, yakin sebentar lagi keduanya akan gemetar hebat. Tapi tidak, aku tidak boleh berhenti. Tidak sampai makhluk-makhluk di belakangku pergi. Aku mengerahkan sisa tenaga yang kupunya untuk berlari, terus berlari seakan aku tidak akan pernah berhenti.

Tiga makhluk yang entah apa di belakangku masih mengejarku. Aku tak tahu mereka siapa atau menginginkan apa, tapi aku cukup tahu mereka bukan manusia dan apa pun yang mereka inginkan dariku pasti bukan sesuatu yang baik.

Mereka tiga sosok yang seluruh tubuhnya berkobar terbakar api, atau mungkin memang merekalah api itu sendiri. Dilihat dari warna mereka yang merah menyala dan sesekali memercik kebiruan, aku yakin sekali mereka amat panas hingga mampu melelehkan besi.

Bagian bawah sosok mereka terlihat bagai untaian yang berumbai-rumbai. Rumbaiannya berkobar dalam warna merah pekat, kadang merah kehitaman seperti bara dalam arang. Samar dapat kucium bau busuk mayat dan besi berkarat yang terembus angin dari arah mereka.

Alih-alih berlari dengan kaki, mereka malah melayang beberapa senti dari tanah.

Entakan napas mereka menggema di udara, menyebarkan bau busuk yang menusuk lubang penciumanku tanpa ampun. Mereka menggeram putus-putus yang kuartikan sebagai tawa ketika kakiku tak sengaja tersandung sulur pohon. Sialan. Untung tak sampai membuatku jatuh tersungkur.

Mereka mempermainkanku. Mereka bisa saja menyusul dan menangkapku dengan mudah, tapi mereka tidak melakukannya. Hal yang sama sejak mereka mengejarku untuk pertama kalinya.

Aku sungguh tidak tahu dari mana mereka berasal, tapi aku harus menemukan seseorang supaya mereka berhenti mengejarku seperti sebelumnya, setidaknya aku harus menemukan jalanan.

Aku tak sanggup lagi berlari, seluruh tubuhku lemas dan tak lagi bertenaga. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seberat tarikan napasku yang kian melemah.

Aku mengumpati kakakku, Martin, yang mendadak mengajakku berkemah di hutan dan malah meninggalkanku menunggu tenda sendirian—dengan alibi mencari tambahan kayu bakar karena dia memang seceroboh itu sampai kurang persiapan. Kami mungkin jarang akur dan sulit berada dalam satu pendapat yang sama. Aku bahkan yakin dia akan senang sekali jika saja sakit parahku sewaktu masih bayi tidak tertolong sehingga dia akan menjadi satu-satunya putra ibu (yang omong-omong tidak akan mengubah apa pun karena ibu hanya mencintainya).

Loyth: The Lost ErzsebetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang