Prolog

21.5K 720 34
                                    

Masih ingat siapa yang kusebut Pria Penyuka Kopi? Si penikmat minuman hitam yang tak pernah mau ketinggalan kopi paginya sebelum bekerja. Dia yang sering memintaku untuk membuatkan secangkir hitam itu untuknya, walau sudah mengetahui bahwa tugasku bukan tukang pembuat kopi.

Dia kini sedang duduk di hadapanku dengan secangkir kopi hitam yang tak pernah ketinggalan. Dia wartawan yang ingin mewawancaraiku selepas acara talkshow. Orang yang sama yang sangat ingin kuhindari untuk kutemui ketika aku berada di kota ini. Dan keadaan ini? Sungguh aku tidak mengharapkannya.

Sudah lewat beberapa puluh menit setelah interview tadi. Demi sebuah kesopanan yang masih kupegang, dengan cukup memaksakan diri aku menyapanya. Duduk bersamanya, dan berbasa-basi tentang kabar masing-masing. Namun ini sudah terlalu lama. Di antara kami sama sekali tidak ada yang hendak memecah kebisuan. Aku duduk dengan rikuh. Sedangkan dia tampak tenang dan sesekali menyeruput kopinya. Kali ini tanpa sebatang rokok yang terselip di jarinya. Ya benar, dia bahkan sama sekali tidak menarik asbak di atas meja dan mengeluarkan sekotak nikotin beracun itu. Apa dia sudah berhenti merokok? Atau dia hanya sedang menghormatiku karena ia tahu aku 'alergi' terhadap asap?

"Tidak merokok?" Ini pertanyaan bodoh, dan aku harus menyebut Tuhanku beberapa kali ketika keceplosan mengutarakannya.

Ada sekilas senyum miring yang tertangkap oleh indra penglihatanku. Kebiasaanmu tersenyum menjengkelkan itu masih kau budi daya rupanya. Batinku kesal. Entah dari mana perasaan kesal ini muncul. Tapi dia memang menyebalkan.

"Ini sudah tiga tahun aku nggak merokok, Lana. Kamu saja yang nggak pernah tahu."

Dia terkekeh kecil. Nada mengejek itu masih bisa kurasakan. Aku tentu tidak ingin kalah. Ingin rasanya membalas perkataannya. Namun di hadapannya, kata tak pernah terkembang menjadi suara.

Ini sudah lima tahun berlalu. Banyak hal yang seharusnya terjadi. Termasuk suasana akrab ini. Terasa janggal. Dia kini bukan atasanku. Aku juga tidak bekerja untuknya. Kita tentu saja terlalu jauh dikatakan teman. Namun, intonasi itu tetap sama. Dan aku semakin merasa terancam.

"Ke mana saja selama ini, Lana? Sudah lebih dari lima tahun nggak muncul."

Kalimat ini sudah tentu kuprediksi. Dan aku telah berlatih untuk menjawabnya se-elegan mungkin. Tetapi menghadapi situasi secara nyata memang lebih berat. Aku tidak tahu bagaimana bisa waktu yang telah berlalu tetap tidak mampu membuatku lebih berani terhadapnya.

"Seperti yang Mas lihat sekarang. Aku sibuk promo novel terbaruku. Dan Jogja rupanya lebih membuatku sibuk daripada Malang."

"Akhirnya ya, Lan. Impianmu telah tercapai."

Aku terkesiap. Itu bukan kalimat tanya yang harus kutanggapi. Dan aku juga tidak mau capai-capai melihat gelagatnya yang tiba-tiba berubah.

Situasi kembali hening. Aku menelusuri ruangan kafe hanya untuk membuang muka darinya. Sedangkan dia? Aku tidak mau tahu apa yang dipikirkannya. Yang kuinginkan hanyalah mengakhiri obrolan basa-basi ini dan segera pulang.

"Kamu nggak ingin bertanya apa pun padaku, Lana?"

Ia kembali membuka obrolan. Tetapi kujawab dengan gelengan. Tak ada gunanya pula. Jika dia mengenalku, dia seharusnya tahu aku bukan perempuan yang pintar berbasa-basi. Tetapi, ada satu hal yang membuatku penasaran. Untuk apa dia meliput jika dia memiliki tim reporter? Bahkan sampai membawa kamera dan memotret sendiri. Tidak biasanya.

"Ah, bingung mengapa aku yang meliput?"

Ini bukan ikatan batin. Dan aku tidak lagi percaya akan hal itu. Frekuensi yang sama, kadang-kadang membuat semacam telepati di antara kedua orang yang saling memikirkan. Omong kosong tentu saja.

"Anak-anak sedang beristirahat, Lana. Liburan. Jadi aku yang meliput. Ah, tapi tidak semuanya. Arya dan Yudha saja yang ambil cuti. Fadhil, Gilang, Nofan dan yang lainnya tetap meliput. Oh ya, kamu tentu nggak kenal beberpa di antara anak itu. Mereka kurekrut dua tahun setelah kamu meninggalkan kantor. Dan masih ada beberapa pegawai baru sebenarnya."

Bagus. Meninggalkan kantor rupanya lebih sesuai dengan istilahnya. "Aku resign. Karena alasan yang jelas, kurasa" koreksiku. Jelas aku tidak terima.

Dia terkekeh lagi, "Ya, ya, maksudku itu. Tapi aku senang kita bertemu lagi, Alana Kusumanissa."

Kalimatnya itu kini membungkamku. Dia tentu bercanda, kan? Ya, dia selalu bercanda dulu. Dengan bualan murahnya itu. Tetapi matanya tidak berkilat. Mulutnya tidak tersenyum miring dan mimiknya terlalu serius untuk dianggap guyonan.

Bagai alarm, segera kubuang mukaku dari pandangannya. Aku sudah terlalu jauh. Dan rasanya Tuhan menegurku. Tetapi lagi-lagi aku dibuat kaget olehnya. Ia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan pandangannya kini menunduk. Beberapa saat kemudian, ia keluarkan secarik kertas dari dalam dompetnya.

Kartu nama.

Ia memberikanku kartu nama. Masih dengan nama yang sama. Nomor ponsel yang kurasa tidak berubah. Tetapi, jabatan yang berbeda. Dia tidak lagi menjadi pemimpin redaksi portal berita lokal. Dia sekarang menjadi direktur utama induk perusahaan dari beberapa media berita.

Rafansyah Alatas. Direktur Utama AS Corpindo, Alatas Syah Grup.

Cerita KopiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora