Bagian 4

514 44 2
                                    

      "Kamu cantik sekali Ara! Ckckck, sungguh perpaduan fenotipe genetismu amat mendekati sempurna." Fahri memujiku sembari memberikan tas punggung berwarna kuning itu. Dari semua warna yang ada, mengapa harus kuning? Pikirku dalam hati.

      "Di dalam tas itu, sudah tersimpan buku pelajaran untuk materi sekolahmu hari ini. Fisika, Matematika, dan Sejarah. Aku yakin kamu pasti sudah mahir dalam ketiga pelajaran itu. Apalagi, ini hanya materi kelas 1 SMA, sepertinya akan sangat mudah bagimu, Ra." Fahri berkata kepadaku dengan binar dimatanya, seakan meyakinkanku bahwa bersekolah adalah hal yang menyenangkan. "Namun tetap saja, bertingkahlah sewajarnya siswa kelas sepuluh. Jangan terlalu menunjukkan kejeniusanmu, Ara. Uhmm, seharusnya aku tak perlu berkata hal ini. I believe you know how to react." Ujar Fahri sembari menepuk pelan pundakku.

     Ya, hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di Banyuwangi. Setelah tiga hari hanya menghabiskan waktu untuk berlatih yoga di rumah, akhirnya aku dapat menemukan aktifitas baru, yakni bersekolah. Salah satu SMA negeri terfavorit di Banyuwangi, nama sekolah itu terbordir rapi di badge lengan seragam baruku yang saaat ini ku kenakan. Hmm, semoga hari ini bisa kunikmati.

      "Alis yang indah, rambut hitam, hidung mancung, dan bibir yang mempesona. Hmm satu lagi, mata yang indah! Fahri benar, kamu memang cantik, Ara! Apalagi dengan memakai seragam itu, nampaknya akan ada primadona baru di SMAmu. Benar tidak, Fahri?"

     "Ya, benar. Sepertinya, sebagai ayah, aku harus lebih berhati-hati dalam menjaga anak gadisku satu ini, Manda. Hahaha." Mereka berdua lantas asik tertawa tanpa menghiraukanku.

      Manda dan Fahri tak henti-hentinya memujiku. Ada apa sebenarnya dengan mereka ini? Apa mereka pikir aku akan sama dengan gadis seusiaku yang akan terbang melayang ketika dipuji? Ah, dasar manusia kebanyakan. Pujian hanya akan membuatmu teralu fokus pada dirimu. Bagiku, pujian akan membuat lalai dan mengurangi kewaspadaan. Hal itu tidak boleh terjadi pada diriku. Aku adalah Arch, waspada adalah kunci utamaku.

      "Ara, ada satu yang ingin ku katakan padamu." Manda berjalan kearahku dan menatap mataku lekat-lekat. Ada apa lagi dengan ibu satu ini?? Pikirku dalam hati. "Ada apa?" Pertanyaanku ketus kepadanya.

     "Ara, kamu itu cantik, namun, sorot matamu itu loh, terlalu mengintimidasi untuk remaja seusiamu. Jangan memasang tatapan seperti itu ketika sekolah. Alih-alih ingin bersahabat, mungkin siswa disana malah akan takut melihatmu. Ayo, coba tersenyum!" Manda mengakhiri ceramahnya dengan senyuman manis.

     Hmm baiklah, mungkin Ia menginginkanku untuk tersenyum seperti itu. Gerutuku dalam hati.

     "Tersenyum???" Balasku dengan nada heran.

     "Iya. Ayo, coba tersenyum, Ara!"

     "Hmmm baiklah." Aku mencoba menarik otot pipiku untuk berusaha tersenyum.

      "Jangan seperti itu Ara! Kamu malah terlihat seperti psikopat!"

     Apa-apaan ini. Sepagi ini aku sudah dijuluki psikopat? Baiklah ini saatnya. Aku melirik pintu rumah yang sudah terbuka dan bersiap untuk melangkahkan kakiku kesana. Setidaknya aku harus berlari agar manda tak lekas menarik tanganku. Hmm.. Lima meter per detik mungkin cukup untuk menghindari tarikan tangan manda.

     "Hei hei! Mau kemana kamu? Kamu kan belum sarapan? Ara!"

     "Aku sudah kenyang! Aku berangkat dulu! Daaah" Aku berlari sambil melambaikan tangan kearah Manda yang nampaknya sedang gusar.

***

      Sesampainya di jalanan depan rumah, aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Untung saja semalam aku telah mempelajari rute untuk menuju sekolahku. Aku harus memberhentikan sebuah kendaraan yang disini sering disebut dengan 'lin'. Lin adalah mobil angkutan umum berwarna kuning dengan seorang sopir yang akan sedia berhenti jika para penumpang berteriak "KIRI PAK!"

     Tak sampai tiga menit sebuah lin lewat dan mendekatiku. Aku melambaikan tangan dan lin itupun berhenti dibarengi dengan langkahku masuk kedalamnya. "Smasa pak." Aku menyebutkan tempat tujuanku.

     Setelah mendapatkan tempat duduk yang lumayan nyaman diantara beberapa penumpang, aku segera mencolokkan earphone kesukaanku ke smartphone yang baru semalam diberikan padaku oleh Fahri. Katanya, smartphone ini pemberian Tuan-R untuk alat komunikasiku dengan teman-teman baru. Komunikasi dengan teman? Yang benar saja, bahkan aku tak yakin aku akan bisa mendapat seorang teman.

     Lagu Demons oleh Imagine Dragons mulai terdengar di telingaku. Aku menikmatinya sambil menoleh keluar jendela dan menikmati pemandangan mendung pagi ini. Aku membayangkan apa yang akan terjadi nanti di sekolah. Apakah murid-murid disana tergolong murid yang nakal? Tukang bully? Pelit? Atau ramah? Ah, apapun yang terjadi, aku harus menghadapinya. Aku harus bersikap seperti anak baru pada umumnya yang polos dan sopan. Aku harus tetap menyembunyikan jati diriku.

      Sekitar tujuh menit telah berlalu. Estimasiku untuk sampai ke sekolah adalah delapan menit. Artinya, untuk saat ini aku harus fokus untuk bisa berteriak "Kiri pak!" tepat di depan sekolah. Jaga-jaga siapa tahu supir tua ini melupakanku.

      Benar saja, sepertinya supir ini lupa tempat tujuanku. Gerbang SMAN 1 Glagah telah terletak sekitar sepuluh meter lagi namun pak supir tak kunjung menginjak rem mobilnya. Aku segera berteriak: "Kiri Pak!"

     Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt.

     Shit. Rem mendadak. Aku amat membenci itu. Kepalaku pening saat ini. Badanku terbentur besi pembatas antara zona penumpang dan tempat duduk pak supir. Lengan kananku sakit, tapi aku berusaha tenang agar tak mengganggu penumpang lain.

      Hmmm tenang Ara, ini baru hari pertama sekolah. Don't ruin your mood. Gumamku dalam hati.

      "Eh.. maaf mbak, saya lupa.." Ujar supir itu.

      "Iya pak nggak apa-apa." Ucapku berusaha sabar sambil memberikan selembar uang sebagai ongkos linnya.

     Aku berdiam sejenak di depan gerbang sekolah untuk menstabilkan keadaan tubuhku agar pening akibat rem mendadak tadi berangsur pulih. Tarik nafas.. Hembuskan. Aku melihat jam tanganku dan saat ini menunjukkan pukul 6.40. Sekolah ini masuk pada pukul 6.50, artinya, masih ada waktu untuk bersantai sejenak.

     Akupun berjalan memasuki gerbang sekolah sembari melihat-lihat keadaan sekitar. Sekolah ini cukup rindang, terdapat banyak spot menarik untuk sekedar tempat berdiam diri. Seperti di bawah pohon mangga tepat di arah jam sepuluh ku itu, terdapat sebuah tempat duduk dari keramik yang sepertinya jika aku tak punya teman, aku bisa duduk berdiam disana sembari mendengarkan musik atau membaca buku.

     Ketika sampai di koridor, aku berhenti dan bersandar di sebuah pilar kayu untuk mengecek e-mail yang semalam masuk dari sekolah melalui smartphone-ku. Tertulis di e-mail itu, bahwa aku diterima di kelas X IPA 3. Dengan cekatan aku segera mencari ruang kelas tersebut di deretan kelas paling awal yang kutemui.

     Setelah berjalan beberapa langkah, aku mendapati kelas X IPA 3 yang terletak persis di depan kolam ikan. Atau kolam ikan ini memang wilayah teritorial kelas ini? Entahlah, tak usah mengambil pusing akan hal itu. Yang penting, kali ini aku harus masuk kelas dan bersiap mengikuti pelajaran.

     Setelah masuk kelas, aku duduk di deretan ketiga dari depan, di barisan bangku kedua dari kiri. Kelas sedang sepi saat itu, aku membuka tasku dan mengambil acak sebuah buku dan membacanya.

      Sebetulnya aku tak membacanya, aku hanya berpura-pura menunduk dan membolak-balikan lembar buku sembari berpikir dalam hati betapa malasnya siswa di sini. Lima menit lagi sudah bel masuk, tetapi, tak ada satupun dari mereka berada di dalam kelas. Aku terheran, padahal, di kelas ini sudah ada banyak tas di semua bangku, bahkan bangku yang kududuki sekarang adalah bangku terakhir yang belum "berpenghuni". Kemanakah mereka? Ah biarlah, mungkin mereka semua sedang nongkrong di kantin.

     Tiba-tiba. Seorang laki-laki berperawakan tinggi masuk tanpa permisi.

      "Hmm, benar kan dugaanku! Robot ini ada di sini! Hahaha!"

      Ia mengagetkanku dengan teriakan gigantisnya itu.

***

LATENTWhere stories live. Discover now