Aku kembali masuk ke dalam kamar dan berusaha untuk mengabaikan lelaki asing yang masih saja menunggu di depan rumahku.
Aku mengintip dari jendela kamar, dan lelaki itu kini tengah berdiri di depan mobilnya sambil bersandar. Ia mengotak-atik ponsel, kemudian menempelkan ponsel di telinga seolah sedang menghubungi seseorang.
Apa jangan-jangan, dia penguntit, perampok, atau pedagang anak perawan? Pikiranku terus berkecamuk dengan jantung yang berdetak tak karuan di dada.
Ketika aku hendak menghubungi Papa, lelaki itu akhirnya pergi bersama mobilnya melesat meninggalkan rumahku.
Huft!
Aku menyentuh dada, merasa lega.
***
Selesai mandi dan mengganti pakaianku menggunakan kaus dan celana pendek, aku segera keluar kamar dan menghampiri Mama dan Papa yang sudah pulang dari pasar.
"Ayla, sini...." Mama melambai saat melihat sosokku berdiri di dapur.
Aku melangkah mendekati orangtuaku yang sudah duduk di ruang makan. Aku mencomot salah satu gorengan yang ada di meja makan.
"Selamat ulang tahun anak bungsku yang paling keras kepala!" Seru Mama sambil menyodorkan sebuah kue ulang tahun di atas meja.
Aku tersenyum haru. "Makasih banya ya, Ma."
"Ini kado ulangtahun dari Mama dan Papa." Mama memberikan sebuah kotak yang telah dibungkus kertas kado.
Aku segera membuka isi kado tersebut.
"Omg!" Aku menatap Mama dan Papa bergantian. Sebuah tiket konser festival music di Bandung. Jujur, menurut aku ini kado paling spesial dari Mama dan Papa.
Karena Papa itu memiliki sifat yang sama keras-nya denganku, dia melarangku untuk pergi keluar kota sendirian dan nonton konser sampai malam. Yah, karena aku memang jarang diberi izin keluar malam.
"Makasih banyak, Ma, makasih banyak, Pa." Aku memeluk Mama dan Papa bergantian.
"Harus semakin semangat ngerjain skripsinya," ujar Papa lebih ke menyindir.
Aku memonyongkan bibir. "Iya-iya. Tapi, aku boleh nggak minta hadiah lagi?"
"Apa itu?"
"Em...." Aku menelan ludah, dan merasa takut untuk mengatakan hal ini kepada Papa. "Ini, kan, hari ulangtahunku. Jadi, temen-temenku mau bikin acara ulangtahun nanti malam. Aku boleh pergi ya, Pa."
"Nggak boleh," kata Papa cepat.
"Kenapa? Ini kan, hari ulangtahunku, Pa."
"Tetap tidak boleh," kata Papa lagi.
Aku mengerang kesal.
"Oh iya, Kenapa tadi kamu tidak mempersilakan Arsen untuk masuk ke dalam rumah kita?"
Dahiku berkerut, berusaha mengingat nama Arsen yang terasa begitu familier. Arsen, Arsen, Arsen, Arsen, Oh si Mas-Mas yang tadi pagi kerumah itu ya?
"Pa, Ayla aja nggak kenal sama dia. Dan Ayla nggak mau ambil risiko untuk masukin orang asing ke dalam rumah kita."
"Tapi, Ay. Arsen itu tamu kita yang sangat penting, tamu penting kamu juga. Masa sih, kamu nggak ingat sama si Arsen?"
"Memangnya dia sepenting apa sampai aku harus mengingat dia?" Aku mengerucutkan bibir sebal.
"Hmm ...." Papa menggaruk dagu. "Yasudahlah kalau kamu tidak ingat. Nanti kamu juga akan kenal sama Arsen, karena besok dia akan datang ke rumah kita. Jadi tolong bersikap baiklah dengan dia, mengerti?"

YOU ARE READING
The Perfect Husband (Sudah Terbit)
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA. "Sudah berapa banyak dosa yang aku tanggung karena sikapmu, Ayla?" -Arsen Wafi Haliim - ********* Dia baik hati, lemah lembut, sopan, sabar, penyayang dan rajin beribadah. Sangat tidak cocok jika disandingkan dengan wan...