Hari 201

2.6K 183 6
                                    

Natt mengajakku ke suatu tempat. Katanya sangat indah, dan mungkin akan menjadi kenangan yang terindah juga.

"Hai," aku mendapati Natt di depan kamarku, tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Natt, kau tidak kuliah?" tanyaku heran.

Ia menggeleng, "Aku belum benar-benar pulih kan, jadi aku mengambil hari-hari tertentu dalam seminggu untuk kuliah.."

"Dan kau tidak beristirahat di rumah?" Aku berdecak pinggang.

"Di rumah tidak ada siapapun. Will sekolah, Mom dan Dad bekerja-"

"Aku juga mau kerja, Natt. Ditambah lagi menghadap atasan karena insiden kemarin," aku menolak.

Natt mengambil ponselnya, mengetik sesaat, lalu menyerahkannya padaku.

"Natt!" Aku tercengang melihat layar ponselnya. Tampak pembicaraan Natt dengan pemilik Plein D'Amour tentang masalah semalam lewat SMS.

"Sudah beres, lengkap dengan izin absenmu hari ini sampai hari natal," Natt merampas kembali ponselnya. Aku hanya bisa diam kebingungan.

"Kita akan pergi ke suatu tempat. Pakai ini, ya!" Natt memberiku sebuah tas kertas yang cantik.

"Apa ini?"

"Baju hangat, di luar sudah mulai bersalju.." ia tersenyum.

"Benarkahh??!!" seruku kaget. Aku segera berlari menuju jendela. Benar, bahkan jendela telah berembun. Aku mengusapnya, dan memandang jauh keluar. Butir-butir putih lembut berjatuhan di sepanjang jalan. Pohon-pohon terlihat kedinginan, hijau rumput rumput pekarangan mulai memudar.

Aku sangat menyukai salju. Setiap akhir tahun, pasti ada hari dimana aku dan Beth bermain salju yang menutupi pekarangan rumah. Tapi sejak ia menjadi mahasiswi yang sibuknya semakin tak terelakkan, aku tak berharap akan bermain salju dengannya lagi.

"Jangan terpesona seperti tidak pernah melihat salju begitu, Em. Cepat mandi dan ganti baju. Silvestre sudah menunggu diluar.."

Aku keluar dari kamar dengan langkah ragu. Baju hangat pemberian Natt sangat cantik. Menurutku, terlalu bagus untuk kupakai.

"Beautiful.." Silvestre yang sedang berdiri dekat jendela memandangku dengan tatapan kagum.

Aku sedikit menunduk, ini terlalu bagus untukku. Berbahan wol lembut dengan warna soft blue manis.

Natt memakai jas hangatnya sendiri sambil menyeringai padaku, "Emma Cleary milikku"

***

"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil memperbaiki posisi duduk di samping Natt. Silvestre telah menginjak gas meninggalkan rumahku, membawa kami entah kemana.

"Suatu tempat. Coba tebak?" Natt mengambil remote dan menyalakan radio.

"Tempat yang jauh," sahutku. "Karena kau meminta Silvestre untuk menyetir."

Natt tertawa, diikuti tawa parau Silvestre. "Pintar sekali," ucap pria itu.

"Tapi tempat apa??" Aku mendesaknya.

"Lihat saja nanti," ia mengangkat bahu.

Perjalanan telah kemakan waktu lebih dari satu jam. Aku mulai menebak-nebak alur jalan mobil hitam ini. Mungkin ke Hamilton? Manawatu? Wairarapa?...
Silvestre memutar ke arah jalan yang tidak kukenali. Mungkin semacam jalan alternatif.
Sepanjang perjalanan, aku tidak banyak bicara. Silvestre tampak menikmati musik klasik tahun 80an dari radio. Natt telah jatuh di bawah alam sadarnya, kepalanya bersandar pada bahuku, tangan kirinya memegang tangan kananku, dan matanya terpejam rapat. Ia terlihat lelah.

DAYS WITH YOU | √Where stories live. Discover now