Mendekap Tantangan

247 24 0
                                    


Kang ingaran prawira sayektiYeku sira kang legawa ndhadhaNgakoni kaluputaneDatan dhemen nenutuhMarang pepadhaning dumadi

Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita melantunkan tembang macapat, lembut terbawa oleh angin sore. Intonasinya meliuk sempurna di antara gemerisik rerumputan dan cericit burung. Argi berlari hingga napasnya terngah-engah. Dia berhenti sejenak, menoleh kebelakang sambil mengumpulkan udara. Pemandangan sawah yang baru ditanami menyambutnya. Bocah itu tersenyum puas lalu berjalan pulang sambil ditemani langit kemerahan dengan mega menggulung di batas cakrawala. Anak berusia sepuluh tahun itu menggenggam batu-batu kali hasil perebutan bersama anak-anak desa di sungai sepanjang hari. Dia membawa pulang batu terbulat dan terlicin tanda bahwa dia adalah sang pemenang. Senyum penuh kebanggaan menghiasi wajah bulat berkulit sawo matang itu, tidak sabar berlari pulang.

Sing becik linabuhan

Kang ala katundhung Mung leladi karaharjanNora minger adhepe dening mas picisKukuh lir tugu waja

Lagu itu mengiringi langkah Argi menemukan sebuah rumah joglo berdiri di tengah perkarangan. Seorang perempuan setengah baya duduk di teras sedang menyanyi lagu jawa kuno sambil memilah beras dari gabah.

"Nenek!!!" seru anak itu seraya berlari mendekati perempuan yang sebagian rambutnya berangsur memutih. "Aku menang lawan anak sekampung!"

Kerutan samar di wajah yang sewarna dengan Argi itu menggeliat membentuk senyuman. Dibukanya lengan untuk menyambut tubuh kecil cucu semata wayangnya yang menghambur. Dalam sekejap, Argi terbenam dalam pelukan Nenek.

"Ini, Nek." Argi memamerkan batu kebanggannya. "Ini batu terlicin dan terbulat di seluruh desa!"

Sang Nenek mengelus rambut hitam Argi, tetap tersenyum mendengar cerita sang Cucu. "Terus gimana, Gi?"

"Iya, Nek! Argi menang melawan Anjar! Argi bisa melempar batu paling jauh dan memantul paling banyak!!!" Argi mengangkat tinggi batu itu. "Argi sudah latihan setiap hari supaya bisa ngalahin Anjar, Nek!"

Sang Nenek tersenyum namun kemudian matanya terantuk pada lebam di tangan Argi, tersamarkan oleh warna kulit. Di kaki juga ada bekas serupa. "Kenapa tangan dan kakimu, Gi?" Suara sang Nenek berubah khawatir. Alisnya berkerut ketika dia berdiri dan menggandeng tangan Argi, menuntunnya masuk ke ruang tamu.

Orang tua itu tergopoh-gopoh mengambil minyak gosok dan mengurut tangan Argi. Anak itu meringis ketika tangan keriput memijat bagian lukanya.

"Kena apa ini?" ulang Nenek.

Argi terdiam. Mulutnya terkatup rapat, membiarkan dekut burung menyela kesunyian. Neneknya membaca keheningan itu sebagai sebuah pertanda.

"Kamu berkelahi?"

Argi tetap diam. Mulutnya maju ke depan, menahan pengakuan.

Wanita itu menghela napas, berganti mengurut kaki Argi. Ketiadaan kata di antara mereka makin pekat dan menyiksa, setidaknya buat Argi. Dia meremas kaos putih yang dipakainya hingga kusut lalu dibukanya dan dirapikan hanya untuk kembali diremas. Sang Nenek tetap tidak berkata apapun ketika dia selesai mengurut dan kembali ke kamar untuk meletakkan minyak gosok. Argi mengekor di belakangnya.

Begitu sampai di ruangan yang berisi kasur dan sebuah lemari sederhana, sang Nenek meletakkan minyak di atas meja kayu sebelum berbalik menghadap Argi. Dia berlutut di depan bocah itu dan memandang sejajar ke matanya.

"Argi kenapa?" tanya perempuan itu meminta kejujuran.

Diam lagi.

Sang Nenek menarik napas, hendak berdiri.

"Argi bohong, Nek." Untaian kata itu keluar mengawali cerita. "Argi ga menang melawan Anjar. Argi kalah tapi Argi ga terima."

Anak itu terdiam sejenak. Air mata penyesalan menggumpal di sisi matanya.

"Argi pukul Anjar dan Argi ngambil batu punya Anjar. Kami berkelahi lalu Argi lari sekencang-kencangnya sambil bawa batunya Anjar."

Kesunyian kembali turun. Isak tangis Argi satu-satunya yang terdengar. Sang Nenek memandang cucunya sambil menghela napas sekali lagi.

"Apa Argi senang?" tanya orang tua itu.

Argi menggeleng dengan wajah basah.

"Argi tahu kalau Argi salah?"

Anak itu mengangguk.

"Argi mau minta maaf sama Anjar?"

Dia tidak menjawab. Matanya yang berair memandang ke arah wajah neneknya. Bahunya naik turun mengikuti isak tangis. Beberapa detik kemudian baru dia mengangguk pelan.

Sang Nenek tersenyum. "Nenek temani ke rumah Anjar ya?" ucap perempuan itu seraya berdiri dan menggandeng tangan Argi.

Bocah itu mengikutinya keluar rumah, menyebrangi halaman. Didengarnya sang Nenek kembali menyanyikan lagu yang sama.

Kang ingaran prawira sayekti

Yeku sira kang legawa ndhadhaNgakoni kaluputaneDatan dhemen nenutuhMarang pepadhaning dumadi

Hati bocah itu menjadi tenang, seakan ada nuansa magis dari lagu kuno itu atau dari suara Neneknya yang memberikan damai. Entahlah. Saat itu Argi tidak mengerti lagu apa yang sering dinyanyikan oleh sang Nenek. Kelak, dia akan tahu bahwa lagu itu berjudul Dhandanggula, sebuah tembang yang menjadi harapan bagi dirinya. Di masa depan, dia akan ingat setiap kali dia menghadapi tantangan dalam hidupnya, lagu itu yang menuntun langkahnya walau suara yang akrab itu telah pergi untuk selamanya.

Sing becik linabuhan

Kang ala katundhung Mung leladi karaharjanNora minger adhepe dening mas picisKukuh lir tugu waja

Perlahan, dia mendengarkan Neneknya bernyanyi dengan menggunakan bahasa yang dapar dimengertinya.

Yang disebut insan perwira sejatiIalah engkau yang memiliki kelapangan dadaUntuk mengakui kesalahannya sendiriTidak gemar melemparkan kesalahanKepada sesama makhlukKepada kebajikan ia setiaTerhadap keburukan ia tegas mengusirnyaMenjadi pelayan kedamaianTidak mengalihkan arah tujuan hidupnya pada kesia-siaan oleh karena bujuk rayu harta materiTeguh iman sekokoh tiang baja

Dan mereka pun berjalan di antara langit yang memerah dan rumput hijau....

#52WeeklyChallenge
#Week2
#RisingUpNewChallenge

Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now