Hari 27

3.3K 235 1
                                    

Natt mengajakku ke suatu tempat.
Dia membawaku dengan mobil temannya lagi. Kali ini bukan Kota Rotorua, melainkan sebuah gedung terluas di sisi Camdeen Street yang panjang. Aku belum pernah menginjak kaki sekalipun disana, tempat itu adalah-yang kutahu-adalah rumah sakit terbesar, termewah, dan berfasilitas terlengkap.

"Untuk apa-"

"Melakukannya untukku, sekali saja.. yah?" Natt menunjukkan mimik memohon. Wajah polos dengan semu merah di pipinya, membuatnya terlihat menggemaskan dan hatiku ciut. Sehingga setiap orang yang diberi permohonan olehnya langsung terhipnotis dan memberikan apapun yang dia minta.

"Melakukan apa?" tanyaku.

"Konsultasilah pada Miss Hannah," katanya. "Semua masalahmu dan emosimu yang mendorongmu melakukan hal-hal negatif, ceritakan padanya!"

"Aku bahkan tidak pernah menceritakan apapun pada Beth."

"Ini tentang kesehatanmu juga".

"Jadi kau menyadari apa sakitku? Kalau begitu tinggalkan aku!"

"Em, dengarankan aku.. Aku mempedulikanmu. Aku mencintaimu. Aku tidak ingin kamu terus menyakiti dirimu sendiri. Kamu mempunyai sisi malaikat yang tidak kamu sadari, jadi kamu menganggap dirimu sendiri seorang iblis. Hanya diam dan duduk di tempat kelam bukanlah penyelesaian dari semua ini. Jadi.. aku mohon!"

"Kau percaya psikiater?" mataku mulai berkaca-kaca.

"Mereka akan membantu.."

"Aku takut."

"Aku akan menemanimu.. selalu.."

***
Natt menggenggam tanganku erat, masuk ke dalam hiruk-pikuk lobi Wellington Medical Center. Semakin jauh kami meninggalkan pintu masuk, semakin kencang peganganku pada tangannya. Aku begitu asing di tempat ini-atau lebih tepatnya tidak menyukainya.

"Tenang saja, psikiater ini temanku," kata Natt setengah berbisik.

"Semua orang temanmu, ya?" tanyaku heran.

Dia hanya tersenyum, lalu menarikku mendekati lift. "Kita bisa mendaftar di lantai lima, disitu letak Dapartemen Psikologis," Natt memeriksa jam tangannya. Sepertinya dia sedikit was-was tentang waktu.

"Ada janji?" aku menelusur matanya.

Dia menggeleng, "Tidak."

"Oh! Nathan, kau kembali?!" seseorang pria berjas dokter menghampiri kami dengan bersemangat. Pria itu tambun dan berjanggut keperakkan, sorot matanya begitu jenaka, dan senyumnya begitu lebar.

"Ah, hai!" terlukis senyum paksa di wajah Natt. Aku hanya mengerutkan dahi sebagai reaksi.

"Wah, jadi kau-"

Natt membungkam mulutnya. Astaga! Dia melakukan hal buruk pada pria tua! .

"Dia temanku! Jangan berbicara aneh-aneh, please" bisik Natt padanya, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Lalu dia membuka bungkamannya, pria itu bernapas lega dengan sikap jengkel. "Ugh," dia berdeham, Natt memberikan isyarat dengan matanya yang tidak kumengerti apa artinya. Sepertinya mereka telah kenal dekat.

Semakin mengenal Natt, aku semakin yakin bahwa pria ini memiliki kemampuan sosial tinggi. Walaupun dia mengejar ketertinggalan ekonominya dengan bekerja paruh waktu, dia terlihat dikenal banyak orang sekitar. Bahkan dokter rumah sakit mewah ini mengenalnya. Aku kagum.

"Aku Dr. James Hakock dari Dapartemen Radioterapi," Dokter James memperkenalkan diri dengan suara beratnya yang ramah.

"Emma Cleary," aku tersenyum sambil sedikit melirik Natt. Suasana menjadi canggung.

"Bagaimana bisa ada gadis secantik ini? Mata biru, alis tegas, dan bibir tipis merah muda.. Wah! Pantas saja Nathan jatuh hati!" pria itu tertawa dengan bahu naik turun.

"Kau harus selalu ingat umurmu, Pak Tua!" Natt menjulurkan lidahnya, dan menarikku masuk ke dalam lift yang terbuka.

"HEI! DASAR ANAK NAKAL!"

***

"Dia lucu bukan?" bisik Natt cekikikan.

Aku mengangkat bahu, "Bagaimana kalian bisa berkenalan?"

Natt tersenyum miring, "Siapapun ingin mengenal Natt yang tampan ini bukan?". Aku memutar bola mata mendengar gurauannya.

"Ngomong-ngomong.." dia menggigit bibirnya, berdeham ragu.

"Apa?" aku melihat matanya yang kosong sesaat.

"Kau selalu berobat ke rumah sakit itu?" katanya dengan nada gugup.

"Rumah sakit? Tempat aku di rawat kemarin?"

Dia mengangguk.

Aku mendesah sambil tertawa mengejek, "Kau pikir aku sanggup membayar dokter di rumah sakit sebesar ini?"

***
"Dia temanku," sekali lagi Natt memperkenalkan diriku sebagai temannya. Entah kenapa perasaan ganjil menyeruak hatiku karena ucapannya.

"Tapi kami sudah pernah ke Rotorua berdua," bisiknya pada Miss. Hannah. Aku memukul pantatnya.

"Aw!" pikiknya. "Astaga! Belum saja kau konsultasi tapi sikap anehmu muncul. Ternyata ruang psikiater lebih mistis dari yang kuduga!"

"Apa-apaan?" aku mendengus kesal, bersamaan dengan Miss. Hannah yang menampakkan wajah tak setuju.

"Kau mesum, Emma!" Natt cemberut. Aku menggeram kesal..

"Sudah-sudah! kau ini selalu hiperaktif, Natt," Miss. Hannah mempersilahkan kami duduk dengan tangannya. Natt tersenyum nakal.

"Senang bertemu denganmu, nona Emma," kata Miss Hannah.

"Emma saja," kataku.

"Oke, Emma. Aku Dokter Hannah, yang bekerja sebagai psikiater utama di Wellington Medical Center. Kau pasti mengalami sesuatu yang sangat serius bukan?" Miss Hannah berbicara dengan nada yang tenang dan ramah. Caranya menguratakan kata-kata hampir mirip Natt.

Aku menoleh ke arah Natt sambil mengangkat alis. Kau membawaku ke dokter utama? Bagaimana cara aku membayarnya?, batinku-berharap Natt bisa mendengarnya lewat ekspresiku yang tertekan.

"Tenang saja, aku bilang dia temanku," bisiknya yakin. Aku menghela napas.

"Keberadaanmu mungkin membuat suasana kurang nyaman. Emma jadi tidak leluasa, Natt. Bisa kau keluar sebentar?" kata Miss Hannah.

Natt mengangguk dan berdiri, "Siap, Bibi Manis!". Aku tercengang melihat tingkah Natt yang lagi-lagi tidak sopan, apalagi Dr. Hannah dan Dr. James tadi adalah seorang dokter.

"Dasar kamu!" geram Miss Hannah. Dia berjalan santai keluar dengan langkah mundur. Natt memasang ekspresi Semangat, Emma! Kau pasti bisa! sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu.

"Emma Cleary.." Miss Hannah mencatat namaku di sebuah lembar kertas pasien. "Apa gejala psikis yang kau khawatirkan pada dirimu?"

"Bunuh diri," jawabku singkat.

Miss Hannah memiringkan kepalanya, menunjukkan ketertarikan kasusku. "Selain itu?" dia kembali mencatat.

"Tidak mempercayai siapapun," jawabku.

"Sejak kapan kondisimu ini muncul?"

"Sejak seluruh keluargaku mati." Dia terus mencatat.

"Lalu?" suara Miss Hannah melembut, dia tersenyum manis padaku. Berusaha membuatku tetap menjawab pertanyaannya dengan santai.

"Me-" dadaku sesak. Mendadak saja aku ingin menangis. Sial, aku selalu menangis dan gila setiap mengingat kejadian itu. Kejadian yang menjadi sumber ketidakwarasanku sebagai manusia.

"Tenanglah, kalau kau belum sanggup mengungkapkannya.. kita bisa beralih topik," Miss Hannah menggapai tanganku dan membelainya lembut.

"Mereka dibunuh," aku bersikeras pada topik itu. Topik yang mencuri kehidupanku dan menghantarkanku pada neraka jiwa.

"Oleh pamanku sendiri".

DAYS WITH YOU | √Where stories live. Discover now