II. Bab 2 Mei, 2005

1.1K 162 2
                                    

Hi, ma. Ini benar-benar terasa canggung, maksudku, menulis di jurnal seperti ini. Aku tidak pandai menulis, tapi karena kau memaksa ingin tahu semua yang terjadi padaku, akan kulakukan. Aku bohong soal akan membeli jurnal baru karena tidak suka dengan jurnal oranye yang kau berikan. Rupanya meski sudah menjadi murid SMP, papa tidak menaikkan uang jajanku. Sayang sekali.

Tapi aku juga tidak tahu akan dipakai untuk apa jika ada uang lebih. Aku tidak ikut kegiatan klub dan tak punya hobi apa pun. Di London aku punya hockey, tapi di sini tidak ada klub untuk anak-anak, dan aku tak punya pekerjaan lain selain mengulang pelajaran sekolah di rumah. Tadinya aku cukup merasa percaya diri dengan kemampuan Bahasa Jepangku, tapi aku lupa kalau huruf kanji adalah hal paling sulit di dunia ini. Bibi yang bekerja di rumah kadang membantuku membacakan kata yang tidak kukenal, tapi karena wajahnya yang kurang ramah itu, akhirnya aku lebih suka bertanya pada guruku di sekolah.

Dua hari yang lalu guruku itu bertanya tentang warna rambutku. Apakah asli atau tidak. Tentu saja kujawab ini adalah pemberian dari mamaku. Lalu setengah bercanda ia membalas kalau warna keemasan di suraiku ini membuat teman-teman sekelasku jadi menjaga jarak. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku rasa ini adalah warna yang biasa-biasa saja, kalau tidak bisa dibilang cantik. Memang kalau disandingkan dengan seragam gakuran hitam ini, rasanya jadi mencolok sekali. Tak hanya seragam ini, tapi semenjak aku menginjakkan kaki di negara ini, aku memiliki impresi bahwa tempat ini begitu sarat akan nuansa monokrom. Terkadang hal yang penuh warna juga dapat ditemukan, tapi sepertinya mereka lebih suka untuk mengagumi daripada memilikinya.

Karena itu hari ini aku menyelinap ke kamar papa dan mengambil peralatan cat rambutnya. Aku tak ingin dimarahi oleh Bibi Ariyoshi karena mengotori kamar mandi, jadi aku melakukannya di kamar mandi milik papa. Biar ia saja yang dimarahi. Tapi pada akhirnya aku gagal membuatnya jadi benar-benar hitam, banyak bolong di sana-sini dan aku jadi terlihat seperti penyanyi visual kei yang sedang bereksperimen gaya rambut. Untung papa pulang cepat dan ketika mendapati aksiku di kamar mandi ia langsung mengambil alih seraya mengomeliku. Ia jelas tak setuju dengan perbuatanku mengecat rambut, tapi semua sudah terlanjur dimulai.

Papa tetap seperti dulu. Ia masih suka menonton acara ramalan bintang di TV setiap pagi. Sarapan kesukannya masih waffle dan saus maple. Hari libur tetap didedikasikannya kepada kegiatan memancing. Tapi tenang saja, ia juga selalu ingat kalau makan malam adalah hal yang sakral dalam keluarga Asada. Hari pertama aku masuk sekolah, untuk pertama kalinya ia mengungkit nama mama di meja makan. Mungkin ia rindu dengan sup miso ala mama yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh siapa pun. Kalau melihatnya seperti itu aku selalu berpikir mengapa kalian tidak bisa bersama saja. Kita sudah membicarakan hal ini berkali-kali, tapi aku masih merasa bahwa satu-satunya hal yang memisahkan kalian hanyalah jarak dan samudera.

Jangan dipikirkan, ma. Itu hanya celotehan nakalku.

Waktu itu kau sempat bilang kalau aku harus bisa punya banyak teman. Tapi sebenarnya aku belum berteman dengan siapa pun. Waktu istirahat semua orang sudah bersama dengan teman mereka masing-masing, dan aku tidak tahu bagaimana cara memulai perkenalan di Jepang. Maksudku, aku tahu bahasanya, tapi aku tidak tahu apa cara berkenalannya sama dengan waktu aku di Inggris. Kukira seorang yang mencolok sepertiku akan membuat mereka lah yang mendekatiku lebih dulu, tapi sepertinya aku salah.

Entahlah, baru sebulan sekolah di mulai, masih ada tiga tahun lagi. Aku rasa aku akan baik-baik saja.

Mulai besok aku akan mengikuti les kaligrafi di rumah guru besar yang ada di dekat rumah. Itu bukan keinginanku, tapi sepertinya guru besar itu adalah fans berat papa dan begitu tahu kalau kami pindah ke dekat situ, ia langsung mengunjungi rumah kami layaknya teman lama. Tanpa basa-basi ia menawarkanku untuk belajar di rumahnya. Karena aku tak punya pekerjaan lain, aku rasa tidak ada salahnya mencoba.

Tak Ada Batas Pada Mozaik [BL]Where stories live. Discover now