Kita Bertemu Kembali

660 99 43
                                    

Kamu duduk di tempat tidurmu dengan bersandar pada tumpukan bantal tinggi yang menopang punggungmu. Matamu terpejam dan napasmu tenang. Kamu biarkan sinar matahari pagi masuk melalui jendela menerangi kamarmu, membuat keriput ditanganmu terlihat semakin jelas.

"Hai." Sebuah suara bergema di kamarmu.

Kamu membuka matamu perlahan dan melihat seorang pria berpakaian kemeja dan celana panjang berwarna putih. Hanya sebuah dasi berwarna merah yang memberikan warna pada pakaiannya. Kamu tersenyum sementara dia duduk di kursi samping tempat tidurmu.

"Halo," ucapmu pada pria dengan dandanan rapi tersebut.

Dia membalas tersenyum. "Akhirnya kita bertemu lagi."

"Ya," balasmu juga tersenyum, "sudah berapa lama?"

"Sudah empat puluh lima tahun sejak saat itu."

Kamu tertawa pelan. "Lama juga. Kamu tidak berubah banyak."

Pria itu tersenyum memandangmu dengan mata coklatnya. "Tapi kamu sudah berubah."

"Ya, karena aku bertemu denganmu." Matamu memandang ke kejauhan, menembus pria dihadapanmu.

"Aku lihat kamu sudah membangun keluarga yang baik."

"Seorang suami, tiga orang anak, enam orang cucu dan dua orang cicit." Kamu menyebutkan satu per satu dari mereka dengan sedikit susah payah. Kamu terbatuk sebelum melanjutkan, "mereka adalah hal terbaik yang pernah aku dapatkan."

"Dimana keluargamu sekarang?" tanya si Pria sambil menatap sekeliling ruangan yang kosong.

"Cicitku yang pertama berulang tahun." Kamu menjawab, menutup kembali matamu dan menarik napasmu dengan pendek-pendek. "Mereka semua pergi ke Disneyland setelah kupaksa agar mereka dapat bersenang-senang. Sudah terlalu lama mereka...." Kamu terbatuk lagi, sedikit lebih lama daripada sebelumnya. "Sudah terlalu lama mereka tidak bepergian karena mengkhawatirkanku."

Dia kembali tersenyum mendengar ceritamu. "Kamu semakin kepayahan."

"Ya...." Kamu menghela napas sekali lagi. "Penyakitku semakin parah. Dokter bilang aku harusnya sudah mati setahun yang lalu."

Kamu terbatuk, kali ini sangat parah hingga kamu kesulitan bernapas. Pria itu memandangimu, sorot matanya meredup.

"Jika kamu mau, aku bisa menolongmu sekarang."

Kamu memandang pria itu sambil terengah-engah. "Silahkan."

Pria itu membelalakkan matanya. "Tidak menunggu mereka kembali?"

Kamu menggeleng pelan. "Tidak."

"Baiklah." Pria itu mengulurkan tangannya kepadamu.

Kamu meraih tangan berwarna pucat tersebut dan pria itu membantumu turun dari tempat tidurmu. Dia lalu menuntunmu berjalan menjauh dari tempat tidur.

"Apa kamu tidak takut?"

Kamu menggeleng seraya tersenyum. "Aku tahu kamu yang akan menjemputku, untuk apa aku takut? Sebaliknya, aku justru merasa senang karena aku akhirnya bertemu denganmu lagi."

Dia membalas senyummu mendengar kata-kata itu. "Terima kasih sudah menungguku dengan sabar."

"Kali ini aku tidak akan terburu-buru," jawabmu mengikutinya berjalan menuju pintu kamarmu, "jadi, kita akan kemana?"

"Ke sebuah tempat yang indah dimana penyakitmu tak lagi bisa menggapaimu. Tempat dimana tidak ada air mata kesedihan." Dia berkata seraya membuka pintu kayu berwarna krem.

"Sebentar."

Kamu berhenti dan menoleh kebelakang, kamu melihat tubuh tuamu terbaring di atas tempat tidur seakan tertidur lelap. Sebuah senyum terukir di bibirmu yang keriput.

"Ayo," ajaknya dan kamu pun kembali menatap kedepan.

Kamu berjalan melewati pintu itu dan pintu itupun menutup dibelakangmu.



Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now