IV - Akila

5.9K 452 9
                                    

"Lagi enggak ada deadline kan, Kil?"

"Pernah denger istilah ketuk pintu enggak, Ta?" nadaku sepertinya terlalu sadis, hingga Dita mengerutkan dahinya dan berhenti melangkah menuju mejaku.

"Lagi ngelamunin abang lagi ya? Sampai-sampai juteknya keluar gitu,"

Perlahan Dita berjalan kembali menuju mejaku dan duduk di hadapanku. Cangkir putih bergambar daun keberuntungan berkelopak 4 diletakkan di mejaku, masih mengeluarkan asap panas dan aroma menenangkan.

"Abang siapa? Ngaco deh. Maaf ya, tadi gue kaget. Tiba-tiba kepala lo muncul gitu dari celah pintu,"

Dita tertawa sambil memindahkan gelasnya lebih dekat ke arahku, "Buat lo nih. Gue nyeduh sendiri, karena tadi enggak ada orang di pantry. Gue baru dapat racikan teh melati dari bude Ranti,"

"Asik deh, teh racikan dari Jogja. Bude lo paling baik deh emang, apalagi dibandingkan keponakannya," ucapku sambil menyesap perlahan teh itu, "Tolong bilangin makasih ya ke bude,"

"Iye, nanti gue bilangin. Lo minum dulu deh tuh, biar tenang dan enggak mikirin abang terus,"

"Abang siapa sih?"

"Yakin lo enggak ngerti abang yang lagi kita bicarain?" tanyanya retoris sambil menuju mejanya, "atau gue harus menyebutnya si kutu?"

"Ngaco deh lo," setelah menyesap lagi teh melati ku alihkan pembicaraan, "Tante Hesti datang jam berapa nanti?"

"Jam 12 katanya. Mau ngajak kita makan siang dulu sekalian. Lo lagi enggak ada klien, kan?"

"Kebetulan enggak ada klien yang datang sih. Ini kan Sabtu, jadi jarang juga klien yang ngajak ketemuan,"

"Sampai lupa gue ini Sabtu,"

"Kelamaan jomblo sih lo," cetusku usil

"Emangnya lo enggak?" cetusnya sambil mendengus. Kami berdua tertawa terbahak-bahak, tawa lega pertama di ruang ini selama sebulan.

Suara ketukan pintu membuat tawa panjang kami berhenti. Galih, kepala divisi landscape, masuk sambil membawa setumpuk kertas ukuran A3. Meletakannya di mejaku, meja yang lebih menyediakan ruang untuk tumpukan itu. Setelah itu ia duduk di hadapanku, sambil mengajak Dita bergabung duduk di sebelahnya.

"Tumben ngantor hari gini. Ada apa?" tanya Dita

"Habis membahas ini bareng anak landscape. Tumpukan ini isinya rancangan landscape rumah Pak Sanjaya yang di Jakarta Utara. Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya, kami merancang bagian halamannya terbuka untuk umum," ucapnya sambil memberiku 1 set gambar kerja

1 set lagi diletakkan diantara dia dan Dita.

"Gue tertarik dengan ide dari kalian, karena pepohonan ini selain membuat rindang bisa jadi semacam pembatas privasi antara keluarganya dan pengunjung. Terutama karena Pak Sanjaya berencana membuat rumah baca dan bermain setiap Sabtu dan Minggu pagi, kan,"

Dita dan Galih menganggungkan kepala tanda setuju dengan ucapanku.

"Selain itu rancangan ini enggak sulit dalam pemeliharaannya, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk itu," Galih memberikan info tambahan dengan cengiran lebarnya

Pagi itu kami habiskan dengan membicarakan rancangan rumah Pak Sanjaya secara keseluruhan. Sinar matahari pagi masuk melalui jendela, memberikan kesan hangat dan nyaman untuk kami bertiga.

***

"Laper gak? Makan yuk di kantin," ajak Dita kepadaku dan Galih

"Gue langsung cabut aja, ya. Gue mau ketemu klien buat peragaan busana bulan depan bareng beberapa anak landscape dan pameran,"

WANTED! Cat Biru Kesayangan AkilaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora