Hari itu hari Sabtu, bulan Desember.
Hujan sudah deras-derasnya mengguyur langit Bandung, yang menghangatkan suasana di cafe itu.
"Reina! Sini! Gue disini!" ucapnya.
"Zayn! Gila, gue cari kemana-mana, ternyata lo udah nongkrong disini aja."
"Hehe, iya-lah. Baru kali ini Jakarta kaga semacet biasanya kalo pas weekend. Atau jangan-jangan lo kangen sama gue makanya ngebet ketemu gue?" godanya, sambil menyikut aku.
"Dih! Nggak lah! Eh Zayn, gue mau cerita!"
Begitulah pertemuan kami berlangsung setiap kalinya. Selalu dimulai dengan runtutan pengalamanku, dan terkadang ia respon dengan senda guraunya.
Senda gurau yang kerap membuatku melupakan semua beban.
"Jadi siapa namanya kali ini?"
"Leo, Zayn! Gila! Dia cakep bener! Mirip Lucky Blue Smith! Model bule itu noh ya ampun gue ga ngerti lagi!"
"Alah, cakepan gue juga ini." cibirnya sambil merapikan jambulnya.
"Lo bisa gak sih dari dulu kaga sok kecakepan? Basi tau ga!" jawabku sambil mengacak-acak jambulnya.
"Haha, yaudah sok lanjutin atuh," jawabnya sok belagak cool.
"Terus, Zayn, dia ngeliatin gue selama di perpustakaan kampus! Keren banget gak sih? Maksud gue, bayangin aja sesosok senior fakultas gue yang kece nya ampun-ampunan ngelirik gue, Zayn!"
"Haha, emang lo yakin dia ngeliatin? Ati-ati bisa aja dia.." ujarnya yang membuatku refleks mencubit lengannya.
"Zayn!" lalu dibalas dengan senyumnya.
Selama beberapa saat, aku sempat terpaku melihat senyumnya.
"D..dih senyum, respon kek!" ujarku.
"Haha iye-iye. Serah lo. Ntar kalo udah jadian, gue tunggu pajaknya aja." jawabnya sambil membuat mimik wajah menggodaku.
"Lo mah gitu, gamau bantuin, maunya enaknya doang!" cibirku.
Sore itu, kami habiskan dengan larut dalam ceritaku mengenai Leo Lestrada, senior fakultas yang sudah kukagumi sejak aku menjadi maba. Bisa dibilang aku terpikat dengannya sejak bentak-an pertama (ya, bukan pandangan). Dan Zayn lah, selalu menjadi orang pertama yang mengetahui historis cintaku.
Dan aku bersyukur, dia selalu ada dan mendukung tiap-tiap pilihanku.
"Eh, Zayn! Udah hampir malem nih!" ujarku sambil menatap ke arah jendela, hujan sudah hampir mereda, dan langit sudah mulai berwarna jingga.
"Um, terus?"
"Ya ampun! Kayak cowok apaan aja lo. Lo gak kasian kalau ngeliat cewe secakep gue pulang sendirian malem malem gini gitu?" protesku.
"Nggak lah, lo kan atlit Judo. Setan aja udah istighfar ngeliat elo." ejeknya yang kubalas dengan tatapan maut.
"Ah au ah, gue pulang! Lu sono balik ke Jakarta!" jawabku kesal sambil pura-pura mengambil tas.
"Haha, enak aja lo udah gue dicurhatin sekarang main ngusir. Ongkos sini!"
"Dasar cowo kere. Ya elo sendiri kan yang nawarin dateng kesini?"
"Haha tau aja lo kalo gue kere. Yaudah, lo yang bayarin bills, gue anter lo pulang. Gimana?"
"Cukup sekali ini aja ya lo numpuk utang lo ke gue. Pantesan jomblo orang dikit-dikit minta traktir orang," ejek gue yang dibalas dengan kekehnya.
"Haha, yaudah yuk princess pulang sebelum lo berubah jadi siluman," ajaknya.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, terkadang aku bisa sangat kesal kepadanya, tetapi sekesal apapun aku mencoba, dia pula yang bisa menghilangkan rasa kesalku.
YOU ARE READING
The Hidden Sun
Romance"Awan itu menangis, merindukan matahari yang sembunyi. Katanya takut kalau ada petir." Kita tidak pernah tahu, kapankah kita akan bertemu dengannya. Dengan seseorang yang akan merubah seluruh sudut pandangmu mengenai cinta, yang akan meruba...
