7. Alasan Yang Menjadi Kekacauan

130K 5.1K 54
                                    

Pagi hari, aku bergabung di ruang makan bersama keluargaku sambil membawa beberapa barang yang akan kubawa untuk berangkat ke Bandung karena hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu.

Yaitu, menonton festival music di Bandung sendirian tanpa gangguan siapapun. Untung-untung, aku bisa refreshing dan menghilangkan kekesalanku karena habis putus dari Ando si brengsek.

Ditambah lagi, aku sudah berhasil membuat Arsen membatalkan perjodohan kami. Meskipun alasan yang aku gunakan terbilang sangat ekstrem, tapi apa boleh buat jika waktunya sudah the master of kepepet.

Maaf saja, seumur-umur aku hanya ingin menikah dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati, bukan dengan laki-laki asing Bangkot tua sejenis Arsen. Meskipun dari segi fisik Arsen memiliki bentuk badan proposional dan wajah tampan. Tapi kalau aku tidak mencintainya, bagaimana? Omong kosong dengan istilah "Cinta bisa datang kapan saja seiring berjalannya waktu."

"Kamu kenapa, Ay? Dari tadi Mama perhatiin senyam-senyum sendiri." Mama mengerutkan dahinya, menatapku curiga.

Aku mengambil sehelai roti dan mengolesnya dengan selai kacang. "Nggak apa-apa, Ma." jeda sejenak, sepertinya aku harus memberitahu kabar bahagia ini kepada orangtuaku. "Oh iya Ma, Pa. kemarin Ayla ketemu sama Arsen."

"Benarkah? Terus kalian sempat ngedate?" Papa melipat koran dan mencondongkan wajah. Garis bibir Papa melengkung sempurna, seolah berita ini begitu membahagiakan dan tidak boleh dilewatkan.

"Jadi, Arsen bilang kalau dia akan membatalkan perjodohan ini."

Respon Mama terbatuk dan tersedak, buru-buru Mama mengambil air mineral dan meneguknya hingga habis.

"Benar Arsen bilang begitu?" tanya Papa seraya memastikan

Aku mengangguk mantap. "Yap. Arsen itu udah ilfeel duluan, akibat Ayla muntahin dia waktu itu."

"Masa, sih?" Papa masih tidak percaya, kini beliau menggaruk dagunya sembari memutar bola mata. "Tapi kenapa Arsen justru bilang sebaliknya dengan Papa dan Mama?"

"Tau deh." Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. "Lagi pula, nggak masalah kok, kalau Ayla nggak jadi nikah sama Arsen. Toh, masih banyak laki-laki di dunia ini yang lebih segala-galanya dari dia."

"Ayla sayang, Mama dan Papa tidak mungkin menjodohkan kamu dengan orang yang tidak baik. Jadi menurut kami, Arsen itu udah laki-laki paling perfect untuk menjadi suami yang bisa bimbing kamu ke surga." Mama membela Arsen, masih bersikukuh ingin menjodohkan aku dengan Bangkot tua itu.

"Oh. Maksud Mama, Ayla bakalan masuk neraka gitu? Kalau nikah sama Arsen, baru deh Ayla masuk surga. Menurut pelajaran agama yang selama ini Ayla telateni sejak SD, masuk surga dan neraka itu tergantung amal ibadah yang kita lakoni di dunia. Bukan tergantung dengan si Bangkot tua itu." ​

Papa berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Ayla ... Ayla. Berhenti manggil Arsen dengan bangkot tua, nggak baik."

"Lah, dia itu emang Bangkot, jelek, idih berbulu lagi!"

Mendengar ejekanku, lantas Mama langsung tertawa hampir terbahak-bahak hingga tersedak. Kemudian menutup mulutnya rapat-rapat saat mengerling pada Papa.

"Eh, Nak Arsen sudah datang."

Kini giliran aku yang tersedak. Seluruh air yang nyaris masuk ke dalam tenggorokanku langsung ke luar begitu saja dan muncrat sampai membasahi lantai. Aduh Ay, kenapa kamu berubah jadi jorok begini sih.

Arsen, yang telah duduk di kursi sebelahku hanya menggelengkan kepala heran. "Pagi Om, Tante," sapanya ramah. "Pagi Ayla, Are you oke?" ia menatap wajahku dengan pandangan mencemooh.

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Sangat baik sebelum kamu hadir dan mengacaukan segalanya. Sungutku jengkel sembari menyeka mulut dengan serbet.

"Kamu sudah sarapan, Sen? Ayo dimakan dulu." Mama menunjukan sikap perhatiannya.

Arsen mengangguk, lagi-lagi mengeluarkan senyuman menyebalkan yang paling aku benci. "Sudah Tante."

Hilang sudah selera makanku. Aku langsung mengeser piring menjauh dari hadapanku dan menyilangkan tangan di dada.

"Kamu ngapain ada di sini pagi-pagi sekali?" tanyaki sengit.

"Bukankah kamu akan pergi nonton festival music di Banung?" Aren menunjukkan sebuah tiket konser.

Aku melotot dan merampas tiket milik Arsen.

"Kamu dapet tiket ini dari mana?"

"Papa yang beli untuk Arsen, Ay. Kemarin, Papa beli dua. Satu untuk kaso ulangtahunmu, satu lagi untuk Arsen agar bisa menemani kamu di Bandung."

"Apa?" Ayla mengernyit hebat. "Papa ngebiarin aku pergi dengan laki-laki asing ini?"

"Papa lebih mempercayai Arsen dark siapapun. Lagipula, Arsen akan menjagamu."

Aku memukul meja kesal. "Nggak, Pa. Aku mggak mau pergi dengan dia. Aku bisa bawa mobil sendiri."

"Ayla anakku, mobil kamu itu sudah kami jual. Jadi otomatis hidup dan mati kamu untuk pergi kemana-mana bergantung pada Arsen."

"Apa?" aku menjerit tidak percaya, "kenapa Papa jual mobil Ayla?"

"Papa kehabisan biaya buat bayar uang kuliah kamu yang tidak tamat-tamat, jadi lebih baik Papa jual saja mobilnya untuk membiayai kuliah kamu." Aku yakin kalau Papa hanya bercanda demi membuatku bisa dekat-dekatan dengan Arsen!

"Tapi Papa nggak berhak jual mobil kesayangan Ayla!"

"Tentu saja Papa punya hak, karena mobil itu dibeli dengan uang hasil keringat Papa sendiri."

Suara erangan kesal meluncur dari mulutku. Api menari-nari di mataku ketika menatap wajah menyebalkan Arsen alias Bangkot.

"Oke, Ayla akan buktiin ke Papa dan Mama kalau Ayla bisa beli mobil dengan hasil jeri paya sendiri!" dengan kesal, aku mulai bangkit dari kursi.

"Oke silakan anakku. Tapi daripada kamu memikirkan beli mobil, lebih baik kamu pikirkan wisuda kamu dulu."

Tanpa sengaja kedua tanganku terkepal geram. Papa pasti sengaja mengatakan hal itu di hadapan Arsen untuk membuatku malu. Sekarang, Arsen dan keluargaku sudah resmi bersekongkol.

***

Garasi kosong melompong. Itulah kenyataan pahit yang harus aku terima karena mobilku benar-benar sudah dijual oleh Papa. Akibatnya, mau tidak mau aku harus berada satu mobil dengan Arsen menuju Bandung!

Kalau bukan karena waktu yang sudah mendesak, demi langit dan bumi aku tidak akan sudi diantar oleh si Bangkot tua ini.

Keheningan terasa begitu kentara selama di perjalanan. Hanya ada suara John Legend yang mengalun di stereo mobil Arsen. Aku hampir takjub mendengar selera musik Arsen, aku pikir dia hanya menyukai musik era jaman dahulu seperti Ebit G. Ade atau Nicky Astria. Ternyata benar-benar diluar ekspektasiku.

"Bukannya kamu mau ngebatalin perjodohan ini?" aku membuka suara.

Arsen segera mengecilkan volume musiknya dan menjawab pertanyaanku dengan santai. "Siapa yang bilang?"

Nada Arsen terdengar santai, membuatku jengah. "Kamu sendiri udah tau kan, gimana sikap aku? Kamu tau gimana pergaulan aku yang bebas dan kamu juga tau kalau aku udah nggak virgin lagi. Terus kenapa kamu masih mau menikah sama aku?"

"Karena kamu orang yang jujur," balas Arsen singkat.

"Maksudnya?"

Arsen menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Jarang-jarang saya bertemu dengan wanita yang mau mengakui keburukannya, apalagi berani jujur tentang keperawanannya. Jadi saya akan menerima segala kekurangan kamu, Ay."

Mendengar penjelasan Arsen yang tidak masuk akal, lantas aku jadi terperanjat kaget.

Bagaimana bisa Arsen menganggap semua pernyataanku sebagai angin lalu?

Menit-menit berikutnya hanya ada keheningan.

Bayangkan saja, aku akan bersama si membosankan ini selama beberap jam kedepan.

The Perfect Husband (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now