II. Bab 10 Februari 2007

764 126 0
                                    

Aku harap kau tidak terlalu geram pada papa bulan lalu. Kau punya seribu alasan yang benar untuk memarahinya. Semua memang terjadi karena kesalahannya, tapi bukan berarti aku tak punya sisa kesempatan untuknya.

Aku khawatir kau marah juga padaku, karena aku menolak ajakanmu untuk kembali ke London. Kau bilang kau akan segera menikah dengan lelaki itu, karena itu juga tinggal di London akan lebih baik untuk perkembangan psikisku. Entahlah, aku tidak tahu apa pun soal hal yang rumit seperti itu. Tapi bagiku hanya ada satu papa.

Tentu saja mama adalah seorang yang sangat berharga untukku, kau juga hanya ada satu di dunia ini, dan tidak akan ada yang bisa menggantikanmu. Tapi papa sendirian di sini. Ia tidak punya siapa-siapa. Keluarga dan para sahabat yang sebenarnya tidak pernah dekat itu, kini tidak akan pernah menjadi dekat lagi sejak skandal itu. Jika aku tidak tinggal, papa tidak akan punya siapa pun untuk bergantung. Karena alasan ini juga pula dulu aku memutuskan untuk menemaninya, bukan?

Katakanlah ia egois, tapi ia tidak pernah membanggakannya. Malah mungkin ini adalah keegoisanku. Aku yang ingin bersama papa.

Setelah semuanya selesai, ia kembali ke Osaka, meski tidak dengan piala kemenangan. Yah, dari awal ini juga bukan sebuah perlombaan. Papa berhasil memenangkan kasus itu, sepertinya. Tapi reputasinya tidak dapat diselamatkan. Ia dicopot dari perannya di drama itu, dan agensinya kini memutuskan untuk menskorsnya, atas semua masalah dan keributan yang ia timbulkan. Wajahnya benar-benar hilang dari televisi. Tawaran wawancara atau liputan tak pernah lagi datang, padahal dulu ia begitu disukai TV dan penonton karena pengalaman Hollywood-nya. Entah kapan papa akan bangkit dari keterpurukannya ini.

Ia berubah, ma. Ia lebih banyak diam. Ia lebih hancur daripada ketika ia kehilangan mama. Kadang papa mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja dengan mengajakku pergi ke tempat pancing. Biasanya peran pendengar dimainkan olehku, tapi kali ini kami berdua berebut memainkannya. Seakan-akan ia takut bahwa jika ia bicara, hanya kesalahan yang akan tersampaikan. Bahwa bicara padaku, jujur kepadaku, akan membuatku semakin benci kepadanya.

Meski aku sudah berkali-kali bilang bahwa aku memaafkannya. Dan terlepas dari apa pun, aku tidak akan pernah meninggalkannya. Mungkin yang tak bisa memaafkan, adalah dirinya sendiri.

Jika seperti itu.. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu. Sampai suatu saat papa.. dan juga Teito dapat kembali menjadi diri mereka yang dulu. Mereka yang seperti lembar-lembar transparan, benderang di bawah cahaya mentari.

Tak Ada Batas Pada Mozaik [BL]Where stories live. Discover now