I. Bab 9 Camarade, 2012.05

1.4K 176 2
                                    

Kata asing itu tertorehkan dengan gaya bersambung di atas foto Yuki dengan lelaki yang tak kukenali. Camarade, atau dalam bahasa prancis memiliki arti 'kawan', adalah nama sebuah tempat. Tentu aku tak mengetahui hal ini sampai aku mencoba untuk mencarinya di Internet. Seperti yang kuduga, Camarade adalah kelab malam yang terletak di distrik Doyama, salah satu pusat hiburan dewasa di Osaka. Tak banyak informasi yang bisa kudapat soal tempat ini, mungkin karena kelab ini juga tidak terlalu besar dan tertutup untuk pelanggan tertentu saja.

Meskipun tidak diakui secara publik, dapat disandingkan dengan Shinjuku Nichoume di Tokyo, Doyama adalah distrik yang merepresentasikan komunitas gay di daerah Kansai. Mengingat seperti apa pandanganku terhadap Asada Satoru, tentu saja pernah hadirnya Yuki di tempat ini bukannya tidak mungkin. Aku begitu ingin tahu sebenarnya apa yang ia lakukan di Camarade (meski aku bisa menebaknya) sehingga tanpa sadar kedua kaki ini, sepulang dari kunjunganku ke perpustakaan kota untuk mencari bahan kuliah, membawaku ke depan kelab bergaya eropa barat ini.

Masih pukul 1 siang, jelas tidak ada tanda-tanda aktivitas pada distrik ini. Camarade sendiri berada di lantai basement sebuah gedung kecil yang sedikit berjarak dengan jalan utama. Papan bertuliskan 'closed' menggantung di pintu kayu berukiran khas Inggris. Jendela-jendela yang mengelilinginya terdiri dari mozaik warna-warni yang mengaburkan pandangan ke isi ruangan. Harusnya aku sudah tahu bahwa datang ke sini tidak akan membawaku pada apa-apa. Dengan putus asa, aku menaiki tangga dan berjalan mengarah ke stasiun.

"Ada perlu apa dengan Camarade?" Sebuah suara mendadak menggelitik telingaku. Aku memutarbalikan badan dan menghadap ke arah pria pendek berambut dicat oranye dengan bandana biru yang menyibak poni depannya. T-shirt putih, jeansnya yang gombor dan kantung plastik konbini di tangan kanannya memberikan impresi bahwa ia salah satu pekerja yang ada di sekitar sini.

"Ah tidak, saya hanya ingin melihat dari luar saja karena sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam," jawabku.

"Kau bukan pelanggan?"

"Bukan.. Tapi seseorang yang saya kenal pernah bekerja di sini. Permisi-" Tak ingin terlibat lebih jauh aku segera membungkukkan badan dan bergegas pergi dari tempat itu.

"Tunggu!" Lelaki itu berlari menghampiriku. "Aku tidak bekerja di Camarade lagi, tapi mungkin aku bisa membantumu."

Tentu saja ketika kau berurusan dengan hal-hal yang penuh celah seperti tempat hiburan malam, tak usah disuruh pun pasti hati dan akalmu akan berhati-hati. Meski aku ke sini dengan niat untuk tahu lebih lanjut, tapi bukan berarti aku ingin meninggalkan jejak di sini. Lagipula, bisa saja orang ini tidak bicara yang sebenarnya walau sekilas ia tampak terpercaya. Pikiranku pun berkecamuk selagi ia melanjutkan pembicaraannya.

"Ayanagi Reiichi." Ia mengulurkan tangannya yang akhirnya kujabat setelah memberi jeda beberapa detik. "Aku punya kafe di belakang gedung ini. Dulu aku bekerja di Camarade sebagai bartender selama beberapa tahun, dan tempat itu sudah seperti rumahku, hahah, bahkan sampai sekarang aku masih menganggapnya begitu. Kau bilang kau kenal dengan seseorang yang pernah bekerja di sini? Mungkin aku kenal dengannya."

"Ah uhm- sebenarnya aku tidak tahu apa ia bekerja di sini atau tidak. Mungkin saja ia salah seorang pelanggan-"

"Hahah, pelanggan Camarade semuanya tersaring, dan biasanya kalau bukan reguler mereka tidak mau terima. Karena itu semua staf mau tak mau hapal dengan mereka." Setelah memandangi lelaki bermata sipit itu bicara dengan begitu ramah, aku yang tadinya sempat curiga akhirnya mulai merasa lega. Sepertinya ia begitu menyukai Camarade sehingga di setiap kesempatan selalu berusaha untuk ikut andil. "Di sini bicaranya tidak enak, kau mau mampir ke kafeku?" Atau mungkin sebenarnya ia cuma ingin menarik pelanggan.

"Ah-" Aku menelan ludah. "Aku Irino Yuma, maaf tadi tidak memperkenalkan diri."

Pria yang sepertinya berusia awal 30-an itu tersenyum dan mengajakku mengikutinya ke kafe kecil bernuansa kayu di sisi lain gedung Camarade. "Voisin..," gumamku.

"Oh! dalam bahasa prancis artinya tetangga. Yang menamainya adalah owner Camarade karena jelas aku tak punya sense dalam memberi nama. Silahkan masuk.." Kafe yang ada di gang sempit itu sepertinya hanya bisa menampung paling banyak 10 orang pelanggan. Dan melihat banyaknya pajangan set cangkir dan daun teh beraneka ragam, daripada kafe mungkin lebih cocok dibilang tea house. Di tengah distrik malam begini ia membuka sesuatu yang tidak biasa begini.. Apa laku ya? Hm, mungkin karena kafe ini masih ada hubungannya dengan Camarade.

Aku pun duduk di kursi kayu yang menghadap ke counter master (asumsiku) kafe ini. Setelah sedikit memaksaku untuk memesan teh, ia pun memulai obrolan denganku sembari meracik earl grey hangat untukmu. "Kau punya kafe yang cantik... Apa aku tidak mengganggumu bekerja?"

"Tenang saja, aku satu-satunya pegawai di sini, jadi suka-suka saja, haha. Ini cuma kafe kecil di sela-sela distrik yang ramai, tak akan banyak pelanggannya. Tapi sama seperti Camarade, aku membuka kafe ini bukan untuk menjual apa yang akan hilang dalam semalam. Kami menjual sebuah 'tali hubungan' kepada pelanggan."

"Tali hubungan? Uhm, maaf jika aku salah tapi, apa Camarade sejenis kelab host?"

"Hahah! Banyak orang yang bilang begitu. Hm setengahnya benar sih, tapi kalau kau berpikir tentang kelab-kelab berisi cowok trendi yang- uhuk- memaksa para perempuan membeli bir-bir mahal, kau salah. Camarade adalah kelab dengan target pelanggan laki-laki berusia 30 tahun ke atas yang mapan, kau tahu kan betapa pria-pria di umur segitu selalu haus akan kehangatan manusia-manusia muda? Mereka membutuhkan kenyamanan dan seseorang untuk mendengarkan keluhan mereka. Tapi tentu saja tak semuanya menginginkan hiburan yang mengedepankan seks dan alkohol. Terkadang yang pria-pria ini cari hanyalah kawan untuk berbicara, berbagi, menjalin hubungan kepercayaan yang didapat dari komunikasi."

"..Tapi dari yang kubaca di Internet sepertinya Camarade hanya melayani dan menyediakan pelayan laki-laki..," ujarku dengan suara kecil.

"Gay club maksudmu? Tidak bisa bohong juga sih. Distrik ini memang tempat seperti itu, dan owner-nya pun seorang gay yang lumayan misoginis. Tapi sebenarnya mereka tidak menutup kesempatan untuk para wanita untuk menjadi reguler, hanya saja mungkin karena mereka terimintidasi dengan mayoritas reguler pria lainnya jadi tidak populer, deh."

"Dari kedengarannya sepertinya Camarade adalah tempat yang um.. Berkelas," balasku mencoba menghindari kata yang menghakimi.

"Yah meskipun begitu Camarade tetap bukan bisnis yang 100 persen bersih. Tetap saja.. Selagi mungkin lebih baik untuk menarik uang sebanyak-banyaknya dari para pria berkocek tebal itu, kan? Oh, ya, jadi siapa kenalanmu?" tanya Ayanagi-san seraya menyodorkan cangkir ungu muda yang telah selesai diisi dengan earl grey pesananku.

"Asada Yuki..," jawabku sedikit ragu.

Serta merta ekspresi wajah Ayanagi-san berubah warna. "Yuki-kun?!"

Tak Ada Batas Pada Mozaik [BL]Where stories live. Discover now