Chapter 17

526 29 4
                                    

Sorry for typo(s)

Happy reading^^

***

                       Terik matahari yang masuk melalui celah tirai kamar membuatku terbangun. Ku regangkan lengan kekar Sean yang melingkar di pinggangku dengan perlahan agar dia tak terbangun.

Saat aku hendak bangun dari ranjang, Sean merengkuh pinggangku membuatku kembali terjatuh diatas ranjangnya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Ssh... sebentar saja Jess. Aku masih ingin tertidur 5 menit lagi saja sambil memelukmu." Jawabnya dengan suara berat dan serak khas bangun tidur yang malah terdengar sexy di telingaku. Aku menghela napas pelan, terdiam di pelukannya sambil menatap wajahnya yang tenang. Tidak ada sorot matanya yang tajam. Mataku menelusuri tiap inci dari wajahnya. Kuangkat tanganku untuk menyentuh rahang kokohnya. Menyusuri garis wajahnya, melewati hidung dan berhenti di bibirnya. Bibir itu, kuamati bibirnya yang merah sambil berusaha menghilangkan keinginanku untuk menciumnya.

Cup.

Tiba-tiba Sean memajukan wajahnya dan mengecupku secepat kilat. Setelah itu, dia malah membuka matanya sambil tersenyum miring. Aku terbengong, mengedipkan kedua kelopak mataku dua kali dan membelalakkan mataku. Saat aku baru akan membuka mulutku, Sean malah menaruh jari telunjuknya dji depan bibirku.

"Perbuatanmu malah membuatku terjaga. Aku tak bisa melanjutkan kegiatan tidurku yang singkat ini. Kau menghilangkan 5 menit waktu tidurku, Jess." Dia menyeringai dan mengacak-acak rambutku gemas. Kebiasaannya. Aku mengingatkan diriku sambil memutar kedua bola mataku. Sean bangkit dari tidurnya dan menyibak selimut yang menutupi tubuh kami.

"Mau mandi lebih dulu?" Dia menaikkan sebelah alisnya. Ku anggukkan kepalaku sambil berjalan kearah kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, aku berjalan ke tempat gantungan handuk dan kimono tapi tunggu-tunggu! Aku lupa membawa kimono tadi, aku harus bagaimana? Haruskah aku keluar tanpa mengenakan apapun? Aku... minta tolong dengan Sean?! Yang benar saja! Aku terdiam tanpa suara sambil berjalan mondar mandir.

Knock-knock

"Jess, kau didalam? Kau tak apa kan? Aku sudah tak mendengar suara shower dan kau tak kunjung keluar dari kamar mandi." Sean kembali mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali saat dia tak mendengar balasan apapun dariku. Bagaimana aku mengatakan padanya?

"Jess kau tak apa kan? Aku akan mendobrak pintunya jika kau tetap tidak menjawab" nada suaranya terdengar panik sekarang. Ku buka kunci pintu kamar mandi ini dan ku geser ke samping sedikit agar bisa memunculkan kepalaku kearah luar. Kulihat Sean bernapas lega sambil menatap cemas ke arahku.

"Apa terjadi sesuatu padamu? Kau lama sekali di dalam sana." Dia bertanya dengan nada khawatir. Aku gigit bibir dalamku untuk menghilangkan kegugupan.

"Apa yang kau lakukan disana? Kau tidak lapar? Keluargaku sudah mulai bersiap-siap untuk sarapan." Sean menatapku heran karena aku tetap berada dalam posisi yang sama, memunculkan kepalaku keluar kamar mandi. Bagaimana aku mengatakannya?

"Egh, Sean, bisakah kau-- mengambilkan kimono untukku?" Hening. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Dan, "hahahahaha! YaTuhan Jess, YaTuhan." Benarkan dugaanku? Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Wajahnya memerah karena menahan tawa, bukan-sekarang bukan memerah karena menahan tawanya. Tapi sekarang memerah lantaran dia tertawa geli. Kupandangi dia dengan jengah sambil menghitung waktu di dalam hati. Dia kembali memandangku, berdehem keras dan berusaha terlihat serius. Tapi usahanya gagal karena dia kembali tertawa sambil berjalan kearah lemarinya, mengambil kimono dan kembali berjalan kearahku.

"Jadi hanya karena kimono kau bisa selama itu di dalam kamar mandi? Kau gengsi huh? Aku bahkan tidak keberatan jika kau mau keluar tanpa apapun." Dia berkata terkekeh-kekeh dan menggedikkan bahunya dengan santai di perkataan terakhirnya saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Berjengit kesal kearahnya, aku mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi agar dia berhenti tertawa.

***

                     Saat ini aku dan Sean sedang berada di salah satu gedung di Los Angeles, menghadiri acara peresmian Butik baru Griselda, yang menghasilkan karya desain busana terbarunya.

Acara sudah setengah berjalan, pameran busana-busana terbaru Griselda sangat mewah, belum lagi dengan model-model yang bak bidadari dengan wajah cantik dan tinggi semampai. Aku izin pada Sean ingin ke toilet, awalnya dia ingin menemaniku, tapi aku menolaknya dengan alasan hanya sebentar.

Bangkit dari kursiku, aku berjalan mencari letak toilet, menoleh ke segala penjuru ruangan dan menemukan tulisan 'toilet' tak jauh dari tempat aku berdiri. Aku masuk ke dalam toilet dan masuk ke dalam pintu yang terbuka karena toilet sedang sepi. Ku buka kembali pintu toilet dan berjalan kearah westafel untuk mencuci tangan sambil menundukkan kepalaku merapihkan gaunku. Ku angkat kepalaku saat aku merasa jarak ke westafel sudah dekat. Disana berdiri seorang wanita yang sedang bercermin sambil merapihkan dandanannya. Mata melihatku melalui cermin. Wanita itu. Tubuhku membeku, tak bisa digerakkan sama sekali. Kakiku melemas, ingin rasanya aku pergi dari sini tapi tidak bisa. Rasanya seolah seluruh organku mati, mataku terasa panas.

Dia, wanita yang meninggalkanku dan ayahku. Dia, salah satu penyebab ayahku seperti sekarang. Dia, yang meninggalkan kami dan membuat kami menderita.

"K-kaukah itu, Jesslyn?" Tanyanya dengan suara bergetar. Ku kedipkan kelopak mataku, membuat genangan air yang sudah berada di pelupuk mataku jatuh. Aku tak meresponnya, lidahku terasa kelu.

"Y-ya," jawabku dengan suara serak. Dia berbalik, tersirat kerinduan di dalam lubuk hati terdalamku tapi segera ku tepis perasaan itu. Matanya menatapku dengan tatapan iba, membuatku melepaskan pandanganku darinya. Dia mendekat, dan dalam sekejap diriku sudah berada di pelukannya. Pelukan yang sejujurnya aku rindukan, pelukan seorang ibu.

"Maafkan mom" dia berbisik membuatku menggeleng keras. Ku dorong pelan tubuhnya agar menjauh dari diriku. Ku tatap matanya dengan kebencian, dia terlihat kaget.

"Kau bukan ibuku. Aku tidak punya ibu." Jawabku dengan suara lantang. Terlihat dia semakin kaget dengan jawabanku. Matanya berkaca-kaca, aku melukai ibuku.

"Tidak, aku ibumu."

"Aku tidak memiliki ibu sejak berumur 6 tahun. Ibuku sudah lama mati."

"Jesslyn, maafkan aku. Aku menyesal meninggalkan kalian saat itu. Aku hanya-"

"Hanya apa? Hanya tidak bisa menghadapi hidup miskin penuh penderitaan? Meninggalkan anaknya yang masih kecil? Hh... itu yang disebut ibu?" Aku tertawa hambar menyadari kenyataan pahit tersebut, dengan mudahnya dia berkata kalau dia menyesal setelah semua yang aku lewati selama ini.

"Aku bersusah payah mencari uang untuk menghidupi diriku dan ayahku. Bersusah payah mencari uang untuk obat ayahku. Bersusah payah mencari uang untuk mengobati ayahku. Tapi kau? Meninggalkan tanggung jawabmu dan pergi begitu saja tanpa perasaan. Tidakkah kau berpikir? Tidakkah kau memiliki hati nurani? Tidakkah kau kasihan dengan suami dan anakmu, dulu?"

"Aku-"

"I'm done." Ucapku mengakhiri percakapan dan keluar dari toilet. Belum sempat aku memikirkan alasan apa yang kuberikan pada Sean, dia sudah berada di luar toilet wanita, menatapku dengan pandangan prihatin dan meraihku ke dalam pelukan hangatnya. Air mataku tak terbendung lagi, tangisku pecah dalam pelukannya.

"Ssh... jangan menangis, jangan menangis" dia menenangkanku sambil mengusap punggungku dan mengecup keningku berkali-kali. Aku merasa lebih tenang, ku angkat kepalaku, ku tatap matanya dengan pandangan agak buram karena habis menangis.

"Bisakah kita pulang sekarang?" Aku bertanya padanya dengan suara pelan. Dia mengangguk, mengecup keningku sekali lagi dan menuntunku keluar dari gedung tempat acara Griselda diselenggarakan. Di depan, sudah ada mobil yang menunggu kedatangan kami. Aku masuk lebih dulu kemudian disusul oleh Sean.

Hooo gimana? Ini cepet kan updatenya. Karena kayanya seminggu ini gabakal update dulu. Aku UAS, jadi harus StudyHard yakan?

Vote n comment tetep kan yaa?? Baik deh yang ngevote *ciumsatusatu.

Okelah-okelah, adiknya Ariana Grande pamit dulu!

ViekaGrande. Xx.

The Simple FeelingWhere stories live. Discover now