p r o l o g

943 80 39
                                    

Cklek!

Kulempar tas di tanganku sembarang arah. Mendadak, empat benda di langit kamarku bercahaya. "Engh. Peter sialan!"

Kulihat jam di dinding kamar. Aku mengernyit. "Sejak kapan..benda itu ada 3?"

Dapat kurasakan kepalaku berputar dan sedikit berdenyut. Rasanya ingin sekali kubenturkan ke tembok. Ah, aku tidak bisa melakukan itu. Mabuk ini terlalu nikmat untuk ditinggalkan.

Aku menarik sebuah botol mineral di atas meja setelah cukup lama menyenderkan badanku di sana, ugh.

Tanganku meraba meja, mencari pil Asetaminofen untuk menghilangkan efek hangover yang semakin membuatku gila.

Mendadak punggungku menabrak sofa. Rasanya, tidak bisa disebut lebih baik. "Ah, aku meminumnya terlalu banyak."

Kupejamkan mataku sesantai mungkin demi menghilangkan efek hangover yang sering terjadi padaku. Kau tau, aku pemabuk yang ulung.

Dapat kurasakan pening di kepalaku berangsur angsur hilang, kepalaku jauh terasa lebih ringan dan kantukku tiba tiba saja pergi. Membuat rangkaian imajinasi gila yang muncul karena wine yang terlalu banyak menjadi buyar.

Aku bangkit dari sofa, menuju ke depan komputer dan beralih ke kursi putar yang setelah ku duduki rasanya seperti memantul mantul. Dapat kulihat, selongsor peluru kecil di dekat komputer. Aku tersenyum masam melihatnya.

Ah, benda ini...

"Kau menyesal mengajakku ke sini, Daddy

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kau menyesal mengajakku ke sini, Daddy." pandanganku menyusuri setiap detail tempat ini. Tanah hijau yang membentang luas, hutan lebat yang gelap, dan danau yang tenang.

"Menyesal, hem?" aku menolehkan pandang ke kiri. Dapat kulihat, ayah tersenyum. Sinar matahari April, membuatnya terlihat tua dan bersinar. "Langit sangat cerah. Disini juga tenang. Tidak ada yang perlu di sesali, boy."

Aku tersenyum masam mendengarnya. Lalu memandang lesu tongkat golf di tanganku. "Aku payah. Aku tidak bisa main ini Daddy."

Kualihkan pandanganku ke semak ilalang yang baru saja kami lewati. Aku tidak tau, sejak kapan ilalang setinggi itu tumbuh. Dapat kudengar, ayah tertawa. "Itu bukan sesuatu yang harus di sesali Ray."

"Kau yakin?" aku menatap senyumnya. Tidak ada kesan penyesalan di sana. Aku mendengus, lalu memandang danau yang kami putari. Mendadak, ayah menghentikan buggy yang kami kendarai tepat di bawah pohon.

Dia tersenyum, lalu merengkuh pundakku. "Selama kau bersamaku, semuanya jauh dari kata menyesal." tangannya menepuk kaus polo yang dia kenakan. Seperti yang aku pakai. "Lihat, apa yang perlu di sesali?"

Aku hanya tersenyum melihatnya tertawa. Bahkan, dia tidak peduli aku pintar golf atau tidak. Dia hanya mengutamakan kebersamaan. Aku menyayanginya.

Horrible PersonWhere stories live. Discover now