Chapter 21

257 14 2
                                    

Sorry for typo(s)

Keadaan kota New York pada malam hari semakin ramai, berbeda dengan keadaan di dalam kamar rawat Jesslyn. Hanya ada dirinya yang terbaring tak sadarkan diri, Sean, dan suara jarum jam yang terus berdetak.

Jesslyn diam tak bergerak, selang infus terpasang di tangannya, dan di hidungnya bertengger alat bantu pernapasan. Sean tak kunjung melepas tatapannya dari wajah Jesslyn, dia merasa amat bersalah. Bersalah karena dia baru mengetahui kejadiannya, bersalah karena Jesslyn berada di tempat ini.

Jika saja ayahnya mengatakan semuanya dari awal, jika saja Jesslyn tidak salah paham, dan jika saja Jesslyn masih mencintainya. Kata terakhir berhasil membuat tubuh Sean menegang.

Setetes air mata keluar dari mata Jesslyn yang tertutup, namun Jesslyn tidak terbangun. Dirinya masih terbaring lemah tanpa adanya tanda dia akan terbangun.

Sean memperjelas pandangannya pada Jesslyn, matanya menangkap air mata yang menetes keluar dari mata Jesslyn yang tertutup. Sesaat secercah harapan muncul, dia menggenggam telapak tangan Jesslyn sesekali menciumnya.

"Jess, bangunlah. Aku ingin menjelaskan semuanya padamu. Aku ingin kau tidak salah paham. Aku ingin kau tau bahwa aku tidak datang untuk menebus kesalahan keluargaku padamu, aku datang karena aku adalah takdirmu. Aku ingin kau tau bahwa yang melakukan kecurangan pada perusahaanmu bukanlah ayahku, tapi pamanku. Aku hanya ingin kau tau bahwa aku benar-benar mencintaimu Jess."

Aku mengurungmu karena aku takut kau akan meninggalkanku lagi. Aku... tidak bisa. Sungguh, aku merasa bahwa sesuatu yang selama ini membuatku hidup menghilang begitu saja, maka aku menahanmu untuk pergi. Tapi aku sadar bahwa caraku menahanmu salah, jika saja aku tidak mengurungmu. Jika saja aku tidak... " Sean tidak melanjutkan ucapannya.

Dia hanya menahan buncahan emosi yang bergemuruh dalam dirinya. Wajahnya terlihat--- seakan dia sedang sekarat namun kematian tak kunjung menjemputnya. Seakan dia sangat tersiksa dengan semua ini dan pada kenyataannya itulah yang terjadi.

Keheningan kembali menjalar di dalam ruang rawat Jesslyn. Secercah harapan yang tadi sempat muncul menghilang begitu saja saat Sean tidak mendapatkan reaksi apapun dari Jesslyn. Dia terus memandangi Jesslyn, memandangi seseorang yang amat berharga baginya. Hingga, suara pintu dibuka memenuhi ruangan hening itu.

"Sean, apa yang terjadi dengan Jesslyn?" Tanya seseorang dengan nada khawatir yang tak dapat ditutupi. Dan dia ada Kathlyn, ibu Jesslyn.

***

Jesslyn POV

Rasanya membingungkan. Aku tidak mengerti--semuanya aneh. Aku tidak bisa menalar apa yang sedang terjadi.

Rasanya seakan sedang berada di tempat terendah yang diselimuti kegelapan. Hanya ada aku--yang sedang menatap keliling tempat gelap ini. Tak ada benda apapun. Kosong.

Sesaat aku menyadari bahwa inilah yang aku inginkan--tersesat dalam kegelapan. Dimana hanya ada aku seorang. Aku butuh sendiri.

Sean. Otakku kembali teringat dengan nama itu. Nama seseorang yang sukses memporak-poranda hatiku. Yang membuatku merasa dicintai dan dicampakkan sesaat berikutnya. Aku... kembali terjebak dalam ruang lingkup perasaan seperti ini.

Rasanya seakan segalanya yang kurasakan hanya khayalan sesaat. Seakan kenyataan tak pernah datang kepadaku.

Kenyataannya memang seperti inilah hidupku yang seharusnya. Tak ada kata bahagia dalam kamus hidupku. Yang ada hanya kesengsaraan, kepedihan, dan segala sesuatu yang jauh dari kata bahagia.

Segalanya terasa semakin sulit, mengingat apa yang telah dilakukan Sean, Ibuku, dan orang-orang yang--bahkan jalan pikirannya pun tak ku mengerti.

Aku berusaha berpikir rasional. Mengingat perlakuan semua orang yang berusaha merangkulku semata-mata agar mereka dapat menancapkan pisau lebih dalam pada diriku--membunuhku secara perlahan.

Aku merasa dikhianati. Dikhianati oleh semua orang. Sean, Ibuku, Key, Ben ntahlah... semuanya terlihat dengan jelas sekarang.

Aku merasa bahwa aku tidak berguna. Aku berusaha menggapai kebahagiaan-kebahagiaan sederhana untuk ayahku. Aku berusaha bertahan sebesar apapun masalah yang ku hadapi. Tapi saat ini?

Aku... lelah dengan semua ini. Biasanya disaat-saat seperti ini semua akan terasa mudah jika aku melihat ayahku. Namun ntah sejak kapan, aku bahkan tidak menengok ayahku. Aku merindukan ayahku. Aku hanya ingin dia.

Jesslyn...

Suara ayahku bergaung memanggil namaku.

Daddy di sini bersamamu. Kembalilah Jess, kebahagiaan menunggumu.

Jangan menyerah sampai di sini. Kau sudah melewati lebih banyak rintangan yang lebih berat. Kembalilah nak...

Daddy yakin kau bisa meraih kebahagiaanmu. Daddy menyayangimu.

Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mataku mulai berjatuhan. Aku memejamkan mataku, merenungkan segala sesuatu yang telah aku lalui selama ini.

Samar-samar aku mendengar suara di sekitarku. Suara jarum jam, suara kendaraan yang berlalu-lalang, suara mesin pendeteksi jantung, dan suara seseorang yang telah lama tidak aku dengar, Ayahku.

"Jess, bangunlah. Dad di sini bersamamu." Bisiknya pelan di telingaku.

Jantungku berdetak lebih kencang. Iramanya teratur dan semakin meningkat. Seakan sebagian kehidupanku telah dikembalikan hanya dengan mendengar suara dari ayahku. Suara yang bertahun-tahun lamanya tak pernah terdengar olehku.

Aku berusaha menggerakkan jari-jariku--memberitahu bahwa aku disini, mendengar suaranya. Menyadari keberadaannya. Ku dengar suara kursi berderit dan pintu yang baru saja menutup.

Aku mencoba membuka kedua kelopak mataku secara perlahan. Agak sulit, seperti mataku memang diciptakan untuk menutup. Namun aku tetap mencoba untuk membuka keduanya, dan cahaya yang--bagiku terasa amat terang bertubi-tubi menyinari mataku.

Sesaat semua terlihat kabur, namun tak lama kemudian mataku mulai menyesuaikan diri dengan sinar disekitarku. Hal pertama yang aku lihat adalah atap ruangan ini yang berwarna putih. Dan sesaat kemudian aku menyadari bahwa aku berada di rumah sakit.

Genggaman tangan seseorang yang agak sedikit mengencang di tanganku membuatku menoleh. Dan tepat di sampingku persis, sedang duduk Ayahku sambil menggenggam tanganku. Nyatakah?


Maaf baru update. Otak stuck banget. Gak banget juga sih, cuma aku pengen tata penulisan cerita ini rapih gitu.

Jakarta, 05 Juni 2016

- Vieka Oktaviarini -

The Simple FeelingWhere stories live. Discover now