CERITA 2: Kopi Pagi Hari

7.7K 433 9
                                    

Dulu, aku sering menemukan seseorang yang tidak ingin ketinggalan meminum kopi paginya. Bukan, bukan ayah. Aku tidak sedang bercerita tentang ayahku, walau ayah juga penyuka kopi. Tapi sosok lain. Yang selalu kuhidangkan kopi di mejanya beberapa tahun lalu. Ketika aku masih menetap di kota ini sebagai mahasiswa dan sebagai karyawan magang di suatu perusahaan media lokal.

Pagi ini, ingatanku dipaksa keluar ketika aku melihat secangkir kopi terhidang dengan menebar aromanya ke seantero rumah. Menjadikanku mengingat orang itu lagi. Ini hanya ingatan kecil tentu saja. Tetapi terlalu mengusikku. Dan aku mendadak jengkel.

"Sudah mandi, Lan?" Mas Yudhan menyapaku dengan secangkir kopi di tangannya. Ia duduk santai di serambi belakang rumahnya yang berhadapan langsung dengan taman kecil berisi bunga-bunga kamboja dan rerumputan yang terawat rapi nyaris sempurna. Karya Mbak Melly, tentu saja.

Aku menghampiri Mas Yudhan dan duduk di sebelah kursinya. Aroma kopi tadi sudah pasti berasal dari kopi Mas Yudhan ini.

"Tumben ngopi?" tanyaku, heran. Mas Yudhan jarang minum kopi jika di rumah. Dia lebih suka ngopi dengan teman-temannya.

"Lagi pengen. Masa nggak boleh?" Mas Yudhan cengengesan, lalu menyeruput kopinya lagi. Sebatang rokok juga terselip di antara jarinya. Aku tambah terperangah? Dia bukan orang yang terang-terangan merokok, terutama di depanku, atau keluarga kami. Tentu saja segera kuambil rokok itu dan kubuang ke tempat sampah terdekat.

"Loh, Lan, kok dibuang?" Mas Yudhan protes sembari melirik rokoknya yang telah berbaring rapuh di tempat sampah.

"Nggak baik. Ada balita! Mau ngajarin Rafa buat ngerokok juga? Atau mau ngeracunin Alisya gara-gara nikotin?" kataku, marah.

Mas Yudhan ingin membantah, tetapi diurungkannya karena Mbak Melly datang dengan menuntun Rafa ke dapur.

"Oke-oke. Aku nggak lagi ngerokok di rumah, Lan. Take it slow, oke?" katanya menutup perdebatan.

Aku mengembuskan napas. Lega, dan sedikit tidak enak. Barangkali karena ini rumah Mas Yudhan. Tetapi, apa salahnya mengingatkannya? Ini untuk kebaikan dirinya dan keluarganya sendiri. Tentu saja itu niat yang lurus. Tetapi rupanya ada alasan lain kenapa aku sangat protes dengan perbuatan Mas Yudhan selain alasan itu. Masih saja berhubungan dengan sosok penyuka kopi itu. Dia juga suka sekali merokok sembarangan. Dan itu salah satu hal yang sangat tidak kusukai darinya. Atau, lebih dari tidak suka. Membenci sepertinya kata yang lebih tepat.

"Alana, sudahan kan, marahnya? Ayo sarapan dulu!" Mbak Melly menegurku. Aku terkesiap sesaat. Rupanya aku melamun tadi, hingga tidak sadar bahwa Mas Yudhan bahkan sudah pindah ke meja makan.

Aku menggeleng agar Mbak Melly tidak khawatir. Lalu tersenyum ke arah ibu muda itu. Selebihnya, aku dan keluarga kecil Mas Yudhan sarapan dengan tenang. Mas Yudhan telah melupakan perdebatan kami tadi. Ia malah mengajakku ngobrol ke sana ke mari. Tentu membahas beberapa cerita yang kubawa dari Jogja, dan beberapa cangkir kopi-minus asap rokok-yang diteguk bersama dengan obrolan tak penting untuk mengisi kehangatan pagi pertama di Kota Malang.

***

Udara kota ini masih terasa dingin meskipun arloji di tanganku telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ini bulan Mei. Waktu di mana Malang sedang menuju suhu dingin. Entah bagaimana hal itu terjadi, tetapi semua orang yang pernah tinggal di Malang sudah menghafalnya dengan baik. Cuaca dingin. Akan ada musim mahasiswa baru, dan kegiatan kampus berlebihan di awal masuk tahun ajaran baru. Aku masih bisa merasakan hal-hal sibuk itu. Merepotkan, juga menyenangkan sekaligus.

"Non, sudah sampai." Sopir taksi yang kutumpangi menegurku. Aku baru sadar sepanjang jalan melamun tak tentu arah. Melihat beberapa jalan yang kulintasi dari rumah Mas Yudhan hingga menuju kafe yang dijadikan tempat bedah buku ini, berhasil membuka memoriku ketika aku tinggal di kota ini.

Cerita KopiМесто, где живут истории. Откройте их для себя