Sepatu Kaca

312 29 3
                                    

Ini ketiga kalinya Dion melihat sang Pangeran menghela napas sambil memandangi sebuah kotak dari kaca transparan di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak-rak buku. Mata coklat yang biasanya dipenuhi semangat kini redup, terpaku pada sepatu di dalam kotak kaca. Jika dideskripsikan dalam satu kata, Dion akan memilih kata 'menyedihkan' untuk menggambarkan kondisi tuan yang sudah dilayaninya sejak dia belajar berjalan. Sang Pangeran bersiap menghela napas untuk ketiga kalinya ketika Dion memutuskan untuk menyela, persetan dengan protokol walaupun ada dua prajurit berjaga dekat pintu perpustakaan pribadi Pangeran

"Yang Mulia, sampai kapan anda akan memandangi benda itu?" Dion berjalan mendekati pemuda berusia dua puluh tahun tersebut.

"Dion!" Sang Pangeran baru saja menyadari bahwa Dion ada di sana, padahal sudah lebih dari sepuluh menit salah satu jendralnya itu menunggu.

Dion menahan emosi di ujung lidah dan menelannya kembali. Walaupun mereka sudah saling mengenal satu sama lain, dia tetaplah hanya seorang prajurit. "Masih memikirkan gadis itu?" tanya Dion, menekan nada sarkasme di suaranya.

James tersenyum, lesung pipi yang membuat para gadis di seantero negeri berteriak histeris, bertengger di sana. Sayang, Dion bukan seorang gadis dan orientasi seksualnya masih normal. "Ga ada cowok yang ga memikirkan gadis secantik dia, Dion. Senyumnya, tatapan matanya ... semuanya sempurna." James berkata, tatapannya kembali menerawang menembus langit-langit kastil yang tinggi. "Aku ingin bertemu dengannya lagi, Dion. Kamu harus membantuku."

"Yah, apakah anda tahu dia berasal dari mana? Latar belakang keluarganya? Namanya?" Dion mencecar James dengan sopan namun setiap pertanyaan itu menusuk tajam.

"Aku tidak tahu karena itu aku menugaskan-MU untuk mencari tahu." James berusaha membela diri. "Lagipula, kamu ahli dalam mencari tahu."

Dion masih berpikir pangerannya ini sangat naif, bertanya-tanya apakah pelajaran sejarah yang dia terima selama ini tidak memberitahunya bahwa banyak orang yang mengincar tahta dengan berbagai macam cara? Bagaimana kalau James ditipu? Dion menghela napas lelah, sudahlah.

"Jadi." James membuka kotak kaca itu dengan hati-hati, mengambil sepatu seakan benda itu bisa rusak bila salah pegang. "Tolong cari pemilik sepatu ini."

"Bagaimana bila saya tidak bersedia?" tanya Dion skeptis memandangi sepatu kaca yang terulur ke arahnya.

"Demi persahabatan kita?" James tersenyum manis seraya memohon.

Dion berani menjamin gadis-gadis akan terkapar bahagia melihat sahabatnya seperti itu. "Demi persahabatan," desahnya seraya menerima sepatu rapuh itu dari James. "Dari mana aku harus mencari? Apakah ada petunjuk?"

James tersenyum manis lagi membuat Dion merasakan firasat buruk.

"Sebenarnya apa saja yang kalian obrolkan semalam?" tanya Dion tidak percaya, menahan emosi dalam kata-katanya.

"Yah, begitulah...." James kembali menunjukkan senyum bodohnya dan itu membuat Dion kesal. Sahabatnya seperti kehilangan dirinya. "Kami berbicara banyak hal, Dion. Banyak hal...."

Dion kembali mendesah pasrah. "Bagaimana dengan ciri-ciri fisik?"

James kembali tersenyum bodoh. "Rambutnya pirang, bergelombang dan halus. Ketika aku menyentuhnya rasanya seperti menyentuh sutra...."

Dion berdehem kesal membuat James kembali fokus.

"Dia memiliki mata hijau yang berkilau bagai permata. Wajahnya cantik, sangat cantik, kamu pasti akan tahu begitu melihatnya...."

Dion terdiam setelah James memberikan deskripsi. Alisnya bertaut tanda dia tidak puas tapi dia memutuskan untuk diam. Rasanya akan jauh lebih cepat bila dia menggunakan keahliannya daripada meminta sang Pangeran bercerita.

Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang