1

11.5K 701 3
                                    

"Kau merindukanku?"

Aku menolehkan kepalaku kebelakang begitu mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku. Ia berdiri disana, dibelakangku. Ia bahkan masih memakai jas yang lengkap dengan dasinya. Ia menaikkan sebelah alisnya, dan dengan perlahan sebuah seringai menghiasi wajahnya yang indah.

"Justin?" Gumamku.

Dengan perlahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya, lalu berdiri di depannya. Aku menatap kedua mata coklatnya secara bergantian, lalu bibirnya yang berwarna kemerahan, kemudian wajahnya yang rupawan.

"Aku sangat merindukanmu," Ucapku sembari menempatkan telapak tanganku di dadanya.

Ia tersenyum lalu meraup wajahku dengan kedua tangannya. Ia menciumku selama beberapa menit sebelum membawaku kedalam pelukan hangatnya.

"Aku juga merindukanmu, Alexis."

Aku semakin membenamkan kepalaku pada lehernya, sembari menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Aku bisa mencium bau parfum wanita itu yang menempel di tubuhnya.

"Kurasa kau harus pergi mandi," Gumamku, setelah ia melepaskan pelukannya.

Ia mulai menciumi bau tubuhnya sendiri. "Apa aku bau?" Tanyanya.

Tidak, tapi aku bisa mencium bau wanita itu di tubuhmu dan aku sangat membenci itu.

Aku tertawa kecil. "Tidak, tapi lihatlah, kau penuh dengan keringat."

Ia menyeka dahinya yang berkeringat dengan telapak tangannya. "Oh,"

Ia mulai membuka dasinya. Aku membantunya melepaskan dasi itu yang melingkar di lehernya. Ia melingkarkan lengannya di pinggangku sembari membawa tubuhku agar semakin dekat padanya.

"Kau ingin menemaniku mandi?"

Aku menarik lepas dasinya dengan perlahan. "Terima kasih untuk tawarannya, tapi tidak."

Ia meremas pinggangku perlahan. "Kau menolak tawaranku?"

"Pertama, aku sudah mandi. Kedua, kau belum makan bukan? Jadi aku akan mempersiapkan makan malam untukmu."

"Oh, baiklah." Gumamnya, yang terdengar tidak senang karena aku menolak tawarannya.

Aku langsung berjalan menuju dapur untuk memasakkan makanan kesukaannya. Spaghetti. Ia sangat menyukai spaghetti.

Kedatangan Justin yang secara tiba-tiba di apartemenku membuatku terkejut—sebenarnya, tidak. Maksudku, ia sering menginap di apartemenku saat akhir pekan. Namun biasanya ia selalu memberitahuku terlebih dahulu. Entah itu melalui pesan singkat atau telepon. Dan hari ini ia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku. Tapi aku menyukai kejutannya.

"Aku mencium bau makanan kesukaanku,"

Aku kembali tersadar dari lamunanku begitu mendengar suara Justin. Ia melangkah masuk kedalam dapur dengan sebuah senyuman di wajahnya. Ia memakai kaus putih polos dengan celana yang berwarna senada.

"Makananmu sebentar lagi sudah siap. Kau bisa menunggu di meja makan jika kau mau."

Ia mengangguk lalu keluar dari dapur.

Aku mengambil piring putih dan sebuah garpu lalu menaruh spaghettinya diatas piring sebelum menuangkan sausnya diatasnya. Aku mematikan kompornya terlebih dahulu sebelum keluar dari dapur untuk menemui Justin.

"Makananmu sudah siap," Aku menaruh piringnya di hadapannya. Aku menarik kursi yang bersebrangan dengannya lalu menjatuhkan bokongku diatasnya.

Ia mulai memakan makanannya dengan perlahan. Tak berapa lama handphone miliknya berdering. Ia menatap layar handphonenya beberapa saat sebelum mengangkatnya.

"Brianna?"

Oh, tidak. Wanita itu lagi. Aku tak mau mendengar ini.

Aku mendorong kursiku kebelakang. Aku tak mau mendengar percakapan antara Justin dan wanita itu, jadi aku lebih memilih untuk duduk kembali di ruang tengah menonton acara tv kesukaanku. Aku tak suka mendengar nama wanita itu.

"Alexis?" Gumam Justin yang tiba-tiba duduk disampingku. "Apa kau marah padaku?"

"Tidak,"

Justin semakin mendekatkan tubuhnya padaku. "Brianna baru saja meneleponku,"

Aku mengangguk. "Aku tahu,"

"Ia bilang ia akan pergi ke London malam ini. Dan ia akan berada di London untuk beberapa hari,"

Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan. "Oh, itu bagus."

Justin mengambil remote tv dengan paksa dari tanganku. Ia mematikan tv-nya begitu saja. Aku menolehkan kepalaku padanya sembari memberinya tatapan apa-yang-kau-lakukan

"Itu berarti kita bisa bersama-sama selama ia pergi," Gumamnya. "Dengar, aku tahu kau cemburu ketika ak—"

Aku memutus omongannya. "Aku tidak cemburu,"

"Kau tidak bisa menyembunyikan apapun dariku," Ucapnya. "Aku tahu jika kau tak suka mendengar namanya bukan?"

"Bisakah kita tak membahasnya?" Ucapku. Aku mulai merasa kesal karena aku tak ingin membicarakan wanita itu.

Ia mencium pundak dan belakang telingaku. "Aku minta maaf."

Kemudian hening. Aku bisa merasakan napasnya yang mengenai belakang leherku.

"Kau ingin pergi tidur?" Tanyanya, setelah keheningan yang cukup lama.

"Ya,"

Kami beranjak dari sofa dengan tangannya yang menggenggam lembut tanganku, membawaku kedalam kamar. Aku langsung menjatuhkan tubuhku diatas kasur.
Justin, seperti biasa, ia membuka kausnya lalu meninggalkannya diatas lantai begitu saja. Ia selalu tidur tanpa menggunakan kaus.

Jemariku dengan perlahan menyentuh tato yang menghiasi tangannya. Aku menyukai setiap tato yang berada di tubuhnya karena menurutnya, setiap tato yang berada di tubuhnya memiliki arti tersendiri.

"Apa kau menginginkan sebuah tato?" Tanyanya.

"Aku selalu menginginkan sebuah tato," Gumamku. "Tapi kau tahu, itu menyakitkan."

Ia terkekeh pelan. "Kemarilah," Gumamnya, yang menyuruhku agar lebih mendekat ke tubuhnya. Ia sangat hangat.

Ia menautkan jemarinya dengan jemariku dan tak berkata apapun selama beberapa menit. Mataku semakin lama semakin memberat.
Aku menempatkan kepalaku pada dadanya, mendengarkan setiap detak jantungnya yang semakin membawaku ke alam tidurku.

"Aku mencintaimu, Justin."

Ia semakin memelukku erat. "Aku juga mencintaimu Alexis."

Lie About Us | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang